KHN: Hak Imunitas DPR Harus Dibatasi
Berita

KHN: Hak Imunitas DPR Harus Dibatasi

Untuk mencegah anggapan “DPR could do no wrong”.

Oleh:
RZK
Bacaan 2 Menit
Foto: KHN
Foto: KHN
Sejak masih dalam bentuk rancangan dan kemudian disetujui oleh DPR, UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang Perubahan UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3) terus menuai pro kontra. Kalangan yang kontra bahkan sudah menempuh pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satu pemohonnya adalah Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan UU MD3.

Mewakili Koalisi, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Feby Yonesta mengatakan pengujian UU MD3 yang ditempuh Koalisi untuk mempersoalkan keberadaan Pasal 245. Terdiri dari tiga ayat, pasal itu mengatur tentang prosedur pemeriksaan anggota DPR yang tersangkut masalah hukum harus mendapat persetujuan tertulis dari Majelis Kehormatan Dewan (MKD).

“Bagi kami, ini sebetulnya tidak ada kaitannya dengan hak imunitas karena hak imunitas diatur dalam pasal lain (Pasal 290, red),” kata Feby dalam acara diskusi Komisi Hukum Nasional (KHN) dengan tema“Hak Imunitas dan Asas Persamaan Kedudukan di Hadapan Hukum dalam UU MD3”, Rabu (3/9).

Terkait Pasal 245, Feby dan rekan-rekannya Koalisi mempertanyakan kenapa anggota DPR diperlakukan berbeda dalam hal proses hukum pidana dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya. Menurut Feby, walaupun Pasal 245 telah memuat pengecualian untuk beberapa jenis pidana, namun seorang anggota DPR seharusnya tetap diperlakukan sama selayaknya warga negara biasa yang tersangkut masalah hukum.
Pasal 245
(1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 (tiga puluh) Hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau
c. disangka melakukan tindak pidana khusus.

Sekretaris KHN, Prof Mardjono Reksodiputroberpendapat polemik terkait Pasal 245 UU MD3 sebenarnya terletak pada prosedur pemeriksaan anggota DPR yang mewajibkan adanya persetujuan tertulis dari MKD. Prosedur seperti ini, kata Prof Mardjono, biasanya dikenal dalam lingkup profesi. Misalnya, profesi dokter, advokat atau notaris.

“Pada dasarnya setiap organisasi profesi mengatur demikian (prosedur persetujuan lembaga internal, red) untuk anggota profesinya. Mengapa kita harus curiga untuk anggota DPR?” kata Prof Mardjono.

Dalam konteks DPR, menurut Prof Mardjono, imunitas diperlukan agar dalam pelaksanaan fungsi dan tugas DPR dapat berjalan secara bebas dan independen. Namun begitu, dia berpendapat hak imunitas harus dibatasi seperti yang diatur dalam Pasal 224 UU MD3, agar tidak terjadi anggapan bahwa anggota DPR “could do no wrong” (tidak bisa berbuat salah, red).

“Seharusnya kita sepakat bahwa hak imunitas untuk pendapat, pernyataan, tindakan dan kegiatan anggota DPR di dalam dan di luar rapat DPR, selama masih dalam lingkup fungsi, hak dan kewenangannya,pantas diberikan,” paparnya.

Anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Totok Daryanto menegaskan bahwa semua yang diatur dalam UU MD3 berkaitan dengan lingkup fungsi dan tugas DPR. Oleh karenanya, Pasal 245 pun dirumuskan dalam kaitannya dengan pelaksanaan fungsi dan tugas DPR. Berbeda dengan pandangan Koalisi LSM, Totok menilai Pasal 245 terkait dengan hak imunitas DPR.
Tags:

Berita Terkait