Pemohon Optimis MK Tunda Berlakunya UU MD3
Berita

Pemohon Optimis MK Tunda Berlakunya UU MD3

Pasal 84 UU MD3 tidak menutup kesempatan bagi partai pemenang pemilu untuk menjadi pimpinan DPR.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Salah satu pemohon uji materi UU No. 17 Tahun 2014 tentang tentang Perubahan UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3), PDI-P mensinyalir MK bakal menjatuhkan putusan sela untuk menunda berlakunya UU MD3. Pasalnya, setelah mendengar tanggapan DPR, Pemerintah, dan sejumlah pihak terkait yang diajukan sejumlah caleg periode 2014-2019, Majelis MK akan menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH) untuk memutuskan apakah pengujian UU MD3 ini akan dilanjutkan atau langsung diputus.

“Terhadap perkara ini majelis akan memusyawarahkan dulu, sidang selanjutnya akan diberitahukan secara resmi oleh Mahkamah,” ujar Ketua Majelis MK, Hamdan Zoelva dalam sidang pleno pengujian UU MD3 di ruang sidang MK, Selasa (23/9).  

Hamdan menegaskan jadwal persidangan berikutnya terhadap lima permohonan ini belum bisa ditetapkan karena harus dimusyawarahkan terlebih dahulu. “Setelah dimusyawarahkan majelis akan memberitahukan kepada masing-masing pihak, apakah perkara ini akan dilanjutkan dengan mendengarkan keterangan saksi dan ahli atau bisa juga langsung diputuskan oleh Mahkamah,” ujarnya.

Kuasa hukum PDIP, Andi M Asrun mensinyalir MK akan segera memutuskan pengujian UU MD3 ini dalam bentuk putusan sela atau putusan final. Sebab, permintaan beberapa pihak untuk mengajukan saksi atau ahli akan dipertimbangkan terlebih dulu. Kalaupun ini dianggap kebutuhan mendesak saksi atau ahli akan didengar persidangan hari ini juga karena mereka sudah dihadirkan.      

“Kami yakin sidang berikutnya MK akan menjatuhkan putusan sela karena kalau arahnya putusan akhir biasanya masing-masing pihak diminta untuk menyerahkan kesimpulan, tetapi ini tidak,” kata Asrun usai persidangan.          

Dia meyakini putusan sela nantinya MK akan memutuskan untuk menunda berlakunya UU MD3 termasuk berlakunya Tata Tertib DPR mengenai pemilihan pimpinan DPR dan alat-alat kelengkapan DPR. “MK arahnya bergerak akan mengambil putusan sela, kita punya keyakinan sidang berikutnya menjatuhkan putusan sela dengan mengabulkan penundaan berlakunya UU MD3,” harapnya.

Salah satu kuasa hukum DPD, Alexander Lay berharap putusan akhir bisa dibacakan sebelum berakhir DPR periode 2009-2014 tanggal 1 Oktober 2014 dengan mengabulkan permohonan ini. Dengan begitu, DPR periode 2014-2019 tidak menggunakan UU MD3 revisi ini karena DPD minta pembatalan sejumlah pasal UU MD3 itu.

“Kalau MK hendak menerbitkan putusan ini dalam persidangan berikutnya, maka yang terbit putusan akhir, bukan putusan sela. Sebab, melihat perkembangan sidang hingga hari ini yang sudah mendengarkan tanggapan pemerintah, DPR, pihak terkait harusnya MK sudah memiliki cukup argumen dan bukti untuk segera memutus perkara ini,” kata Alex.

Sebelumnya, tiga dari lima pemohon pengujian UU MD3 yakni PDIP, DPD, dan Koalisi Kepemimpinan Perempuan meminta MK segera menjatuhkan putusan sela untuk menunda pelaksanaan UU MD3 sebelum dilantik anggota legislatif periode 2014-2019 pada 1 Oktober. Hal ini terutama untuk menghindari penyanderaan pemerintahan Jokowi-JK oleh parlemen karena pemilihan pimpinan DPR tidak lagi didasarkan pemenang pemilu, tetapi dipilih dari dan oleh anggota DPR seperti diatur Pasal 84 UU MD3 revisi.  

Legal Standing
Dalam persidangan, DPR dan pemerintah menganggap PDIP tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan pengujian UU MD3 ini. Wakil Ketua Komisi III Aziz Syamsudin beralasan PDIP merupakan bagian dari fraksi di DPR yang ikut membahas UU MD3 sebelum akhirnya disahkan oleh DPR pada 8 Juli lalu.

