Menunggu Solusi Konstitusi atas Problematika Kawin Beda Agama
Fokus

Menunggu Solusi Konstitusi atas Problematika Kawin Beda Agama

Perkawinan beda agama terus menuai persoalan hukum. Pangkal persoalannya adalah Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Kini sedang diuji menggunakan perspektif konstitusi.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Foto: Galuh
Foto: Galuh
“Cinta itu memang buta”. Ungkapan ini sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari terutama bagi pasangan yang tengah dilanda kasmaran. Sampai-sampai perbedaan agama tidak dipedulikan. Karena  terlanjur cinta, pasangan tetap berupaya melangsungkan pernikahan. Pernikahan beda agama ini mungkin sering kita saksikan atau dengar sendiri di lingkungan sekitar atau pemberitaan media.

Masalah kawin beda agama kembali mencuat setelah mahasiswa dan  alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengajukan permohonan pengujian Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal tentang syarat sahnya perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaannya itu dinilai mengandung makna larangan kawin beda agama, sehingga terkesan membatasi hak warga negara terutama yang hendak atau telah melakukan kawin beda agama.

Satu sisi, keinginan melegalkan kawin beda agama merupakan ide sensitif yang sangat potensial menimbulkan polemik di masyarakat. Sisi lain, permintaan itu patut dihargai sebagai fakta empiris yang berhubungan dengan jaminan dan perlindungan hak warga negara untuk membentuk keluarga yang hendak atau telah melangsungkan kawin beda agama. Hingga kini sudah banyak pasangan di Indonesia melangsungkan perkawinan beda agama melalui penyelundupan hukum.

Seperti didalilkan para pemohon, Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan berimplikasi tidak sahnya perkawinan di luar hukum agama, sehingga mengandung unsur “pemaksaan” warga negara untuk mematuhi agama dan kepercayaannya di bidang perkawinan. Negara dinilai mencampuradukkan urusan administrasi dan urusan agama. Intinya, pemohon minta agar syarat agama dan kepercayaan dalam pernikahan dapat dikesampingkan, khususnya bagi pasangan yang hendak menikah berbeda agama.

Pemohon beralasan beberapa kasus kawin beda agama menimbulkan ekses penyelundupan hukum. Pasangan yang melangsungkan kawin beda agama ini kerap menyiasati berbagai cara agar perkawinan mereka sah di mata hukum, misalnya perkawinan di luar negeri, secara adat, atau pindah agama sesaat. Pernikahan model ini juga berdampak pada aspek hukum lain seperti status anak dan masalah waris.

Terlarang
Harus diakui fenomena pasangan yang hendak atau sudah “memaksa” kawin beda agama seolah menjadi hal lazim dalam masyarakat. Padahal, prinsipnya di kalangan agamawan pun masih muncul perdebatan. Sebagian menolak dengan keras. Sebagian tokoh Islam melarang secara tegas baik laki-laki maupun perempuan menikahi orang-orang musyrik (non-Islam). Pandangan ini diadopsi dalam Pasal 40 huruf c jo Pasal 44 Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Terkait masalah ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan fatwa pada 1980, yang diperbaiki lagi pada 2005 lalu. MUI menyatakan perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah karena efek mafsadat-nya (kerusakannya) lebih besar daripada maslahat-nya. Demikian pula keharaman perkawinan laki-laki muslim dan wanita ahli kitabkarena MUI tidak lagi membedakan kaum musyrik dan ahli kitab,keduanya sama-sama nonmuslim.     

Tak hanya Islam, agama Kristen Protestan prinsipnya melarang kawin beda agama seperti termuat dalam Perjanjian Baru 6: 14-18 (Injil Korintus). Agama Katolik melarang kawin beda agama karena memandang perkawinan (seiman) sesuatu yang sakral atau suci, kecuali memperoleh dispensasi dari Keuskupan dengan syarat-syarat tertentu. Demikian menurut hukum Kanon Gereja Katolik.

Agama Hindu dan Budha memandangperkawinan dikatakan sah apabila kedua calon mempelai telah menganut agama Hindu atau Budha dengan mengikuti ritual perkawinan agama mereka.Makanya tak heran, MUI bersama pemuka agama lainnya menyerukanagar MK menolak pengujian pasal itu karena banyak membawa kemudharatan.

Jika menengok ke belakang soal kawin beda agama sebenarnya pernah “dilegalkan” di Indonesia sebelumnya berlakunya UU Perkawinan ini. Seperti termuat dalam Pasal 26 KUHPerdata dan Pasal 1 Huwelijke Ordonantie Christen Indonesia (Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen) Staatblaad 1933 No. 74. Kedua pasal itu menyebutkan nikah oleh undang-undang hanya melihat hubungan sipil (keperdataan). Artinya, keabsahan perkawinan tergantung terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat yang ditentukan undang-undang, tidak melihat syarat hukum agama.           

