Putusan Tanpa Identitas Pihak Tetap Sah
Berita

Putusan Tanpa Identitas Pihak Tetap Sah

Hakikatnya putusan ini mengabulkan permohonan pemohon.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Majelis MK. Foto: RES
Majelis MK. Foto: RES
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menolak pengujian Pasal 197 ayat (1) huruf l UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dimohonkan Ferry Tansil. Namun, Mahkamah memberi tafsir konstitusional atas pasal itu dengan mencabut Pasal 197 ayat (2) huruf l, sehingga diartikan sebuah putusan pemidanaan yang tidak memuat identitas para pihak tidak batal demi hukum alias tetap sah.

Dalam putusan bernomor 68/PUU/XI/2013, Mahkamah memaknai Pasal 197 ayat (1) huruf l KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat Pasal 197 ayat (1) huruf l mengakibatkan putusan batal demi hukum. Dengan demikian, Pasal 197 ayat (2) KUHAP selengkapnya menjadi. “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, dan j pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.”

Pasal 197 ayat (1) huruf l KUHAP menegaskan surat putusan pemidanaan memuat : (l) hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera.

Sebelumnya, Ferry Tansil melalui kuasa hukumnya menilai Pasal 197 ayat (1) huruf l KUHAP sangat jelas menyebutkan surat pemidanaan harus mencantumkan hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus, dan nama panitera pengganti yang bertugas. Namun, dalam kasus yang dialami Ferry, putusan pengadilan tinggi, MA hingga peninjauan kembali, Pasal 197 KUHAP tidak pernah dicantumkan.

Menurutnya, Pasal 197 ayat (1) huruf l bersifat imperatif dan kumulatif yang tidak boleh satu pun unsur tidak dimuat atau lalai mencantumkannya yang bisa mengakibatkan putusan pemidanaan batal demi hukum. Penerapan Pasal 197 ayat (1) huruf l harus dimaknai secara utuh dan berlaku pada semua tingkat peradilan. Karenanya, pemohon meminta MK agar Pasal 197 ayat (1) huruf l KUHAP dibatalkan dan dimaknai tidak bersifat imperatif pada semua tingkat peradilan, kecuali tingkat pengadilan tingkat pertama.

Dalam putusan yang dibacakan, Kamis (11/9) kemarin, Mahkamah kembali mengutip putusan bernomor 69/PUU-X/2012 yang telah memberi makna Pasal 197 ayat (2) huruf k KUHAP bertentangan dengan UUD 1945  apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP mengakibatkan putusan batal demi hukum.

“Sama halnya dengan kasus ini, dalam praktik kadang-kadang surat putusan pemidanaan pengadilan lalai mencantumkan syarat yang disebutkan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf l, sehingga berdasarkan ketentuan ayat (2) pasal tersebut putusan menjadi batal demi hukum,” ucap Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam saat membacakan pertimbangan.

Menurut Mahkamah, Pasal 197 ayat (1) huruf l dan ayat (2) KUHAP dapat menimbulkan keraguan dan ketidakpastian hukum yang adil dalam penerapannya. Apakah adil jika karena adanya kekeliruan administratif seseorang yang secara substantif seharusnya dipidana menjadi bebas?

“Jika syarat formal yang ditentukan Pasal 197 ayat (1) huruf l KUHAP mutlak berlaku dan putusan menjadi batal demi hukum, seseorang yang seharusnya dipidana menjadi bebas tentunya akan menimbulkan ketidakadilan. Karena itu, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.”

Usai persidangan, kuasa hukum pemohon, Frederich Yunadi mengaku agak kecewa dengan putusan MK itu. Dia mengatakan putusan itu sebenarnya mengabulkan permohonan kliennya yang meminta menghapus ayat itu, tetapi amar putusannya dinyatakan ditolak seluruhnya. Menurutnya, Pasal 197 ayat (1) huruf l KUHAP kan seperti pasal karet yang sering dimultitafsirkan jaksa.

“Saya minta dihapus, putusannya kan dihapus, berarti permohonan saya dikabulkan. Tetapi MK menolak permohonan saya. Ini kesalahan fatal, seperti MK tidak memahami apa yang saya mohonkan,” kata Frederich.
Tags:

Berita Terkait