Hamdan Zoelva Kritik Produksi Undang-Undang
Utama

Hamdan Zoelva Kritik Produksi Undang-Undang

Indonesia sangat membutuhkan kepemimpinan yang bervisi, bersih, dan berani.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Ketua MK Hamdan Zoelva. Foto: RES
Ketua MK Hamdan Zoelva. Foto: RES
Ketua MK Hamdan Zoelva mengatakan fokus pembangunan hukum harus diarahkan pada penguatan institusi (kelembagaan) penegak hukum dan budaya hukum. Sebab, kecenderungan saat ini lebih banyak memproduksi undang-undang, tetapi tidak dapat dijalankan dengan baik.

“Tidak ada gunanya memproduksi undang-undang kalau implementasi tidak berjalan baik. Ini titik lemah kita saat ini. Maka saatnya fokus pada penguatan institusi penegak hukum dan budaya,” ujar Hamdan saat berbicara dalam Simposium bertajuk “Cetak Biru Indonesia Masa Depan dari KAHMI untuk Bangsa” di Aula Gedung MK, Selasa (16/9).

Hadir sebagai pembicara dalam acara ini diantaranya mantan Ketua MK Moh Mahfud MD, Ketua Dewan Pakar KAHMI Laode M. Kamaluddin, dan anggota Majelis Pakar KAHMI Anwar Arifin.

Hamdan mengingatkan untuk mewujudkan penegakan hukum tidak hanya menyangkut substansi hukum (tertulis dan tidak tertulis), tetapi juga menyangkut struktur hukum (kelembagaan) dan budaya hukum (legal culture). Ketiga hal itu, harus berlandaskan nilai moral dan nurani, prinsip kesetaraan, nondiskriminasi, dan berorientasi mewujudkan keadilan.

“Hukum dengan segala penegakannya harus memberi ruang dan nilai lebih pada keadilan ketimbang kepastian hukum. Semua pihak terutama penegak hukum dituntut mengedepankan kejujuran dan ketulusan dalam penegakkan hukum,” pesannya.

Ia sependapat jika restorative justice system yang diklaim sebagai pemikiran baru diterapkan untuk merespon ketidakpuasan dan rasa frustasi terhadap sistem peradilan formal.

Di bidang politik, kata Hamdan, realitas politik saat ini agenda kompetisi dan konstelasi yang keras mengedepankan prinsip menang-kalah, mayoritas-minoritas, sangat jauh dari ideal dan kehendak para pendiri negara ini. Karenanya, sistem politik demokrasi harus sesuai arahan Pembukaan UUD 1945. Hal terpenting dalam demokrasi adalah rakyat menjadi penentu masa depan lewat mandat yang diberikan baik secara langsung maupun perwakilan.

Dia mengutip pandangan Muhammad Hatta yang menawarkan demokrasi kekeluargaan yang berlandaskan permusyawaratan. Konsep demokrasi musyawarah mufakat ini yang seharusnya didorong sebagai penguat rancang bangun politik ketatanegaraan kita. “Berpegang arahan UUD 1945, setiap aktor politik apapun semestinya membuka terciptanya musyawarah dengan menjunjung tinggi etika politik dan semangat kekeluargaan.”        

Terus dievaluasi
Berdasarkan pengamatannya pascareformasi telah banyak terjadi pergeseran atau perubahan yang cukup mengkhawatirkan dalam tatanan bernegara dan sistem pemerintahan selama 16 tahun terakhir. Dia menyarankan era reformasi harus terus dievaluasi dan disempurnakan sama seperti Era Reformasi sebagai koreksi dari zaman Orde Baru.

“Perkembangan terakhir banyak sekali kenyataan yang kita lihat terjadi pergeseran perubahan yang mungkin dikatakan cukup mengkhawatirkan. Ini harus ditemukan solusinya,” katanya.

Menurut dia setiap zaman selalu memiliki jawaban atas situasi dan kondisi yang dihadapi, sehingga tidak ada yang perlu dipersalahkan terhadap kebijakan yang lahir dari suatu rezim. Indonesia selama 69 tahun merdeka telah mengalami berbagai goncangan, cobaan dan pengalaman.

Selanjutnya, Indonesia dipersatukan sebagai sebuah negara dan bangsa yang satu dengan melaksanakan liberal pada tahun 1950-1959, tetapi gagal. Indonesia lalu beralih pada demokrasi terpimpin Soekarno pada 1959-1965 dan gagal. Indonesia di bawah pemerintahan Soeharto kemudian menjalankan demokrasi Pancasila pada 1967-1998.

“Jadi kalau kita katakan apakah Soekarno salah mengambil demokrasi terpimpin, tidak juga salah. Sebab, dia harus menghadapi masalah liberal yang sangat luar biasa pada saat itu. Begitu juga Soeharto,” terang Hamdan.

Mahfud MD menilai sehebat apapun pertumbuhan ekonomi dan teknologi suatu negara, kalau hukum tidak ditegakkan negara tetap akan hancur. Karenanya, Indonesia sangat membutuhkan kepemimpinan yang bervisi, bersih, dan berani terutama dalam upaya pemberantasan korupsi baik korupsi di birokrasi maupun peradilan. “Ada pemimpin bersih, tetapi tidak berani,” ungkapnya.

Uniknya, kata Mahfud, dari satu ke pemerintahan ke pemerintahan lain upaya pemberantasan korupsi di birokrasi belum ada yang berhasil baik. Dia berharap pemerintahan baru berani membuat terobosan-terobosan yang radikal dalam penanganan persoalan dalam struktur birokrasi selain memperkuat semua lembaga hukum hukum  Sebab, banyak sekali birokrat yang terjerat kasus korupsi, mulai dari menteri hingga pejabat eselon.

“Saya sepakat tidak perlu membuat produk hukum baru, tetapi pemimpin baru bisa membuat terobosan-terobosan radikal dan memperkuat lembaga hukum. Kalau salah kan tinggal diperbaiki,” ujar pria yang tercatat sebagai Ketua Majelis Presidium KAHMI ini.
Tags:

Berita Terkait