“Pemohon PDIP selaku anggota fraksi di DPR, tidak ditemukan diskriminasi terhadap pemohon. Kenapa setelah diundangakan pemohon mempermasalahkan ini. Oleh karena itu pemohon tidak mempunuyai kedudukan hukum,”kata Aziz kepada majelis hakim yang dipimpin oleh ketua MK Hamdan Zoelva.

Menurut politisi dari Fraksi Partai Golkar ini pimpinan DPR tidak harus dari partai pemenang pemilu, tetapi dipilih dari dan oleh anggota DPR seperti yang pernah berlaku dan menjadi kebiasaan di DPR periode-periode sebelumnya. Sebab, sistem pemilu di Indonesia multi partai, sehingga pimpinan DPR tidak harus dari pemenang pemilu.

“Seperti lembaga lainnya, MK, MA, KY, dimana pemimpinnya dipilih oleh dari anggota masing-masing lembaga. Begitu pun dengan DPR periode sebelumnya, pemilu pasca reformasi pemenangnya adalah PDIP, tapi ketua DPR-nya adalah Agung Laksono dari Golkar yang dipilih oleh seluruh anggota DPR,” ujar Aziz mencontohkan.

Sedangkan pemerintah memandang anggota DPR dari partai pemenang pemilu dapat mencalonkan diri sebagai pimpinan DPR. Pasal 84 UU MD3 tidak menutup kesempatan bagi partai pemenang pemilu untuk menjadi pimpinan DPR. “Partai pemenang pemilu dapat mencalonkan anggota fraksinya untuk dipilih sebagai pimpinan wakil DPR,” ujar Kabalitbang Kemenkumham, Mualimin Abdi.

Soal tidak adanya keterwakilan perempuan di alat kelengkapan DPR, menurut Mualimin justru tidak akan membatasi kiprah perempuan di alat-alat kelengkapan DPR. “Meskipun tidak ada klausul keterwakilan perempuan, tetapi bukan berarti membatasi perempuan untuk menduduki alat-alat kelengkapan DPR,” kata Mualimin.

Dalam persidangan, hadir beberapa pihak yang mengajukan diri sebagai pihak terkait diantaranya Fahri Hamzah dari PKS, M Sarmudji dan Didik Prihantoro dari Golkar, Joko Purwanto dari PPP. Mereka semua mendukung pernyataan pihak DPR dan Pemerintah bahwa pembentukan UU MD3 tersebut sesuai pembentukan peraturan perundang-undangan dan secara materil dalil permohonan harus ditolak. Kecuali, pihak terkait dari partai NasDem yang sepakat dengan dalil para pemohon.   

PDIP mempersoalkan aturan mekanisme pemilihan pimpinan komisi, pimpinan Badan Legislasi, Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP), pimpinan Badan Anggaran yang sifatnya ad hoc, tiba-tiba dipermanenkan. Lalu, mekanisme pemilihan Mahkamah Kehormatan DPR (MKD), pimpinan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), tetapi Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) justru dihilangkan, dan adanya hak imunitas anggota DPR saat menjalani proses hukum.

Begitu juga DPD memohon pengujian baik secara formil maupun secara materil terhadap 21 pasal yang dinilai memperkuat DPR, tetapi memperlemah posisi DPD. Misalnya, dihapusnya sanksi anggota DPR yang enam kali berturut-turut tidak menghadiri sidang paripurna, tetapi sanksi itu masih tetap berlaku bagi DPD, penghapusan pasal penyidikan anggota MPR, DPD, DPRD, penghapusan BAKN, penghapusan larangan penerimaan gratifikasi, termasuk pemeriksaan anggota DPR dalam proses penyidikan harus mendapat persetujuan MKD.

Sementara koalisi perempuan keberatan lantaran UU MD3 revisi tidak mengakomodasi keterwakilan perempuan di semua alat kelengkapan DPR. Misalnya, ketentuan pimpinan komisi, pimpinan Badan Legislasi, pimpinan Badan Anggaran, pimpinan BKSAP, MKD, pimpinan BURT, dan pimpinan panitia khusus.Sementara dua pemohon lainnya, ICJR dan JJ Rizal hanya menguji Pasal 245 UU MD3 Revisi yang terkesan melindung anggota DPR ketika menghadapi proses hukum. Pasal itu minta dibatalkan karena dinilai bertentangan dengan prinsip nondiksriminasi seperti diatur Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. 
Tags:

Berita Terkait