KY dan MA Usul Pembentukan UU Jabatan Hakim
Berita

KY dan MA Usul Pembentukan UU Jabatan Hakim

Untuk mempertegas status hakim sebagai pejabat negara.

Oleh:
RZK
Bacaan 2 Menit
Kiri-Kanan: Taufiqurrahman Syahuri (Komisioner KY), Deddy S. Bratakusumah (Staf Ahli Menpan), Suwardi (Wakil Ketua MA) dan Jimly Asshiddiqie (eks Ketua MK) dalam acara seminar
Kiri-Kanan: Taufiqurrahman Syahuri (Komisioner KY), Deddy S. Bratakusumah (Staf Ahli Menpan), Suwardi (Wakil Ketua MA) dan Jimly Asshiddiqie (eks Ketua MK) dalam acara seminar "Manajemen Hakim Sebagai Pejabat Negara", Selasa (9/9). Foto: RES
Salah satu anugerah dari era reformasi bagi kalangan hakim adalah penyematan status pejabat negara. Meski reformasi sudah berjalan 16 tahun, status pejabat negara yang disandang hakim ternyata masih menyisakan sejumlah masalah. Salah satu masalah itu terkait regulasi.

Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) bidang non-Yudisial, Suwardi mengidentifikasi adanya ketidaksinkronan berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan status kepegawaian hakim. Nyatanya, kata dia, hakim dari sisi hak keuangan, kenaikan pangkat, dan fasilitas masih menggunakan standar pegawai negeri sipil (PNS).

“Perlu ada payung hukum di bawah UU Kekuasaan Kehakiman yang khusus mengatur status kepegawaian, hakim, mekanisme jenjang karier, hak-hak keuangan, dan fasilitas hakim dan sebagainya,” ujar Suwardi dalam acara seminar “Manajemen Hakim sebagai Pejabat Negara” di Gedung Komisi Yudisial (KY), Selasa (9/9).

Selain mengusulkan UU Jabatan Hakim, Suwardi juga mengatakan MA dan KY harus segera merumuskan peraturan bersama mengenai proses seleksi calon hakim. Menurut Suwardi, peraturan bersama ini untuk menindaklanjuti tiga undang-undang bidang peradilan yang terbit pada tahun 2009 yang mengamanatkan kepada MA dan KY untuk membuat aturan bersam mengenai proses seleksi.

Tiga undang-undang tersebut adalah UU Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Langkah awal menuju perumusan aturan bersama MA dan KY tentang seleksi calon hakim, sebenarnya sudah dirintis dengan terbitnya SK KMA Nomor 80/KMA/SK/V/2014 tentang tim penghubung MA dan KY untuk membahas bersama tentang rekrutmen hakim.

Sepakat dengan usulan Wakil Ketua MA bidang non-Yudisial, Komisioner KY Taufiqurrahman Syahuri mengatakan UU Jabatan Notaris dibutuhkan karena peraturan perundang-undangan yang berlaku selama ini terkesan tambal sulam. Taufiq mencontohkan PP Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah MA, mengatur tunjangan jabatan bagi hakim, sedangkan gaji pokoknya masih merujuk pada standar PNS.

“Dengan peraturan pemerintah tidak mungkin, karena peraturan pemerintah hanya bisa mengatur hal yang bersifat administrasi, lagipula pembentukan peraturan pemerintah harus ada perintah undang-undang,” paparnya.

Menurut dia, peraturan bersama MA dan KY juga dibutuhkan sebagai dasar hukum pelaksanaan kewenangan rekrutmen hakim yang dimiliki kedua lembaga. Taufiq menekankan pentingnya dalam proses seleksi hakim sebagi instrumen untuk menjauhkan proses rekrutmen dari kepentingan-kepentingan politik yang seringkali terjadi.

Dalam acara yang sama, Pakar HTN Jimly Asshiddiqie mengatakan persoalan terkait status hakim sebagai pejabat negara memerlukan solusi yang menyeluruh. Selama, kata dia, solusi yang ditawarkan termasuk berupa undang-undang sifatnya sektoral atau sepenggal-sepenggal.

“Masalah ini harusnya selesai pada tahun 1999, momen penyatuan atap peradilan. Ketika hakim dinyatakan sebagai pejabat negara harus dielaborasi apa saja implikasi dari perubahan status itu,” ujar Jimly yang juga mantan Ketua MK.

Jimly melihat, ketika ide penyatuan atap direalisasikan, para pengambil keputusan yang berwenang hanya memikirkan aspek office (kelembagaan, red), sedangkan official-nya (SDM, red) tidak dipikirkan. Implikasinya, terjadi polemik terkait status hakim sebagai pejabat negara seperti sekarang ini.
Tags:

Berita Terkait