Kolega, Keponakan, dan Murid Kenang Bu Hafni
Berita

Kolega, Keponakan, dan Murid Kenang Bu Hafni

Dosen killer yang tidak pandang bulu.

Oleh:
RZK
Bacaan 2 Menit
Plakat peresmian Moot Court Hj. Hafni Sjahruddin. Foto: Istimewa (edit)
Plakat peresmian Moot Court Hj. Hafni Sjahruddin. Foto: Istimewa (edit)
Masa kuliah bagi sebagian orang mungkin menjadi momen yang tak terlupakan. Banyak hal yang bisa dikenang, salah satunya kenangan tentang dosen. Di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), (alm) Hafni Sjahruddin mungkin menjadi salah satu dosen yang paling dikenang para mahasiswa-mahasiswi FHUI yang pernah diajarnya.

Dalam acara peresmian ruangan Moot Court Hj. Hafni Sjahruddin, Dekan FHUI Prof Topo Santoso mengatakan Bu Hafni, begitu almarhumah akrab disapa, adalah seorang dosen senior yang memiliki dedikasi tinggi. Topo memuji Bu Hafni sebagai dosen yang mampu menanamkan kemampuan analisa dan membaca pasal yang baik kepada mahasiswa-mahasiswi.

“Beliau pasti selalu dikenang mahasiswa,” ujar Topo, dalam acara peresmian yang digelar Jumat lalu (12/9).

Apa yang dikatakan Topo memang terbukti. Dengan maksud mengenang sosok dosen mata kuliah hukum dagang itu, Moot Court terbaru FHUI diberi nama Moot Court Hj. Hafni Sjahruddin. Menurut Topo, nama Hj. Hafni Sjahruddin bahkan sempat ‘diperebutkan’ karena alumni FHUI Angkatan 1990 juga ingin mengabadikan nama Bu Hafni untuk sebuah ruangan yang akan direnovasi.

Selain untuk nama ruangan, Bu Hafni juga diabadikan untuk nama kompetisi the 5th Business Law Competition 2014. Kompetisi yang digelar 15-22 September 2014 di Kampus FHUI Depok itu memperebutkan Piala Hafni Sjahruddin.    

Prof Mardjono Reksodiputro juga memiliki kenangan tersendiri tentang mendiang Bu Hafni. Pak Boy, begitu Sekretaris Komisi Hukum Nasional ini biasa disapa, adalah sohib Bu Hafni mulai dari zaman sekolah di SMA Boedi Oetomo hingga kuliah dan kemudian sama-sama menjadi dosen di FHUI, dengan mata kuliah yang berbeda.

Pak Boy mengenang Bu Hafni sebagai sosok yang rajin dan disiplin tinggi. Dia ingat ketika zaman SMA, Bu Hafni adalah siswa yang rajin datang pagi demi mendapatkan duduk di barisan depan. Semasa SMA dan kuliah, menurut Pak Boy, Bu Hafni juga dikenal tidak pelit meminjamkan buku catatan.

Soal disiplin tinggi, Mirza Chaidir mengamininya. Perwakilan keluarga yang hadir dalam acara peresmian Moot Court Hj. Hafni Sjahruddin ini mengenang Bu Hafni sebagai sosok yang ‘lurus’. Dengan status sebagai keponakan, Mirza yang juga alumni FHUI mengaku tidak pernah mendapat perlakuan istimewa ketika menjadi mahasiswa.

“Kuliah hukum dagang, saya kira sebagai keponakan bakal dapat prioritas, ternyata di hari pertama saya disuruh maju ke depan membacakan pasal-pasal, lalu dibilang ‘Anda lulus pemberantasan buta huruf’,” kenang Mirza.

Seorang anggota media warga, Kompasiana, Ayu Novita Pramesti mencurahkan kenangannya tentang sosok Bu Hafni dalam bentuk tulisan. Diunggah Oktober 2011, mengenang pengalaman pertamanya mengikuti kuliah hukum dagang. Ayu bercerita ketika itu dia harus ikut berlari pindah ruangan dengan peserta kuliah hukum dagang lainnya, hanya karena mendapat informasi bahwa yang akan mengajar Bu Hafni.  

“Terdengar kabar kalau ruangan dipindah ke gedung C dan dosennya adalah Ibu Hafni. Spontan,  semua yang ada di ruangan berlarian, berhamburan keluar!” tulisnya.

Ayu baru paham alasan teman-temannya berlari, yakni mereka berebut duduk di depan karena Bu Hafni yang dikenal sebagai dosen killer konon suka menjadikan mahasiswa/mahasiswi yang duduk di belakang sebagai ‘sasaran tembak’. Setelah mengikuti kuliah hukum dagang, Ayu juga baru paham betapa disiplinnya seorang Bu Hafni.

“Toleransi terlambat hanya 15 menit. Lebih dari itu, lebih baik tidak usah masuk kelas karena pasti diusir,” papar Ayu.

Kedisiplinan yang diterapkan Bu Hafni akhirnya menjadi rasa takut pada diri Ayu. Dia mengaku pernah urung masuk kelas kuliah Bu Hafni karena telat. Padahal, waktu itu, agendanya ujian tengah semester. Beruntung, Ayu mendapatkan kesempatan memberikan ujian tambahan. Meskipun killer, Ayu ternyata merasa kehilangan ketika Bu Hafni karena alasan kesehatan tidak lagi mengajar.

“Memang agak melegakan juga. Namun memang ada yang ‘hilang’, yaitu suasana tegang dan mencekam itu…,” kenang Ayu.

Tulisan Ayu di Kompasiana ini memang dibuat tidak lama setelah dia mendengar kabar Bu Hafni berpulang. Makanya, di bagian akhir tulisan, Ayu berucap, “Selamat jalan Ibu…Terima kasih sudah mengajarkan kami untuk tidak hanya sekadar bisa membaca peraturan tetapi terus ‘menekan’ kami agar memahami makna yang ada di balik peraturan itu…”
Tags:

Berita Terkait