Profesi Advokat Harus Independen dan Bebas dari Intervensi Pemerintah
Kolom

Profesi Advokat Harus Independen dan Bebas dari Intervensi Pemerintah

Sebelum UU Advokat diubah, maka haruslah dilakukan penelitian dan audit apakah PERADI sebagai organisasi telah gagal dalam melaksanakan fungsinya.

Bacaan 2 Menit
Foto: Koleksi Pribadi (Edit)
Foto: Koleksi Pribadi (Edit)
  Konsep Dewan Advokat Nasional (DAN) yang digagas dalam RUU Advokat mendapat penolakan yang sangat keras dari kalangan advokat. Dalam konsep RUU, anggota DAN sebanyak 9 orang ditentukan oleh pemerintah bersama DPR, wajar saja jika para advokat berpendapat DAN ini sebagai alat untuk mencampuri dan merampas kemerdekaan profesi advokat. Advokat itu adalah profesi mandiri dan swasta, sama dengan profesi lain, misalnya profesi kurator, akuntan, notaris tidak ada campur tangan pemerintah dalam menentukan para pengurusnya, nah kenapa untuk profesi advokat dipaksakan adanya campur tangan pemerintah?    Merampas kedaulatan advokat sama saja dengan mendikte profesi advokat, membuat advokat menjadi terdegradasi dan menghilangkan sifat dari profesi advokat yang bebas dan mandiri. Kalau sampai DAN ini berhasil dibentuk maka organisasi advokat akan dikooptasi oleh pemerintah dan partai-partai politik, sehingga akan merugikan masyarakat, advokat, khususnya para pencari keadilan dan akhirnya rule of law tidak dapat ditegakkan.   Konsep DAN dalam RUU Advokat, disebutkan bahwa yang dapat menjadi anggota DAN  tidak harus berprofesi advokat tetapi bisa akademisi dan unsur masyarakat yang memiliki pengetahuan tentang advokat. Rumusan seperti ini adalah sangat tidak tepat karena yang paling paham dan mengetahui permasalahan advokat adalah para advokat itu sendiri, yang paling tepat untuk mengurus urusan advokat adalah para advokat sendiri. Dalam RUU Advokat sama sekali tidak ada penjelasan atapun alasan logis mengapa unsur non advokat ikut mengurusi advokat.   Bahwa jika dilihat dalam bagian konsiderans RUU dan dikaitkan dengan batang tubuh RUU terdapat kontradiksi. Di konsiderans disebutkan bahwa profesi advokat adalah profesi yang bebas mandiri dalam menjalankan profesinya dalam rangka mencapai supremasi hukum, namun pada bagian batang tubuh muncul konsep DAN yang justru menghilangkan kemandirian advokat.   Lebih parah lagi, sumber pendanaan DAN adalah dari negara dan akan diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hal ini berarti membebani keuangan negara. Lalu, mengingat anggota DAN diangkat berdasarkan Keputusan Presiden, maka dia hanya bisa diberhentikan presiden. Anggota DAN tidak bertanggungkawab kepada anggota (para advokat), walaupun tugasnya adalah mengurusi para advokat.   Hal lain yang perlu mendapat perhatian serius dalam RUU Advokat ini adalah Pasal 65 dimana disebutkan bahwa hanya advokat yang diangkat sampai dengan tahun 2012 yang dapat dikategorikan sebagai advokat. Ketentuan ini akan menimbulkan kekacauan dalam implementasinya, karena: 1. Tidak jelas advokat mana yang dimaksud diangkat dan diangkat oleh siapa? 2. Fakta bahwa PERADI sebagai pelaksana telah mengangkat ribuan advokat setelah tahun 2012.   Mengacu kepada putusan Mahkamah Konstitusi maka hanya PERADI yang diberikan kewenangan untuk mengangkat dan memberhatikan advokat.   Putusan MK No. 066 tahun  2004 yang pertimbangannya sbb:   Pengertian dari melaksanakan fungsi negara adalah kewenangan mengangkat advokat yang oleh UU Advokat diberikan kepada organisasi advokat yaitu kepada PERADI. Wadah profesi lain boleh saja ada tetapi sebatas organsiasi biasa berdasarkan asas kebebasan berkumpul dan berserikat yang dijamin Konsitusi, tetapi kewenangannya tidak untuk mengangkat advokat.     Pada awal pembentukan UU No.18 Tahun 2003, tidak ada sama sekali perbedaan pendapat di kalangan DPR, Pemerintah dan advokat tentang bentuk Single Bar. Semua teori dan fakta-fakta tentang organisasi advokat di beberapa negara telah disampaikan sebagai dasar pilihan terhadap Single Bar.   