Namun, sejak terbitnya UU Perkawinan, ketentuan itu dinyatakan tidak berlaku seperti dijelaskan dalam Pasal 66 UU Perkawinan. Menurut M. Idris Ramulyo, dalam bukunya Tinjauan Beberapa Pasal UU No. 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, UU Perkawinan tidak mengatur kawin beda agama karena tidak dibenarkan ajaran agama manapun. Hal itulah yang dikehendaki Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 8 UU Perkawinan dimana keabsahan perkawinan didasarkan hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu.

Hal itu dipertegas dengan Penjelasan Pasal 2, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Dengan tafsiran seperti itu, bagi sebagian orang, nikah beda agama tidak mendapat tempat dalam hukum positif di Indonesia. Bagi pendukung pandangan ini, kawin beda agama bertentangan dengan tujuan perkawinan itu sendiri untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Tidak membatasi hak
Masalah konstitusionalnya, apakah perkawinan beda agama benar-benar membatasi hak warga membentuk keluarga dan memperoleh keturunan seperti dijamin Pasal 28B UUD 1945? Jika dicermati, permasalahan ini terdapat benturanantaraperannegara dalam menjamin hak warganya dan hukum agamadi Indonesiasebagai forum internum yang mengikat secara individual.

Saat sidang perdanapengujian UU ini, Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengemukakanpersoalan initidakterlepas dari sejarah perumusan dasarnegara iniketikarapat-rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)berlangsung sekitar Juni 1945.Dia menegaskan, Indonesia bukanlah negara sekuler (pemisahan tegas antara urusan kehidupan bernegara dan agama) dan agama, melainkan negara Pancasila berdasarkan“Ketuhanan Yang Maha Esasebagai hasil “kompromi” founding fathersantara tokoh nasionalis sekuler dan tokoh Islam.

Hakikat dasarnegara “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang termuat dalam sila pertama Pancasila dan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 dihubungkan kewajiban negara melindungi hak asasi warga negarauntuk membentuk keluarga seperti dijamin Pasal 28B UUD 1945mungkin bakalmenjadi perdebatan sengit dalam proses pengujian UU Perkawinan ini. Sebab, keduanya sama-sama diatur dan dijamin dalam konstitusi.

Sebuahpernikahan sejatinya tidak bisa dipisahkandengan aturanagamaatau kepercayaan yang diwujudkan dalam “Ketuhanan Yang Maha Esa”,seperti termuat diPenjelasan Pasal 1 UU Perkawinan. Ini bisa dianggpa hal mendasar. Sebab, segala syarat, rukun nikah, dan prosesi sebuah pernikahan diserahkan masing-masing agama dan kepercayaan kedua mempelai. Artinya bukan kewenangan negara lagi mencampuri urusan itu.Terlebih, negaratelah menjamin pemeluk agama dan kepercayaan dalam menjalankan ibadahnya termasuk perkawinan seperti dirumuskan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.

Peran negara hanya sebatasfungsi administratif dalam hal pencatatan pernikahan seperti diaturPasal 2 ayat (2) UU Perkawinan.Sesuai peraturan perundang-undangan, pencatatan perkawinan bagi mereka yang beragama Islam dilakukan Pegawai Pencatat Nikah di Kantor Urusan Agama(KUA) dan proses perceraiannya dilakukan di Pengadilan Agama. Bagi non-muslim, pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil (KCS)dan proses perceraian dilakukan di pengadilan negeri.

Kalau kawin beda agama dianggap sebagai pembatasan hak berkeluarga yang dijamin Pasal 28B UUD 1945, muncul pertanyaan lain. Bukankah hak itu sudah dijamin melalui implementasi Pasal 2 UU Perkawinan itu?. Terlebih, pembatasan hak dan kebebasan warga negara masih diperkenankan sepanjang diatur dalam UU. Dalam konteks ini yakni UU Perkawinan, seperti dijamin Pasal 28J UUD 1945 yang salah satu pertimbangannya menyebut nilai-nilai agama.

Kini, ‘bola panas’ perdebatan konstitusionalitas kawin beda agama ada di tangan Mahkamah Konstitusi. Resistensi atau dukungan mungkin saja terjadi setelah ada putusan kelak.  Terlepas dikabulkan atau ditolaknya permohonan pengujian Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan ini, polemik persoalan kawin beda agama suka atau tidak suka harus mendapat penyelesaian dari aspek hukum dan konstitusi demi kepastian hukum yang adil. Karenanya, Mahkamah harus mampu memberi keputusan secara arif dan bijaksana demi kepentingan warga negara yang lebih besar.
Tags: