Penguji UU MD3 Minta MK Jatuhkan Putusan Sela
Berita

Penguji UU MD3 Minta MK Jatuhkan Putusan Sela

Permintaan putusan sela akan dipertimbangkan MK.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Penguji UU MD3 Minta MK Jatuhkan Putusan Sela
Hukumonline
Salah satu pemohon uji materi UU No. 17 Tahun 2014 tentang tentang Perubahan UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meminta MK menjatuhkan putusan sela untuk menunda pelaksanaan UU MD3. Hal ini untuk menghindari penyanderaan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla oleh parlemen lantaran UU MD3 hasil revisi itu membolehkan pimpinan DPR tidak harus pemenang pemilu.      

“Kita minta hakim MK memberi putusan agar suasana DPR menjadi lebih tenang dan Jokowi-JK dapat memulai pemerintahannya dengan tenang,” harap Ketua DPP Bidang Hukum PDI Perjuangan Trimedya Panjaitan usai mengikuti sidang pengujian UU MD3 dengan agenda perbaikan permohonan di Gedung MK, Rabu (10/9).

Trimedya khawatir jika UU MD3 ini tetap diberlakukan, pemerintahan Jokowi-JK tidak berjalan efektif karena disandera oleh parlemen. Sebab, UU MD3 ini membuka ruang bagi koalisi merah putih untuk menduduki posisi pimpinan DPR dan pimpinan alat kelengkapan DPR lainnya.

Dia tegaskan permintaan itu bukan hanya persoalan kursi ketua DPR, tetapi jika pimpinan DPR dan alat kelengkapan lain dikuasai koalisi merah putih, maka program Jokowi-JK dimungkinkan tidak bisa berjalan karena disandera parlemen. “Kita sudah lihat RUU Pilkada yang dipilih langsung oleh DPRD, ini menunjukan kemunduran demokrasi, bagaimana menguasai parlemen yang mungkin mengganggu pemerintahan pak Jokowi-JK,” jelasnya.

Dijelaskan Trimedya UU MD3 lama (UU No. 27 tahun 2009) ketua DPR berasal dari partai pemenang pemilu. Sedangkan pimpinan kelengkapan DPR dipilih dengan mekanisme proporsional fraksi. “Pada Pemilu 2009, Partai Demokrat menang pemilu, Demokrat akan memilih dulu mau ketua fraksi apa, kemudian disusul Golkar, PDI Perjuangan dan seterusnya sesuai urutan perolehan suara dalam pemilu,” kata mencontohlan.

“Makanya, kita berharap uji materi UU MD3 ini sudah diputuskan paling lambat 25 September 2014,” kata Trimedya.

Dipercepat
Dalam sidang perbaikan, kuasa hukum PDI Perjuangan Andi Muhammad Asrun pun telah meminta agar majelis menjatuhkan putusan sela karena pihaknya telah mensinyalir tata tertib DPR sudah mengacu pada UU MD3 yang sedang diuji ini. Selain itu, Andi mendesak MK agar mempercepat sidang uji materi UU MD3 ini sebelum pelantikan DPR periode 2014-2019 pada 1 Oktober.

“Pada tanggal 2 September 2014, kami sudah mengirimkan surat kepada Mahkamah agar cepat memproses persidangan karena anggota DPR periode mendatang akan segera dilantik, mohon agar ada prioritas pemeriksaan,” ujar Asrun dalam persidangan yang dipimpin Arief Hidayat yang didampingi oleh Patrialis Akbar dan Muhammad Alim.

Begitu pula dengan pemohon dari Koalisi Kepemimpinan Perempuan yang diwakili kuasa hukumnya Veri Junaidi meminta agar proses persidangan uji materi ini dipercepat agar bisa diputuskan sebelum pelantikan anggota DPR yang baru.

Tak hanya PDIP dan Koalisi Kepemimpinan Perempuan, pemohon lainnya DPD dalam persidangan panel perbaikan berikutnya pun meminta hal serupa. DPD meminta MK memprioritaskan pengujian UU MD3 ini dengan mempercepat proses persidangan karena menyangkut agenda ketatanegaraan.  

“Prioritas perkara ini diputus sebelum 1 Oktober 2014, alasannya kuat karena DPD pun akan mengganti anggotanya,” ujar salah satu Anggota DPD I Wayan Sudirta dalam sidang panel yang berbeda yang diketuai Arief Hidayat dan didampingi Maria Farida dan Aswanto.

Pimpinan sidang, Arief Hidayat mengatakan sudah merekam semua permohonan pemohon. Selanjutnya, majelis akan mempertimbangkan permintaan para pemohon yang akan diputuskan dalam rapat permusyawaratan hakim.“Terkait percepatan sidang pleno dan putusan sela, nanti kami bahas dalam rapat permusyawaratan hakim. Nanti, akan kita beritahukan kepada pemohon,” kata Arief.

Dalam permohonanya, PDIP mempersoalkan aturan mekanisme pemilihan pimpinan komisi, pimpinan Badan Legislasi, Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP),pimpinan Badan Anggaran yang sifatnya ad hoc, tiba-tiba dipermanenkan. Lalu, mekanisme pemilihan Mahkamah Kehormatan Dewan, pimpinan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), tetapi Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) justru dihilangkan, dan adanya hak imunitas anggota DPR saat menjalani proses hukum.

Utamanya, Pasal 84 UU MD3 Revisi terkait mekanisme pemilihan pimpinan DPR oleh anggota DPR, bukan parpol pemenang pemilu. Padahal, konvensi ketatanegaraan sudah menentukan setiap pemenang pemilu berhak menjabat Ketua DPR. Karenanya, PDIP minta dikoreksi atau dibatalkan.

DPD memohon pengujian baik secara formil maupun secara materil terhadap 21 pasal yang dinilai memperkuat DPR, tetapi memperlemah posisi DPD. Misalnya, dihapusnya sanksi anggota DPR yang enam kali berturut-turut tidak menghadiri sidang paripurna, tetapi sanksi itu masih tetap berlaku bagi DPD, penghapusan pasal penyidikan anggota MPR, DPD, DPRD, penghapusan BAKN, penghapusan larangan penerimaan gratifikasi, termasuk pemeriksaan anggota DPR dalam proses penyidikan harus mendapat persetujuan Mahkamah Kehormatan DPR (Pasal 245 UU MD3)  

Sementara itu, majelis panel lain menggelar persidangan terpisah yang diajukan ICJR dan sejarawan JJ Rizal yang diwakili LBH Jakarta. ICJR dan JJ Rizal memohon pengujian Pasal 245 UU MD3 Revisi yang terkesan mengistimewakan DPR dengan memberi perlindungan terhadap anggota DPR ketika menghadapi proses hukum. Pasal itu dinilai bertentangan dengan prinsip nondiksriminasi seperti diatur Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, sehingga diminta untuk dibatalkan.

Untuk diketahui, Peraturan MK No. 6 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara dalam Pengujian UU, tidak mengenal ketentuan putusan sela. Putusan sela hanya diatur dalam perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) seperti diatur Pasal 21 ayat (1) Peraturan MK No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Beracara dalam SKLN. Namun, dalam paraktik MK pernah menjatuhkan putusan sela pada Oktober 2009 terkait pengujian Pasal 32 ayat (1) huruf c UU KPK yang menetapkan Presiden Yudhoyono tidak bisa memberhentikan secara tetap Wakil Ketua KPK (nonaktif) Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto meski keduanya nanti berstatus terdakwa.
Tags:

Berita Terkait