Hakim Sebut Permohonan Ini Idealis
Berita

Hakim Sebut Permohonan Ini Idealis

Rekap berjenjang munculkan potensi kecurangan

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Hakim konstitusi Patrialis Akbar. Foto: RES
Hakim konstitusi Patrialis Akbar. Foto: RES
Hakim konstitusi Patrialis Akbar tak kuasa menahan pujian. Mantan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan ini menyebut permohonan Warga Bela Negara punya nilai idealisme yang bagus untuk kepentingan bangsa. Kok bisa?

Warga Bela Negara sebenarnya mempersoalkan Pasal 141-156 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres). Warga menilai sistem rekapitulasi berjenjang dari tingkat PPK hingga nasional menimbulkan potensi kecurangan sistemik. Karena itu, mereka meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan pasal-pasal itu bertentangan dengan konstitusi.

“Rekap berjenjang munculnya potensi kecurangan melalui pengurangan atau penambahan suara seorang kandidat yang berdampak langsung pada akhir pemilu,” kata kata kuasa hukum pemohon, Tito Hananta Kusuma di ruang MK, Selasa (02/9).

Dampak negatif rekap berjenjang, menurut pemohon, bisa diatasi dengan memanfaatkan teknologi. Jika selama ini rekapitulasi empat hingga lima jenjang, dengan teknologi bisa dipadatkan menjadi dua. “Sehingga terjadi penghematan dari sisi anggaran,” jelas Tito.

Inilah yang disebut Patrialis punya nilai idealisme untuk kepentingan bangsa dan negara di masa mendatang. Meskipun begitu, Patrialis meminta pemohon memperbaiki permohonan, dengan mempertajam analisis dan memperkuat bukti.

Salah satu prosedur yang dianggap pemohon membuat proses Pilpres menjadi panjang adalah rumusan Pasal 141 ayat (1). Menurut aturan ini, PPK membuat berita acara penerimaan hasil perhitungan suara pasangan calon dari  TPS melalui PPS. Pasal 155 ayat (1) menyebutkan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di KPU dituangkan ke dalam berita acara rekapitulasi dan sertipikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara pasangan calon dengan menggunakan format yang ditetapkan dalam peraturan KPU.

Tito menilai rekapitulasi berjenjang yang termuat dalam pasal itu bertentangan dengan Pasal 22 E UUD 1945, terutama asas jujur dan adil dan penggunaan anggaran bertanggung jawab yang dijamin Pasal 23 UUD 1945. Faktanya rekapitulasi menimbulkan berbagai modus kecurangan dalam pilpres, seperti terjadi percurian dan penggelembungan suara. “Rekapitulasi berjenjang ini menyulut sengketa pemilu yang berujung ke pengadilan dan memicu perkelahian antar masing-masing pendukung pasangan calon,” paparnya.

Selain itu, proses rekapitulasi berjenjang hingga lima tingkatan ini menimbulkan pemborosan baik tenaga, waktu, dan biaya yang begitu besar. “Proses rekap berjenjang yang memakan waktu lama hingga sebulan merupakan waktu menunggu yang terlalu lama. Ini membawa kerawanan dalam masyarakat dan berpengaruh negatif pada lingkungan bisnis,” ungkapnya.

Secara teknis, lanjutnya, tidak terpakainya dokumen otentik hasil perhitungan pertama di tingkat TPS sebagai dasar rekap berjenjang dan diganti dengan dokumen salinan berupa sertifikat hasil penghitungan suara juga menyebabkan ketidakpastian hukum dalam hal pembuktian di pengadilan.

“Penyalinan dokumen ke dalam sertifikat baru pada setiap tingkatan ikut memproduksi rekayasa secara berjenjang dengan berbagai modus, dari salah catat oleh panitia hingga adanya unsur kesengajaan,” ujarnya.

Anggota majelis, Ahmad Fadlil Sumadi menilai pemohon hanya menyebut rekapitulasi berjenjang, dan belum menjelaskan secara detil bagaimana penerapan rekapitulasi berjenjang itu dan bentuk pertentangannya dengan asas jujur dan adil. “Seperti apa (rekapitulasi berjenjang) itu bertentangan dengan asas bebasnya, asas rahasianya, asas jurdilnya. Kayak apa sih bertentangannya?” ujarnya mempertanyakan. “Argumentasinya harus diperkuat, Saudara juga harus melihat contoh permohonan yang berlaku di MK!”

Anggota majelis lainnya, Aswanto menyarankan agar dasar gugatan (posita) dan petitum permohonan harus lebih disinkronisasi. “Untuk apa Saudara menguraikan panjang lebar sampai 10 pasal, sementara yang dimintakan hanya satu pasal dalam petitum? Nanti tidak jelas antara posita dan petitumnya. Jadi, tolong disinkronkan,” pintanya.

Aswanto juga meminta pemohon untuk memperjelas potensi kerugian yang bakal timbul dengan berlakunya proses rekapitulasi berjenjang dari tingkat TPS hingga nasional. “Ini nanti dicermati betul. Bukan hanya kerugian finansial, tapi kerugian konstitusional dengan berlakunya norma tersebut perlu diperjelas,” sarannnya.
Tags:

Berita Terkait