Proyek MRT Bisa Terganggu Kasus Hukum
Berita

Proyek MRT Bisa Terganggu Kasus Hukum

Salah satu anggota konsorsium proyek pembangunan MRT digugat di PN Pusat.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Todung Mulya Lubis. Foto: RES
Todung Mulya Lubis. Foto: RES
Perkembangan pembangunan proyek Mass Rapid Transportasion (MRT) tertatih-tatih. Di era Gubernur Joko Widodo dan Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama, proyek ini dilanjutkan.  

Proyek pembangunan MRT dilakukan dengan menggunakan mekanisme kerjasama antara Pemerintah dan swasta. Adalah salah satu perusahaan swasta asal Jepang Shimizu Corporation, yang tergabung dalam konsorsium pembangunan proyek MRT.  Shimizu adalah perusahaan Jepang yang fokus melakukan kegiatan usaha konstruksi. Shimizu telah melakukan kegiatan usaha di Indonesia selama lebih dari 40 tahun dan telah berkontribusi dalam program pembangunan bidang jasa konstruksi di Indonesia.

Dalam proyek MRT, kontraktor lokal Dextam Contractors mengajukan gugatan terhadap Shimizu ke PN Jakarta Pusat. Dextam menuding Shimizu wanprestasi alias ingkar janji dalam kerjasama joint venture agreement. Dextam merasa ditinggal dalam proyek MRT. Dextam malah pernah melaporkan Shimizu ke polisi setahun silam dengan tuduhan melanggar Pasal 372 dan 378 KUHP. Polisi menerbitkan SP3 atas laporan ini.

PN Jakarta Pusat sudah menjatuhkan putusan sela atas tiga perkara yang didaftarkan Dextam awal September lalu. Dua perkara berhasil ditepis Shimizu, dan satu perkara lagi berlanjut ke tahap berikutnya.  Pengacara Shimizu, Todung Mulya Lubis mengatakan sejauh ini Shimizu telah berpedoman kepada ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia dalam membentuk serta menjalankan perikatan joint operation-nya dengan PT Shimizu Bangun Cipta Kontraktor (PT SBCK).

Menurut Todung, Shimizu tidak memiliki kewajiban untuk mengikutsertakan Dextam dalam proyek MRT. Pasalnya, Dextam merupakan kontraktor khusus pembangunan gedung. “Kalau tidak salah, spesialisasi pembangunan gedung,” kata Tagor Ricardo Sibarani, anggota tim kuasa hukum Shimizu Corporation.

Dalam gugatannya, Dextam meminta majelis hakim untuk mengabulkan gugatannya yakni mengeluarkan Shimizu dari konsorsium proyek MRT. Selain itu, Dextam juga meminta ganti rugi materiil sebesar USD 10 juta dan immateriil AS$100 juta.

Todung mengkhawatirkan gugatan ini akan mengganggu proyek MRT. “Proyek akan macet total jika Shimizu tidak terlibat,” jelas Todung.

Pakar hukum tata usaha negara, Satya Arinanto mengatakan, keluarnya salah satu anggota konsorsium dalam proyek MRT tidak akan mempengaruhi proses pembangunan MRT. “Tidak terhambat, jalan saja terus. Kenapa harus terhambat,” ungkapnya dalam acara diskusi yang diadakan oleh hukumonline, Kamis (25/9).
Tags:

Berita Terkait