UU Jaminan Produk Halal Berikan Kepastian Hukum Bagi Konsumen
Utama

UU Jaminan Produk Halal Berikan Kepastian Hukum Bagi Konsumen

Dibentuk BPJH yang memberikan dan mencabut sertifikasi halal. Kewenangan MUI diperluas.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Suasana rapat paripurna DPR. Foto: SGP
Suasana rapat paripurna DPR. Foto: SGP
Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaminan Produk Halal (JPH) disetujui DPR menjadi UU dalam rapat paripurna DPR, Kamis (25/9). UU JPH setidaknya memberikan kepastian hukum bagi konsumen terhadap produk makanan dan barang konsumsi lainnya. Pimpinan rapat paripurna Priyo Budi Santoso mengamini persetujuan yang diberikan seluruh anggota dewan yang hadir dalam rapat paripurna.

“Alhamdulillah sah menjadi UU,” ujar Priyo.

Wakil Ketua Komisi VIII Ledia Hanifa Amalia dalam laporan akhirnya mengatakan, keberadaan UU JPH merupakan kemajuan  dalam penerapan prinsip syariah ke dalam hukum positif. Soalnya, negara memiliki peran dalam memberikan  pelayanan, perlindungan  dan jaminan kepada seluruh rakyat Indonesia. “RUU ini memberikan adanya kepastian hukum bagi konsumen, khususnya masyarakat muslim sebagai konsumen terbesar,” ujarnya.

Keadaan di lapangan dalam menentukan produk halal tidaklah mudah. Diperlukan tindakan preventif terhadap setiap produk halal dengan keterangan halal. Dengan catatan, telah dilakukan rangkaian pemeriksaan dan pengawasan mulai produksi hingga peredaran produk di pasar domestik. Menurut Hanifa, meningkatnya teknologi pangan, rekayasa genetik, bioeknologi dan proses kimia biologis menjadi bagian faktor sulitnya mengontrol produk halal. Namun, adanya UU JPH setidaknya menjadi landasan hukum tentang sistem informasi produk halal sebagai pedoman pelaku usaha dan masyarakat.

Hanifa mengatakan, UU JPH sejalan dengan berbagai peraturan dan perundangan yang mengatur produk halal. Misalnya, UU No.18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang kini telah direvisi, dan UU NO.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pertimbangan lainnya, memasuki perdagangan internasional, aspek kehalalan berkaitan dengan aspek pemasaran antar negara. Oleh karena itu, kehalalan menjadi faktor penentu dalam perdagangan di samping meningkatkan daya saing produk.

“Oleh sebab itu dalam sistem perdagangan internasional masalah sertifikasi dan pendanaan kehalalan produk mendapat perhatian baik dalam rangka memberikan perlindungan terhadap konsumen dalam ini umat islam sekaligus menghadapi tantangan globalisasi serta berlakunya sistem pasa bebas regional maupun internasional,” ujarnya.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini merinci isi UU JPH. Misalnya, penyelenggaran JPH adalah Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) berdasarkan fatwa halal yang diterbitkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). BPJH, berada di bawah dan bertanggungjawab kepada menteri. BPJH memiliki beberapa kewenangan menetapkan standar, prosedur dan kriteria JPH, mencabut dan menerbitkan sertifikasi dan label halal pada produk. Selain itu melakukan dan melakukan pembinaan terhadap auditor halal.

Menurutnya, hak dan kewajiban pelaku usaha dalam proses permohonan sertifikasi halal diatur ketat. Ia berpandangan, pengajuan permohonan sertifikasi halal dilakukan oleh pelaku usaha kepada BPJPH untuk dilakukan pemeriksaan dan kelengkapan administrasi. Sedangkan biaya sertifikasi halal dibebankan kepada pelaku usaha berdasarkan kriteria pelaku usaha yang ditentukan UU. Dalam rangka memperlancar pelaksanaan penyelenggaraan JPH, UU memberikan kemudahan bagi pengusaha mikro mendapatkan bantuan dari APBN dan APBD.

Selain itu, kewenangan MUI pun diperluas. Pasalnya, MUI tidak saja menetapkan standar pemeriksaan produk halal, tetapi memberikan akreditasi lembaga pemeriksa produk halal yang didirikan pemerintah dan masyarakat. Tidak hanya itu, MUI memberikan sertifikasi auditor halal, serta menetapkan kehalalan suatu produk dengan fatwa halal. “Kemudian untuk menjamin penegakan hukum terhadap pelanggar UU ini ditetapkan sanksi administratit dan sanksi pidana,” imbuhnya.

Pemerintah yang diwakili Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Amir Syamsuddin mengatakan, penyusunan RUU tersebut lantaran UU yang ada belum memberikan kepastian hukum, khususnya masyarakat muslim dalam mengkonsumsi produk. Menurutnya, RUU yang sudah disahkan itu menjadi pegangan bagi konsumen dan pelaku usaha.

“Secara prinsip sikap kami pemerintah menerima substantif UU ini,” ujarnya

Ia mengatakan kekurangan dalam pemberian produk halal dengan memaksimalkan aturan pengawasan. Menurutnya, pengawasan melibatkan lembaga terkait dan masyarakat. Selain itu, UU pun memberikan peluang terhadap peran masyarakat dalam melakukan sosialisasi, dan edukasi.

“Kami atas nama presiden, dengan mengucapkan basmallah menyetujui RUU ini untuk disahkan menjadi UU,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait