Pilkada Tak Langsung Lemahkan Pencegahan Korupsi
Berita

Pilkada Tak Langsung Lemahkan Pencegahan Korupsi

Pemilihan kepala daerah lewat DPRD membuka peluang politik transaksional.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Pilkada Tak Langsung Lemahkan Pencegahan Korupsi
Hukumonline
Transparency International Indonesia (TII) menolak pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD. Pemilihan lewat DPRD dianggap akan memundurkan demokrasi dan melemahkan pencegahan korupsi. Sekjen TII, Dadang Trisasongko, mengatakan Pilkada tak langsung membuka peluang terjadinya transaksi politik dan mempersempit ruang pengawasan publik. “Mengurangi mandat pengawasan rakyat terhadap kepala daerah,” katanya dalam jumpa pers di kantor TII di Jakarta, Rabu (24/9).

Atas dasar itu, Dadang menampik argumen yang menyebut pilkada langsung menyuburkan praktik korupsi, bahkan ia menilai sebaliknya. Pencegahan korupsi tidak melulu berkaitan dengan pemilihan kepala daerah. Bisa juga terjadi karena tata kelola pemerintahan yang kurang baik, tidak konsisten. Atau, karena akuntabelnya penegakan hukum, plus sistem kepartaian yang bermasalah.

Walau begitu, Dadang mengakui mekanisme Pilkada langsung perlu dibenahi. Pembenahan perlu dilakukan bersamaan dengan reformasi sistem kepartaian, terutama pendanaan partai politik (parpol) dan rekrutmen kader. Kemudian, reformasi birokrasi yang bertumpu pada reformasi sistem pengadaan barang dan jasa publik serta penguatan akuntabilitas dan integritas sektor publik.

Pada kesempatan yang sama Ketua Dewan Pengurus TII, Nathalia Soebagjo, mengatakan Indonesia masih dalam proses membangun demokrasi. Sejak reformasi, demokrasi yang dicapai sampai saat ini cenderung baik, salah satunya Pilkada langsung. Untuk itu yang dibutuhkan sekarang adalah memperkuat lembaga-lembaga demokrasi seperti institusi hukum, politik dan birokrasi.

Nathalia berpendapat jika pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD maka yang terjadi kemunduran demokrasi. “Kalau itu terjadi maka reformasi yang sudah berjalan sia-sia karena kita kembali ke masa lampau. Kami tidak menginginkan itu,” tegasnya.

Nathalia mengingatkan, tidak melulu Pilkada langsung menghasilkan kepala daerah yang buruk. Ia mencatat ada sejumlah kepala daerah berkualitas baik dilahirkan lewat Pilkada langsung. Jika Pilkada dilakukan oleh DPRD, ia tak yakin kepala daerah yang berintegritas mampu dihasilkan.

Nathalia menekankan TII tidak menentang pembahasan RUU Pilkada, tapi berharap agar ketentuan yang diatur selaras dengan demokrasi. Untuk memperbaiki mekanisme Pilkada agar selaras dengan pencegahan korupsi menurut Natalia tidak mudah. Sebab, banyak hal yang harus dilakukan mulai dari pembenahan sistem kepartaian, birokrasi dan penegakan hukum. Baginya, mencegah korupsi tidak cukup dilakukan dengan membenahi sistem Pilkada saja.

Direktur Program TII, Ibrahim Fahmi Badoh, mengatakan sistem demokrasi langsung yang dijalankan konsisten akan berdampak positif bagi rakyat. Namun, jika demokrasi langsung itu dikebiri maka politik transaksional tumbuh subur, terutama dalam proses Pilkada oleh DPRD. Akibatnya, kepala daerah akan menggulirkan bermacam proyek yang menggunakan dana APBD untuk memenuhi transaksi politik yang telah dilakukan. “Pilkada oleh DPRD itu seperti arisan  yang dilakukan elit-elit politik,” tukasnya.

Fahmi berpendapat RUU Pilkada harusnya memperkuat dan memperbaiki mekanisme Pilkada langsung. Misalnya, selama ini petahana (incumbent) bisa mengarahkan APBD untuk pemenangannya dalam Pilkada. Oleh karenanya, perlu diatur standar pengalokasian anggaran. Sayangnya, sejumlah fraksi di DPR malah mengancam demokrasi langsung dalam Pilkada. Sehingga, yang perlu dilakukan masyarakat saat ini bukan lagi memperbaiki mekanisme Pilkada langsung tapi menyelamatkannya.
Tags:

Berita Terkait