Sidang Molor, Pengacara Rugi Rp5 jutaan per Sidang
Survei Hukumonline-PSHK

Sidang Molor, Pengacara Rugi Rp5 jutaan per Sidang

Kerugian biaya sebagian besar ditanggung pengacara sendiri.

Oleh:
RZK
Bacaan 2 Menit
Pengacara menunggu sidang di pengadilan. Foto: RES (Ilustrasi)
Pengacara menunggu sidang di pengadilan. Foto: RES (Ilustrasi)
Reformasi mendorong lembaga peradilan Indonesia melakukan sejumlah perbaikan. Harus diakui, melalui Mahkamah Agung (MA) selaku kekuasan kehakiman tertinggi, sejumlah perbaikan memang sudah dilaksanakan. Publikasi putusan misalnya. Walaupun belum bisa dikatakan berhasil 100 persen, publik kini lebih mudah mengakses putusan pengadilan.

Contoh perbaikan lainnya, pengawasan dan pendisiplinan. Kini, MA didorong Komisi Yudisial (KY) sudah tidak malu lagi menggelar sidang pendisiplinan secara terbuka. Majelis Kehormatan Hakim juga terbilang ‘galak’ dalam menghukum hakim yang dinilai terbukti melanggar kode etik.

Publikasi putusan dan pengawasan hakim selama ini memang menjadi masalah besar di dunia peradilan. Namun, perbaikan seharusnya bersifat menyeluruh. Tidak hanya menyasar masalah-masalah besar, perbaikan juga harus menyentuh masalah-masalah sepele atau terkesan sepele. Salah satunya adalah jadwal persidangan.

Publik, khususnya masyarakat hukum sudah terbiasa dengan jadwal sidang yang seringkali molor atau tidak sesuai jadwal. Kalangan pengacara, jaksa, atau masyarakat pencari keadilan mengeluh karena kondisi ini merugikan mereka dari segi waktu dan biaya. Sebagian membandingkan kebiasaan sidang molor di pengadilan dengan ketepatan waktu sidang di Mahkamah Konstitusi.

Hukumonline dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mencoba memotret fenomena sidang molor melalu sebuah survei. Eksekusi survei dilaksanakan dengan dengan mengambil 65 responden secara acak di seluruh pengadilan di Jakarta.

Teknik pengambilan sampel bersifat non-probabilistik, dengan cara snow bolling atau intercept di pengadilan tanpa menggunakan teknik pengacakan. Oleh karenanya, survei ini hanya merefleksikan pendapat dari responden yang diwawancarai, tidak mewakili seluruh populasi pengacara di Jakarta.

Berdasarkan hasil survei, kami menemukan beberapa hal yang menarik terkait demografi responden. Temuan pertama, terdapat perbedaan proporsi demografi yang signifikan antara laki-laki dan perempuan, menujukan  indikasi bahwa rendahnya tingkat keikustertaan pengacara perempuan di dalam proses litigasi (beracara di pengadilan).

Temuan berikutnya, mayoritas pengacara litigasi memiliki pengalaman pengalaman praktek lebih dari 4  tahun. Pada proporsi usia menunjukan bahwa pengacara yang aktif di pengadilan merupakan pengacara berusia muda, dengan usia di bawah 40 tahun.

Terkait tema survei, hasil survei menunjukkan bahwa rata-rata waktu tunggu sidang di pengadilan adalah 3 jam. Dimana mayoritas responden menyatakan menunggu kurang dari 3 jam sebelum masuk sidang (68 persen), dengan sisanya menyatakan menunggu lebih dari 1 jam sebelum masuk sidang (32 persen). Mayoritas responden berharap waktu menunggu sidang tidak lebih dari 1 jam.

Survei juga menunjukkan bahwa rata-rata persidangan dilaksanakan dalam kurun waktu 1 Jam, dengan waktu sidang terlama adalah 5 jam dan waktu sidang terpendek adalah 15 menit.

Yang menarik, akibat molornya sidang tidak selalu berdampak pada klien, dari segi biaya. Hasil survei menunjukkan bahwa mayoritas pengacara tidak menagihkan waktu sidang yang dilakukan kepada klien (83 persen), dimana sisanya menyatakan menagihkan waktu tunggu sidang kepada klien (15 persen).

Dari survei terungkap bahwa mayoritas alasan molornya sidang terletak pada hakim (51 persen), dengan alasan terbesar adalah hakim sedang memeriksa perkara lain (40 persen) atau hakim belum datang (11 persen). Sedangkan alasan lainnya adalah banyaknya pihak yang terlambat hadir/belum lengkap (38 persen), dan sisanya lain-lain (1 persen).  

Alasan Sidang Molor
Hukumonline.com
Sumber Data: PSHK, 2014

“Dari survei ini, dapat disimpulkan bahwa mayoritas waktu tunggu sidang 3 jam jauh berada di atas batas toleransi yang diharapkan oleh para pengacara, yakni paling lama 1 jam,” ungkap Giri Ahmad Taufik, Peneliti PSHK.

Sidang molor, kata Giri, juga mengakibatkan kerugian yang cukup signifikan bagi pengacara dan klien. Merujuk pada hasil survei, rata-rata kerugian sebesar Rp. 5.095.000,- per sekali sidang. Dimana mayoritas kerugian tersebut ditanggung oleh pengacara. “Terjadi inefisiensi yang signifikan, dimana rata-rata waktu tunggu 3 jam hanya untuk menghadiri proses sidang rata-rata selama kurang lebih 1 jam.”
Tags:

Berita Terkait