Hakim Beri Masukan Pemohon Kawin Beda Agama
Utama

Hakim Beri Masukan Pemohon Kawin Beda Agama

Pemohon meminta mempertajam posita permohonan yang dielaborasi dengan aspek filosofisnya.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Para pemohon (ki-Ka) Luthfi Saputra, Anbar Jayadi dan Damian Agata Yuvens saat menyampaikan dalil-dalil permohonan, Kamis (4/9). Foto: Humas MK
Para pemohon (ki-Ka) Luthfi Saputra, Anbar Jayadi dan Damian Agata Yuvens saat menyampaikan dalil-dalil permohonan, Kamis (4/9). Foto: Humas MK
Majelis panel Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Pasal 2 ayat (1)Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dimohonkan seorang mahasiswa hukum dan empat alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI). Tercatat sebagai pemohon, Anbar Jayadi, Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, dan Luthfi Sahputra.

Para pemohon menilai Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan berimplikasi pada tidak sahnya perkawinan di luar hukum agama. Pasal ini mengandung unsur “pemaksaan” warga negara untuk mematuhi agama dan kepercayaannya di bidang perkawinan. Efeknya, timbul penyelundupan hukum dengan melangsungkan perkawinan di luar negeri, secara adat, atau pindah agama sesaat. Karenanya, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945.

Pemohon menilai Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (1), Pasal  28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. “Pasal itu bentuk pembatasan hak warga negara untuk melangsungkan perkawinan,” ujar salah satu pemohon Luthfi Sahputra dalam sidang pendahuluan di ruang sidang MK, Kamis (04/9). Luthfi didampingi pemohon lainnya yaitu Damian dan Anbar Jayadi.

Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Majelis Panel yang diketuai Wahidudin Adams beranggotakan Arief Hidayat dan M. Alim banyak memberi catatan dan masukan atas permohonan yang dianggap belum sempurna. Wahidudin misalnya, mempertanyakan legal standing (kedudukan hukum) karena para pemohon belum menikah. Sebab, kerugian konsitusional pemohon harus aktual atau potensial atas berlakunya pasal itu.

“Berdasarkan KTP para pemohon belum menikah. Jadi kerugiannya dimana? Atau paling tidak pemohon potensial dirugikan, misalnya para pemohon akan menikah beda agama,” kata Wahidudin.

Dia meminta materi permohonan menguraikan pertentangan norma antara pasal yang diuji dengan pasal-pasal dalam UUD 1945. Sebab, permohonan lebih banyak menguraikan contoh-contoh kasus yang termuat dalam putusan pengadilan terkait perkawinan beda agama. “Yang penting dipertajam pertentangan normanya dengan pasal batu ujinya,” pintanya.

Mantan Dirjen Perundang-Undangan itu juga menyarankan agar pemohon memasukkan pengaturan sistem perkawinan di negara-negara lain yang sudah menerapkan kawin beda agama sebagai perbandingan. Sebab, permohonan lebih banyak mengurai sulitnya proses pelaksanaan kawin beda agama, seperti perkawinan simulasi semu dengan berpindah agama untuk sementara waktu.

Mempertajam
Hakim konstitusi Arif Hidayat meminta pemohon mempertajam posita (uraian alasan) permohonan, misalnya, mengapa Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan inkonstitusional. “Kalau inkonstitusional, dimana letaknya? Reasoning (alasan) ini harus masuk dalam posita, jadi positanya harus lebih dipertajam.”

Arif melanjutkan upaya mempertajam posita ini harus dielaborasi dari aspek filosofisnya. Sebab, konstitusi Indonesia tidak menganut negara agama dan negara sekuler, tetapi berdasarkan Pancasila. Artinya, dasar sila pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa” harus menjadi landasan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara termasuk perkawinan. Misalnya, perkawinan memang “disinari” dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.

“Saudara bisa pakai buku-buku dosen Saudara sebagai referensi. Bisa juga pakai desertasinya dosen Saudara yang menyimpulkan hukum di Indonesia harus dibangun berdasarkan prinsip hukum universal netral berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, atau original intent sidang-sidang PPKI/BPUPKI saat Indonesia didirikan. Ini bisa memperkuat posita Saudara apakah bertentangan dengan konstitusi atau tidak,” jelasnya.

Arif mempertanyakan bagaimana mekanisme atau prosedur perkawinan jika permohonan ini dikabulkan. “Kalau begitu kita balik ke KUHPerdata yang mengartikan perkawinan sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan. Tetapi ini bisa saja kalau mintanya Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945, tetapi harus dimaknai seperti apa. Ini harus dipikirkan agar bisa meyakinkan kita,” katanya.
Tags:

Berita Terkait