Manfaat Pensiun Untuk Pekerja Jangan Diskriminatif
Berita

Manfaat Pensiun Untuk Pekerja Jangan Diskriminatif

Serikat pekerja mendorong manfaat pensiun yang diterima pekerja sektor swasta sama dengan PNS.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Sekjen OPSI, Timboel Siregar. Foto: SGP
Sekjen OPSI, Timboel Siregar. Foto: SGP
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mendesak pemerintah jangan diskriminatif dalam menetapkan manfaat pensiun untuk pekerja sektor swasta.

Sekjen KSPI, Muhammad Rusdi, berpendapat besaran manfaat pensiun yang diterima pekerja minimal 75 persen dari upah terakhir. Presentase manfaat pensiun yang diberikan secara berkala kepada pekerja itu sama seperti yang saat ini diterima PNS dan pekerja BUMN.

Untuk mendapat besaran presentase manfaat pensiun itu, dikatakan Rusdi, maka iuran jaminan pensiun sekira 18 persen dari upah. Rinciannya, pekerja membayar iuran 3 persen, pengusaha 12 persen dan pemerintah 3 persen. Dengan presentase itu pekerja swasta mendapat manfaat pensiun seperti PNS. Sehingga, tidak ada diskriminasi dalam pemberian manfaat pensiun kepada pekerja.

“Tidak boleh ada diskriminasi dalam pemberian manfaat pensiun karena pekerja swasta juga sudah berkontribusi setiap bulannya dalam bentuk membayar pajak. Oleh karenanya, wajib bisa hidup layak saat memasuki usia pensiun.” kata Rusdi dalam keterangan pers yang diterima hukumonline, Kamis (4/9).

Rusdi berharap dengan menerima manfaat pensiun 75 persen dari upah terakhir maka pekerja dapat hidup layak ketika pensiun. Desakan itu telah disampaikan KSPI dalam rapat anggota Tripartit Nasional (Tripnas) yang membahas RPP Jaminan Pensiun yang akan digulirkan lewat BPJS Ketenagakerjaan.

Namun dalam rapat tersebut, anggota LKS Tripnas unsur pemerintah dan pengusaha mengusulkan besaran manfaat pensiun hanya 25-30 persen dari upah. Menurutnya, besaran itu tidak layak. Ia pun mengingatkan UU SJSN dan BPJS mengamanatkan jaminan pensiun digelar untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak ketika peserta kehilangan atau berkurang pekerjaannya karena memasuki usia pensiun.

Rusdi menjelaskan parameter hidup layak harus mengacu sebagaimana perhitungan kebutuhan hidup layak (KHL). Yakni harus mendapat memenuhi kebutuhan hidup pekerja dan keluarganya. Seperti makanan, minuman, pakaian, kesehatan, perumahan, pendidikan dan transportasi.

Anggota LKS Tripnas unsur pekerja lainnya, Sahat Butar Butar, menolak usulan pemerintah dan pengusaha yang menginginkan besaran manfaat pensiun hanya 25 persen dari upah. Dengan besaran itu pekerja membayar 3 persen dan pengusaha 5 persen.

Padahal di kawasan Asia Tenggara, rata-rata besaran iuran jaminan pensiun yang dibayar pengusaha lebih dari lima persen. Misalnya, Vietnam 13 persen, China 20 persen, Malaysia 13 persen, Singapura 16 persen. “Iuran dari pengusaha rata-rata diatas 13 persen,” ujarnya.

Terpisah, Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, mengingatkan peraturan pelaksana BPJS Ketenagakerjaan harus diselesaikan paling lambat dua tahun sejak UU BPJS diterbitkan. Namun, pemerintahan SBY sampai saat ini belum menuntaskan RPP Pensiun.

Jika regulasi itu diterbitkan tidak tepat waktu maka menghambat pelaksanaan program yang digelar BPJS Ketenagakerjaan. Ini mengakibatkan sosialisasi tidak berjalan baik. Sehingga, masyarakat tidak mengetahui program-program yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan.

Timboel melihat hal itu terjadi dalam pelaksanaan BPJS Kesehatan, dimana pemerintah telat menerbitkan peraturan pelaksana sehingga berdampak pada pelaksanaan BPJS Kesehatan. “Banyak rakyat yang belum tahu tentang BPJS,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait