Suara Akademisi untuk Papua
Berita

Suara Akademisi untuk Papua

Thaha Alhamid: selama ini kebijakan tentang Papua diterbitkan menggunakan sudut pandang orang Pusat.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Foto: www.papua.go.id
Foto: www.papua.go.id
Forum Akademisi untuk Papua Damai meminta pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla membentuk lembaga khusus yang menangani masalah Papua. Tetapi, tak perlu membuat Undang-Undang khusus. Kok bisa?

Harapan pembentukan lembaga khusus itu disampaikan Mangadar Situmorang, Jum’at (05/9) lalu. Dekan FISIP Universitas Parahyangan Bandung ini berpendapat perlu ada instrumen yang bisa menciptakan ruang dialogis antara pemerintah pusat dan masyarakat Papua. Dan dialog itu tak sebatas membahas pembangunan infrastruktur. “Dibutuhkan instrumen yang bisa menciptakan ruang dialogis antara masyarakat Papua dan pemerintah di Jakarta. Dialog yang substansial,” ujarnya.

Nah, ruang dialog inilah yang bisa difasilitasi lembaga khusus dimaksud. Isinya, orang-orang lintas lembaga dan lintas kementerian, termasuk TNI dan Polri. Tujuannya, agar dialog yang terbangun bisa lebih konkret. Cuma, Mangadar tak bisa memastikan siapa saja orang yang layak duduk di lembaga tersebut kelak. Forum Akademisi hanya menekankan pentingnya melibatkan masyarakat Papua dalam lembaga tersebut.

Untuk memudahkan pembentukan lembaga dimaksud, Mangadar berpendapat tak perlu membuat Undang-Undang khusus, cukup melalui Peraturan atau Keputusan Presiden.

Sebenarnya, pembentukan lembaga khusus yang menangani Papua bukan tidak dilakukan. Otonomi khusus Papua sudah lama dijalankan. Ketua Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM, Purwo Santoso, mengatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mencoba menyelesaikan persoalan yang ada di Papua dengan membentuk Unit Pelaksana Percepatan Pembangunan di Papua dan Papua Barat (UP4B).

Tetapi di mata Purwo, unit kerja itu gagal melihat persoalan yang ada di Papua karena cara pandang yang digunakan adalah perspektif Jakarta, bukan menyentuh kebutuhan masyarakat di Papua. Alhasil, institusi tersebut hanya fokus pada pembangunan infrastruktur.

Padahal, Purwo menandaskan persoalan yang ada di Papua relatif mendasar, yaitu ada ketidakpercayan masyarakat terhadap pemerintah pusat. Untuk itu penyelesaian masalah harus dimulai dengan membangun dialog yang jujur dan terbuka antara pemerintah pusat dan masyarakat Papua. Tapi dialog itu jangan cuma digelar sekali saja, lembaga khusus itu harus melaksanakan forum dialog secara berkelanjutan. Pembahasan pun harus menyasar dari level atas sampai tingkat bawah (teknis). “Komunikasi harus terus dibangun,” tukasnya.

Forum Akademisi belum bisa memastikan jangka waktu yang dibutuhkan, personalia, dan target lembaga khusus. “Untuk hasilnya, kami belum membayangkan apakah akan ada perjanjian antara masyarakat Papua dan pemerintah pusat. Tapi yang jelas proses dialog itu yang terpenting,” urai Mangadar.

Tokoh masyarakat Papua, Thaha Alhamid, menilai pemerintah pusat tidak pernah melihat apakah kebijakan yang diterbitkan untuk Papua itu baik atau tidak. Selama ini kebijakan itu digulirkan dengan cara pandang pemerintah pusat. Akibatnya, sampai sekarang masyarakat Papua tidak merasakan dampak yang signifikan dari pembangunan. Padahal, otonomi khusus Papua sudah belasan tahun dilaksanakan dan menghabiskan puluhan triliun rupiah.

Bagi Thaha, pemerintah harus mengerti apa yang dibutuhkan Papua. Selama ini masyarakat Papua kerap dituding separatis, sehingga pemerintah pusat merasa perlu mengirim tentara bersenjata lengkap.  Menurut dia, yang diinginkan masyarakat hanya pemenuhan hak-hak masyarakat Papua atas keadilan ekonomi dan sosial.

“Selama ini pemerintah mengerjakan apa yang mereka pikir baik untuk Papua dan mereka tidak bertanya kepada orang Papua. Jokowi-JK harus ubah cara pandang itu, jangan jadikan orang Papua musuh,” tegas mantan Sekjen Presidium Dewan Papua itu.

Thaha berharap pemerintah pusat punya kebijakan yang khusus untuk Papua. Kebijakan yang diterbitkan secara nasional menurutnya tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat Papua. Misalnya, kebijakan nasional pemerintah yang menutup Sekolah Pendidikan Guru (SPG), padahal selain masalah infrastruktur pendidikan, Papua sampai sekarang kekurangan tenaga pendidik.
Tags:

Berita Terkait