Semua pihak juga sepakat bahwa tidak boleh ada campur tangan dari pihak manapun termasuk pemerintah terhadap organisasi advokat karena advokat adalah profesi yang bebas dan mandiri. Sampai saat ini tidak ada argumen yang kuat terutama secara akademis yang membuktikan bahwa UU No.18 Tahun 2003 merugikan advokat maupun pencari keadilan.   Hanya ketika ada para pihak yang tidak sepakat atas kebijakan PERADI mengakibatkan ada Advokat yang membentuk organisasi baru. Seharusnya jika terdapat perbedaan pendapat diantara para advokat, maka perbedaan pendapat itulah yang harus diselesaikan, bukan dengan mengubah undang-undang,apalagi dengan mewacanakan multi bar. Sedangkan dengan sistem single bar saja para Advokat belum bisa bersatu dan kuat, apalagi dengan sistem multi bar, maka pastilah organisasi advokat akan lemah dan terpecah.   Sebelum UU Advokat diubah, maka haruslah dilakukan penelitian dan audit apakah PERADI sebagai organisasi telah gagal dalam melaksanakan fungsinya. Apakah PERADI sudah berhasil melaksanakan tujuan dibentuknya UU Advokat atau tidak? Bagaimana dengan pendidikan calon-calon advokat, ujian dan pengawasan Advokat apakah sudah berjalan atau tidak? Bagaimana dengan keuangan PERADI apakah dapat dipertanggungjawabkan dengan baik atau tidak?   Setelah PERADI diaudit dan ternyata hasilnya buruk barulah perlu dilakukan perubahan UU Advokat dan bila perlu PERADI dibubarkan saja. Tetapi kalau terbukti PERADI sudah berhasil mencapai tujuannya maka perubahan UU Advokat tidak perlu dilakukan dan selanjutnya semua pihak harus mendukung dan memperkuat PERADI.   Bentuk organisasi Single Bar adalah suatu keharusan di Indonesia karena dengan adanya Organisasi Tunggal maka organisasi advokat menjadi kuat. Jika memakai sistem single bar maka: 1.  Akan ada standarisasi profesi Advokat sehingga kualitas Advokat bisa di tingkatkan. 2. Pengawasan Advokat lebih mudah dan terjamin karena ada satu dewan kehormatan yang beribawa dan dapat menegakkan Kode Etik. 3.  Organisasi—organisasi Advokat menjadi kuat karena tidak tepecah — pecah sehingga tidak dapat di terintervensi pihak luar. 4.  Pencari keadilan akan lebih terlindungi.   Terkait dengan permasalahan single bar ini, Pemerintah RI dalam jawabannya di Mahkamah Konstitusi dalam Perkara No. 103 Tahun 2013 (diputus,11 September 2014) secara tegas menginginkan organisasi tunggal (single bar) untuk profesi advokat.   Kutipan pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) halaman 24 sampai 25 dalam Putusan Perkara No. 103 tahun 2013 yang diputus MK pada   "   Lebih lanjut perkenankan Pemerintah memberikan keterangan terhadap materi yang diuji sebagai berikut:   an yang harus diikuti, menjalankan ujian yang baik, serta program magang agar calon advokat berkesempatan didampingi, dilatih, dan praktik supaya benar-benar profesional sebagai implementasi ilmu pegetahuan yang telah dikuasai. Sehingga pemerintah berpendapat bahwa ketentuan aquo sudah tepat harus dilaksanakan sebagai syarat mutlak (absolute right) dalam hal persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon advokat melalui organisasi advokat untuk melaksanakan pendidikan dan ujian serta pengangkatan dan pelantikan advokat. Adanya pembentukan organisasi tunggal profesi advokat merupakan perwujudan dari single bar association (satu organisasi) dan juga merupakan harapan akan bersatunya profesi advokat Indonesia dalam suatu organisai tunggal profesi advokat yang dapat berkiprah meningkatkan kualitas advokat. Selain itu, organisai advokat mengakomodir untuk berkumpulnya para advokat yang antara lain bertujuan untuk memudahkan pembinaan, pengembangan, dan pengawasan, serta meningkatkan kualitas profesi advokat itu sendiri, sehingga kedepan diharpkan terasa keadilan masyarakat dalam proses penegakan hukum dapat terwujud".

