FOINI:
Pengawal Keterbukaan Informasi Lintas Profesi
Komunitas

FOINI:
Pengawal Keterbukaan Informasi Lintas Profesi

Ada banyak cara mengawal kegiatan. Tetapi mengawal gagasan keterbukaan sebagai bagian dari tata kelola kepemerintahan yang baik butuh sinergi dan stamina. FOINI hadir di garda depan.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
FOINI saat menggelar rapat kerja. Foto: FOINI
FOINI saat menggelar rapat kerja. Foto: FOINI
Setiap 28 September diperingati sebagai Hari Hak untuk Tahu, Right to Know Day. Jauh sebelum hari H, kesibukan menyelimuti para aktivis keterbukaan informasi di seluruh Indonesia. Sejak pekan pertama September, rangkaian kegiatan sudah berlangsung. Di Yogyakarta dibuka kelas belajar anggaran, di Jakarta berlangsung Open Indonesia Forum tentang integritas layanan informasi publik di Badan Pusat Statistik, di Nusa Tenggara Timur juga berlangsung diskusi publik. Di daerah lain seperti Banten dan Sulawesi Selatan juga berlangsung acara senada.

Tidak kalah sibuknya di kantor Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) di kawasan Cilandak Barat Jakarta Selatan. Dari kantor inilah sejumlah agenda keterbukaan informasi disiapkan, bahan-bahannya di-share, dan ide-ide keterbukaan digulirkan. Beberapa kali diskusi  berlangsung melalui tatap muka, seperti seminar Evaluasi Instruksi Mendagri tentang Transparansi Pengelolaan Anggaran Daerah di Jakarta, Rabu (24/9) lalu.

Tetapi yang tidak kalah seru justru diskusi melalui dunia maya. Para aktivis keterbukaan informasi seluruh Indonesia bergabung dalam Freedom of Information Network Indonesia, disingkat FOINI. Nama ini tercetus dalam diskusidi kantor Yayasan Tifa. “Ini adalah organisasi berbasis jaringan yang sangat cair,” kata Budi Raharjo, salah seorang penggagas sekaligus administrator milis jaringan.

Kehadiran jaringan ini tak bisa dilepaskan dari riwayat Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Sebelum disahkan, rancangan wet itu dirancang dan dibawa ke Senayan oleh sejumlah aktivis dan organisasi yang tergabung dalam Koalisi Kebebasan Memperoleh Informasi. Koalisi ini terus melakukan advokasi hingga akhirnya membuahkan hasil, DPR dan Pemerintah menyetujui RUU disahkan menjadi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Tentu saja ada perdebatan dan perbedaan pandangan dalam proses pembahasannya.

Setelah resmi berlaku pada 2010, sejumlah elemen masyarakat mencoba meminta informasi ke badan publik berdasarkan mekanisme yang diatur dalam UU KIP. Ada yang memberi, dan ada pula yang tegas-tegas menolak. Ironisnya, untuk informasi yang sama –misalnya laporan keuangan lembaga-- terjadi perlakuan yang berbeda. Semakin banyak meminta informasi, pemohon informasi semakin melihat masalah yang timbul dalam implementasi UU KIP.

Budi Raharjo bersama beberapa orang kolega mendiskusikan masalah itu secara informal. Ada Ahmad Faisol dan Leli Qomarulaeli dari MediaLink, ada Tanti dari Yayasan Tifa, ada pula Bejo Untung dan sejumlah aktivis keterbukaan informasi lain. Dari diskusi informal itulah muncul gagasan membuat milis jaringan. Bisa dikatakan FOINI adalah metamorphosis dari Koalisi Kebebasan Memperoleh Informasi.

Budi masih ingat pertama kali mengundang teman-teman yang dia tahu emailnya. Mereka juga menyusun rencana strategis, termasuk menggelar diskusi di sebuah hotel di kawasan Bunderan Hotel Indonesia. Indonesia Parliamentary Center (IPC) –lembaga pemerhati parlemen—ikut mendorong keterbukaan di lingkungan legislatif.

Menjelang akhir 2010, jaringan kebebasan memperoleh informasi sudah masuk ke instansi pemerintah, melalui pelatihan di Bandung. Kegiatan pelatihan keterbukaan informasi publik ini berkat bantuan Article 19.

Pribadi dan lembaga
Anggota FOINI terus bertambah, baik di milis maupun di luar milis. Menurut Budi, anggota yang intens di luar milis berjumlah 58. Tetapi anggota di milis mencapai 560-an. Dari jumlah itu, tak semuanya atas nama pribadi. Sebagian juga atas nama lembaga.

Banyaknya anggota milis tak dapat dipungkiri karena administrator milis relatif terbuka. Siapapun yang ingin masuk ke dalam milis nyaris tak pernah dihambat. Karena itu, member  di milis tersebt berasal dari profesi yang beragam, dan latar belakang organisasi yang berbeda. Ada pejabat negara, aktivis LSM, mahasiswa, dan wartawan. Ada yang berlatar belakang aktivis antikorupsi, ada yang dosen, dan ada pula yang mantan anggota DPR. “Milis FOINI itu mimbar bebas,” kata Budi.

Sesuai tujuan awal, semua anggota milis boleh mengajukan bahan diskusi atau sharing informasi. Hari ini bisa mendiskusikan anggaran, hari lain mengangkat topik sengketa informasi. Di awal-awal, salah satu tempat sharing informasi itu adalah Maklumat, yang diterbitkan MediaLink dibantu Tifa. Belakangan, sharing lebih banyak memanfaatkan milis.

Setelah 3,5 tahun berjalan, administrator mencoba meminta peserta melakukan registrasi ulang. Widiyarti, kolega Budi, menjelaskan sebenarnya ada upaya untuk mendata anggota milis, baik lembaga maupun anggota perseorangan. Tujuannya, agar bisa dipetakan lembaga mana saja atau siapa saja yang menjadi anggota aktif.  

Selain mendata anggota, salah satu yang menjadi wacana di FOINI adalah iuran. Masalah iuran sudah pernah didiskusikan dalam milis, tetapi belum dijalankan. Sebagian anggota setuju, sebagian yang lain mempertanyakan mekanisme pembayaran dan pertanggungjawabannya. Maklum, jaringan ini berkonsentrasi mendorong keterbukaan, sehingga segala sesuatunya harus akuntabel dan transparan.

Keanggotaan yang cari dari jaringan FOINI (foi-network) inilah yang menjadi tantangan. Rencana aksi tak mudah dijalankan serentak dan cepat, karena anggota milis juga punya agenda lain yang menjadi prioritas lembaganya. Tetapi semua anggota milis punya tekad yang sama: terus mendorong keterbukaan informasi publik di seluruh wilayah Indonesia.
Tags:

Berita Terkait