Pemerintah Baru Harus Jamin Kebebasan Beragama
Berita

Pemerintah Baru Harus Jamin Kebebasan Beragama

Jangan mengulangi kesalahan pemerintahan sekarang yang abai dalam menjamin pelaksanaan kebebasan beragama.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Pemerintah Baru Harus Jamin Kebebasan Beragama
Hukumonline
Berbagai perwakilan komunitas agama dan kepercayaan yang tergabung dalam Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) mendesak pemerintahan yang baru terpilih untuk menjamin pemenuhan hak kebebasan beragama.

Menurut Sekretaris Umum ICRP, Imdadun Rahmat, Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan konstitusi. Hukum yang berlaku di Indonesia tidak membenarkan adanya diskriminasi terhadap kelompok agama atau keyakinan tertentu. Mengacu pasal 29 ayat (2) UUD 1945, negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agamanya dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu. “Oleh sebab itu, upaya-upaya diskriminasi berbasis agama merupakan tindakan melanggar hukum dan inkonstitusional,” kata Imdadun dalam jumpa pers di kantor ICRP di Jakarta, Jumat (12/9).

Pemerintahan terpilih, dikatakan Imdadun, harus menegakkan hak-hak warga negara dan melindungi semua warganya dari ancaman pelanggaran HAM. Ia menilai selama sepuluh tahun pemerintahan SBY, bermacam komunitas agama dan berkeyakinan luput dari perhatian. Misalnya, komunitas Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat (NTB) sudah 10 tahun ini terusir dari kampungnya dan menjadi pengungsi. Ironisnya, tidak ada kebijakan yang jelas dari pemerintah. Begitu juga dengan pengungsi Syiah Sampang.

Vice President ICRP, Johannes Hariyanto, menyayangkan sikap pemerintahan sekarang yang melakukan pembiaran terhadap persoalan kebebasan beragama. Bahkan di beberapa kasus, ia melihat aparat pemerintah menjadi pelaku tindak intoleransi. “Kami berharap pada pemerintahan baru,” ujarnya.

Bagi Hariyanto, pemerintah tidak tepat masuk ke ranah teologi warganya dalam beragama dan berkeyakinan karena itu hak asasi. Pemerintah tidak perlu menentukan mana agama yang resmi atau tidak. Misalnya, dalam RUU Kerukunan Antar Umat Beragama (KUB), pemerintah mengatur hal yang benar menurut pandangannya sendiri. Sehingga, pemerintah hanya menggunakan tafsir tertentu.

Menurut Hariyanto, tafsir tunggal itu akan digunakan untuk mengatur hal yang berkaitan dengan penodaan agama. Jika dianggap melakukan penodaan maka bisa dipidana. Untuk itu ia menolak RUU KUB karena pemerintah harusnya menjamin, bukan mengatur hak warganya dalam melaksanakan hak beragama dan berkeyakinan serta menjalankan ibadah. “Kalau negara mengatur maka negara bisa memidana. Kalau menjamin, maka kalau lalai yang dipidana ya negara,” urai Hariyanto.

Sekjen Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Gomar Gultom, menilai pemerintah salah dalam mengatur pelaksanaan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan serta beribadah. Sehingga, kerukunan yang tercipta selama ini, dari masa orde baru sampai sekarang seolah karena diatur. Oleh karenanya, masyarakat harus meyakinkan pemerintahan baru nanti agar kerukunan yang ada harus otentik.

Sayangnya, tidak ada mekanisme pengaduan keluhan yang tersedia jika hak konstitusional masyarakat untuk beragama dan berkeyakinan serta beribadah tidak terjamin. Menurutnya, itu menunjukkan adanya kekosongan hukum.

Selain itu, pemerintahan yang baru nanti wajib membenahi kementerian agama. Sebab, Gomar melihat terjadi pengkotak-kotakan dalam unit kerja di dalam kementerian berdasarkan agama resmi yang diakui. Padahal, kalau bicara nasionalisme dan ke-Indonesiaan, hal itu harusnya tidak terjadi. “Peran dan tugas kementeriaan agama harus dibenahi,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait