Nasib Single atau Multibar Ditentukan Advokat
Berita

Nasib Single atau Multibar Ditentukan Advokat

Merujuk pada persyaratan, organisasi advokat memiliki pengurus di seluruh provinsi, minimal tiga puluh persen di tingkat kabupaten/kota, memiliki kantor tetap, dan saldo awal minimal Rp500 juta.

Oleh:
RFQ/YOZ
Bacaan 2 Menit
Suasana diskusi di DPR. Foto: RFQ
Suasana diskusi di DPR. Foto: RFQ
“Dalam RUU tidak dikatakan multibar atau single, maunya advokat apa, tentukan saja sendiri,” ucap Nudirman Munir, anggota Panja RUU Advokat dalam sebuah diskusi di Gedung DPR, Selasa (9/9). Pernyataan Nudirman menjawab keraguan atas mekanisme yang dirancang DPR dalam Revisi Undang-Undang (RUU) No.18 Tahun 2003 tentang Advokat.

RUU Advokat memang diharapkan menjadi ‘obat’ atas permasalahan perpecahan organisasi advokat. Meski RUU Advokat  membuka peluang terbukanya penerapan sistem multibar, persyaratan yang mesti dipenuhi organisasi advokat tak semudah membalikkan telapak tangan. Organisasi advokat yang berdiri mesti berjuang.  Ya, persyaratan yang harus dipenuhi agar organisasi advokat tersebut diakui dan sah mesti memiliki pengurus di 33 provinsi.

Tidak hanya itu, organisasi mesti memiliki pengurus 30 persen di tingkat kabupaten/kota pada setiap provinsi. Bahkan, mesti memiliki kantor tetap dan rekening awal sebesar Rp500 juta. “Dengan ketatnya persyaratan organisasi advokat yang ingin mendapat pengakuan ini  luar biasa persyaratan,” imbuhnya.

Anggota Komisi III itu berpandangan, jika RUU tersebut disahkan menjadi UU, maka akan membuktikan organisasi mana saja yang memenuhi persyaratan. Jika memang ternyata terdapat lebih dari satu organisasi yang memenuhi persyaratan, bukan tidak mungkin dapat dikatakan multibar.

“Kalau yang mampu ternyata cuma satu, ya itu single bar. Kalau mampu cuma dua, terus dibilang multibar ya silakan. Kita tidak lagi bicara single atau multibar, maunya advokat apa,” ujarnya.

Ketua umum Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN), Frans Hendra Winarta, berpandangan sebaiknya RUU Advokat tidak lagi berbicara single maupun multi bar, tapi lebih mengedepankan martabat advokat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pembela masyarakat.

Meski tidak sepenuhnya sependapat dengan keberadaan Dewan Advokat Nasional (DAN), namun Frans menekankan pembatasan atas keterlibatan campur tangan pemerintah terhadap dunia advokat. Misalnya, pemberian lisensi ujian advokat perlu negara campur tangan. “Organisasi advokat ini harus demokratis,” ujarnya.

Menurutnya, DPR tak dapat disalahkan dengan RUU Advokat. Namun, ia tak menampik persyaratan memiliki pengurus di 33 provinsi memiliki kelebihan dan kekurangan. Ia berharap persyaratan tersebut perlu dikaji lebih mendalam. “Jangan sampai yang ingin mendirikan organisasi tidak bisa,” ujarnya.

Praktisi hukum Kongres Advokat Indonesia (KAI), Erman  Umar, mengamini pandangan  Nudirman dan Frans. Ia berpandangan RUU Advokat memang terkesan multibar. Namun sesungguhnya, mendirikan organisasi advokat tidak semudah hanya memiliki pengurus di satu kota. Menurutnya, organisasi advokat tidak serta merta menggelar pendidikan advokat.

“Dengan persyaratan yang sedemikian ketat, tentu tidak banyak organisasi yag dapat diakui menjadi organisasi advokat yang sah,” ujarnya.

Ia berpandangan dengan beragam organisasi advokat tetap mengedepan satu etika profesi. Menurutnya, mengedepankan pelayanan pembelaan hukum bagi masyarakat pencari keadilan yang perlu diutamakan. “Biarkanlah multi, tetapi harus mengusung semangat jiwa corsa advokat,” ujarnya.

Ketua DPN PERADI, Otto Hasibuan memahami banyaknya perbedaan pandangan terkait single atau multibar. Namun berdasarkan catatan Otto, hampir di berbagai negara menganut sistem singlebar. Tujuannya, agar advokat memiliki standa lisensi. Advokat merupakan profesi bermartabat.

“Advokat itu profesi bukan pekerjaan tukang baso. Maka, profesi punya standar yang tinggi, kalau tidak akan mengorbankan rakyat pencari keadilan,” ujarnya.

Persoalan perdebatan, Otto bersama Peradi tetap menolak RUU Advokat. Sekalipun DPR kekeuh ingin mengesahkan, Otto berharap ditunda. Menurutnya, banyak persoalan yang perlu dibahas mendalam dengan kalangan akademisi. Pasalnya, telah terdapat beberapa universitas yang menolak RUU Advokat.

“Tunda dulu, mari bicarakan terlebih dahulu. Bicarakan dengan akademisi. Beberapa Universitas menolak. Jadi tidakasaja subyektif dari Peradi, monggoh kalau tidak sependapat,” pungkasnya.

Segera Disetujui
Terpisah, Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) mendesak DPR untuk menyetujui RUU Advokat. Sekjen DPP IKADIN, Zulkifli Nasution, mengatakan RUU itu penting untuk segera disahkan karena sudah memenuhi analisa akademik, meningkatkan harkat martabat advokat sehingga menambah independensi advokat.

Zulkifli mencontohkan, dalam RUU tersebut diatur mengenai pembentukan Dewan Advokat Nasional (DAN) yang akan mengatur kode etik profesi bagi para advokat. Menurutnya, pembentukan DAN amat penting untuk mengawasi tugas-tugas advokat agar bekerja sesuai etik.

"Sekarangkan kode etik advokat gak jelas, advokat kalau melanggar aturan paling cuma ada di media, padahal wartawan saja kalau melanggar etik ada dewan pers, " katanya dalam jumpa pers di Jakarta.
Tags:

Berita Terkait