Para advokat berharap pihak pemerintah tetap konsisten dengan penyataan dan pendapatnya yang sudah disampaikan di persidangan Mahkamah Konsitusi tersebut.

Sementara, sistem multi bar yang diusulkan RUU Advokat dimana setiap organisasi advokat boleh mengangkat advokat sendiri dan calon advokat cukup bersumpah di hadapan pengurus organsiasi advokat dengan dipandu rohaniwan. Kemudian,organisasi advokat dapat dibentuk oleh minimal 35 orang advokat saja. Konsekuensi logisnya,akan tumbuh banyak organisasi Advokat.Jika jumlah anggota PERADIsaat ini sekitar 35.000 orang, bisa dibayangkan berapa banyak organsiasi advokat yang akan lahir nantinya.

Dampak negatif lainnya, dapat terjadi seorang advokat dapat melanggar kode etik karena menelantarkan kliennya tetapi advokat tersebut tidak bisa dihukum, karena kalau dia mau dihukum maka advokat tersebut dapat pindah ke organisasi lain dan menjadi kutu loncat. Akibatnya,para pencari keadilan dan masyarakat akan dirugikan. Terkait dengan peningkatan kualitas advokat, dalam sistem multi bar dapat terjadi organisasi tertentu dengan mudah meluluskan calon advokat dengan memberikan passing grade kelulusan rendah sedangkan organisasi yang lain memberikan passing grade tinggi. Dampaknya,terjadi persaingan tidak sehat dalam hal merekrut anggota, akan terjadi penurunan nilai passing grade dengan harapan mendapatkan banyak anggota. Hal ini membuat kualitas advokat menjadi rendah karena tidak ada lagi standarisasi kualitas advokat.

Terkait dengan posisi PERADI dalam pertimbangan putusan Mahkamah Konsitusi pada perkara No. 103/PUU-XI/2013 yang diputus tanggal 11 September 2014 pada halaman 43 kembali menegaskan PERADI sebagai satu-satunya wadah tunggal advokat  yang memiliki delapan kewenangan yaitu:
1. Pendidikan Khusus Profesi Advokat
2. Pengujian Calon Advokat
3. Pengangkatan Advokat
4. Membuat kode etik
5. Membentuk Dewan Kehormatan
6. Membentuk Komisi Pengawas
7. Melakukan Pengawasan
8. Memberhentikan Advokat

Selengkapnya dikutip dari pertimbangan Mahkamah Konstitusi sebagai berikut:

Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan dalil Pemohon, Mahkamah perlu mengutip Putusan Mahkamah Nomor 014/PUU-IV/2006 bertanggal 30 November 2006 dan Putusan Mahkamah Nomor 66/PUU-VIII/2010, bertanggal 27 Juni 2011 paragraf [3.9.7], yang telah memberikan pertimbangan, antara lain:

Bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Advokat yang memberikan status kepada Advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan menunjukan bahwa karena kedudukannya itu diperlukan suatu organisasi yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat. Karena Pasal 28 ayat (1) UU Advokat menyebutkan, Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat, maka organisasi PERADI sebagai satu-satunya wadah profesi Advoat pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri ( independent state organ ) yang juga melaksanakan fungsi Negara ( vide Putusan Mahkamah Nomor 066/PUU-11/2004)”. Satu-satunya wadah profesi Advokat yang memiliki wewenang untuk melaksanakan pendidikan khusus profesi Advokat [Pasal 2 ayat (1)], pengujian calon advokat [Pasal 3 ayat (1) huruf f], pengangkatan Advokat [Pasal 2 ayat (2)], membuat kode etik [Pasal 26 ayat (1)], membentuk Dewan Kehormatan [Pasal 27 ayat (1)], membentuk Komisi Pengawas [Pasal 13 ayat (1)], melakukan pengawasan [Pasal 12 ayat (1)], dan memberhentikan Advokat [Pasal 9 ayat (1), UU Advokat]. UU Advokat tidak memastikan apakah wadah profesi advokat lain yang tidak menjalankan wewenang-wewenang tersebut berhak untuk tetap eksis atau tetap dapat dibentuk. Memperhatikan seluruh ketentuan dan norma dalam UU Advokat serta kenyataan pada wadah profesi Advokat, menurut Mahkamah, satu-satunya wadah profesi Advokat yang dimaksud adalah hanya satu wadah profesi advokat yang menjalankan 8 (delapan ) kewenangan a quo, yang tidak menutup kemungkinan adanya wadah profesi advokat lain yang tidak menjalankan 8 (delapan) kewenangan tersebut berdasarkan asas kebebasan  berkumpul dan berserikat menurut Pasal 28 dan 28 E ayat (3) UUD 1945”.

Bahwa Mahkamah Konstitusi tidak menutup kemungkinan adanya wadah profesi advokat lain, tetapi tidak menjalankan delapan kewenangan sebagaimana PERADI, wadah profesi lain boleh saja ada tetapi sebatas organisasi biasa berdasarkan asas kebebasan berkumpul dan berserikat yang dijamin Konstitusi. 

Dengan demikian, keberadaan organisasi profesi lainnya yang selama ini sudah ada seperti AAI, KAI, IKADIN, SPI, HAPI, HKHPM dan lainnya tetap diakui eksistensinya. Hanya sebagai wadah berkumpul para angggotanya, namun tidak memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan advokat, karena kewenangan tersebut hanya dimiliki oleh PERADI.


*Ketua DPC PERADI Jakarta Pusat
"Suatu perhimpunan Advokat yang bebas berdaulat bersama dengan suatu kekuasaan kehakiman yang bebas berdaulat adalah dua syarat mutlak bagi suatu negara hukum," (ucapan Mr. Yap Thiam Hien yang dikutip buku Tempo berjudul 100 Tahun Sang Pendekar Keadilan)













UU No. 18 Tahun 2003




.....Organisasi PERADI sebagai satu-satunya wadah profesi Advoat pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi Negara (vide Putusan Nomor 066/PUU-11/2004).



Single Bar atau Multi Bar


















tanggal 11 September 2014.

Dalam rangka usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, peran dan fungsi advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab merupakan hal yang penting, disamping lembaga peradilan dan instansi penegak hukum seperti kepolisisan dan kejaksaan. Melalui jasa hukum yang diberikan, advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha pemberdayaan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di depan hukum. Advokat sebagai salah satu unsur sistem peradilan merupakan salah satu pilar dalam penegakan supremasi hukum dan hak asasi manusia.



Mengingat organisasi advokat bertujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat, maka organisasi advokat harus mampu menentukan dan mengatur bagaimana merekrut calon anggotanya, mulai dari latar belakang, ilmu pengetahuan yang dimiliki, pendidik
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait