Menanti Kebijakan Antisipasi Krisis di Era Jokowi
Fokus

Menanti Kebijakan Antisipasi Krisis di Era Jokowi

Sebagai partai pemerintah mendatang, PDIP belum bisa memastikan ingin membuat regulasi baru atau mengupayakan RUU JPSK untuk disetujui menjadi UU.

Oleh:
YOZ/FAT
Bacaan 2 Menit
Jokowi-JK. Foto RES
Jokowi-JK. Foto RES
Perekonomian Indonesia sangat tergantung kondisi perekonomian dunia. Menteri Keuangan Chatib Basri memprediksi di tahun 2015 perekonomian Indonesia akan membaik lantaran kondisi perekonomian global mengalami pemulihan. Namun, pemerintah harus tetap waspada. Joko Widodo dan Jusuf Kalla harus siap menghadapi kemungkinan terjadinya krisis ekonomi di masa pemerintahannya.

Bicara penanganan krisis, tentu dibutuhkan suatu kebijakan atau regulasi yang setidaknya bisa menghalau krisis global agar tidak mempengaruhi stabilitas ekonomi nasional. Para ekonom telah mengingatkan hal ini, salah satunya dengan cara mendorong RUU tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) ke DPR untuk disetujui menjadi UU. 

RUU JPSK bukanlah barang baru. Sejak krisis global 2008, pemerintah pernah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang JPSK. Sri Mulyani Indrawati –Menteri Keuangan saat itu- mengatakan,krisis keuangan global 2008, dimulai dengan krisis subprime mortgage kredit perumahan di Amerika Serikat pada paruh kedua 2007. Indonesia tekena dampak dari krisis tersebut, di mana credit default swap dalam negeri meningkat tajam dan mengindikasikan risiko yang semakin tinggi.

Atas dasar itu, pemerintah menerbitkan tiga Perppu, yaitu Perppu tentang Bank Indonesia (BI), Perppu tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Perppu JPSK. Sayangnya, Perppu JPSK justru memantik masalah baru. Melalui perppu ini pemerintah menyelamatkan Bank Century yang saat itu kondisinya dinilai tidak sehat. Dana yang digelontorkan LPS tidak sedikit, yakni Rp6,7 triliun. Masuk ke ranah politik, langkah penyelamatan ini diperdebatkan DPR. Perppu JPSK seakan menjadi bumerang bagi pemerintah, terutama mereka yang memutuskan kebijakan tersebut.

Lepas dari kasus tersebut, pemerintah pernah mengajukan RUU JPSK ke DPR pada 2008 dengan harapan bisa disetujui menjadi UU. Pengajuan RUU ini dilandasi permintaan DPR yang meminta pemerintah segera mengajukan RUU JPSK, tepatnyasebelum 19 Januari 2009.Permintaan ini juga dikarenakan dewan menolak Perppu JPSK yang sebelumnya diajukan pemerintah untuk dijadikan UU. Dewan menilai, Perppu ini mengatur hak imunitas atau kebal secara hukum bagi pejabat yang menentukan kebijakan.

Singkat cerita, pemerintah mengajukan RUU JPSK seperti permintaan DPR. Namun, DPR tetap menolak RUU tersebut untuk dibahas. Melalui surat Nomor: R-39/Pres/04/2012 tanggal 17 April 2012, presiden kembali menyampaikan RUU JPSK, di mana sesuai keputusan rapat Badan Musyawarah pada 24 Mei 2012 dan surat pimpinan Dewan Nomor: TU.04/04974/DPR RI/V/2012, Komisi XI ditugaskan mengkaji terlebih dahulu RUU tersebut. Namun lagi-lagi, Komisi XI menolak pembahasan setelah mendapat masukan dari beberapa pakar hukum tata negara, yakni Erman Rajagukguk, Irman Putra Sidin, Saldi Isra dan Refly Harun.

Dalam perbincangannya dengan Komisi XI, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Saldi Isra, menilai bahwa RUU JPSK tidak dapat diteruskan selama belum dicabutnya Perppu No. 4 Tahun 2008tentang JPSK, karena berakibat tumpang tindihnya peraturan. "Jadi saya mendorong yang harus dibangun lebih awal itu pencabutan Perppu No 4 Tahun 2008," ujar Saldi.

Saldi menjelaskan, pencabutan tersebut wajib dilakukan bila merujuk peraturan yang berlaku, yakni UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Menurutnya, tidak ada alasan bagi Pemerintah dan DPR untuk menyelesaikan RUU JPSK terlebih dahulu sebelum di selesaikannya pencabutan Perppu.

“Saya mau bicara logis, masa yang ini belum jelas nasibnya, sudah muncul sesuatu yang baru. Selesaikan dulu biar ada kepastian," tegas Saldi.

Dalam sidang paripurna akhir masa jabatan anggota DPR periode 2009-2014, Selasa (30/9), Anggota Komisi XI DPR Arif Budimanta mengatakan, komisi keuangan dan perbankan DPR terpaksa menolak RUU JPSK yang diajukan pemerintah dengan alasan lemahnya definisi kesulitan keuangan dalam sektor keuangan dan perbankan, yang menimbulkan krisis sistemik.

“Selain itu, DPR menolak RUU JPSK karena memberikan hak kekebalan hukum bagi pejabat pemerintah dan belum jelasnya skema penyelamatan suatu perusahaan yang menjadi sumber krisis,” kata Arif.

RUU JPSK yang diajukan juga dicurigai DPR karena bermuatan politis dan dimanfaatkan sebagai legalitas pemerintah untuk membantu Bank Century, sekarang Bank Mutiara, yang waktu itu terancam kolaps dan dilikuidasi. Kemudian, DPR juga meragukan Perppu tentang JPSK karena pola pengambilan keputusan dan pola pembiayaan dalam aturan tersebut dinilai belum jelas.

Menurut Arif, berdasarkan perbincangan Komisi XI dengan beberapa pakar hukum, disimpulkan bahwa berdasarkan Pasal 22 UUD 1945 dan Pasal 52 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Perppu JPSK harus dicabut terlebih dahulu sebelum dilakukan pembahasan.

Siapkan Kajian Hukum
Pemerintah merespon pernyataan Arif. Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan, saat ini pemerintah sedang menyiapkan kajian hukum terkait RUU JPSK. kajian hukum tersebut disiapkan agar Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) bisa menentukan sikap selanjutnya mengenai kelanjutan RUU JPSK, yang dapat menjadi instrumen dalam penanganan krisis ekonomi.

"Setelah ada opini legal, tentu BI, OJK dan pemerintah akan tahu apa yang harus dilakukan. Pembahasan RUU ini tentu diharapkan dapat mengantisipasi apa yang harus dilakukan (apabila ada krisis)," katanya, Senin (6/10).

Kepala Eksekutif LPS Kartika Wirjoatmodjo menambahkan, RUU JPSK merupakan pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan regulator. Sebagai lembaga yang berfungsi memelihara stabilitas perbankan, LPS berharap ada payung hukum bagi pengambil kebijakan dalam melaksanakan penanganan bank gagal yang berdampak sistemik. Menurutnya, keberadaan RUU JPSK menjadi kunci jawaban untuk meredam kekhawatiran para pemangku kepentingan tersebut.

Setidaknya, terdapat tiga substansi besar yang bisa masuk dalam RUU tersebut. Misalnya, kata Kartika, pihak yang bisa menentukan krisis. Selama ini, belum ada pihak yang memiliki wewenang dalam menentukan krisis, sehingga antisipasi dari pemangku kepentingan masih bisa diperdebatkan dasar hukumnya jika terjadi krisis. “Siapa yang menentukan krisis itu, apakah pemerintah atau persetujuan DPR, itu harus jelas,” katanya.

Substansi kedua, mengenai parameter. Parameter ini harus jelas, sehingga ke depan penetapan krisis bisa ditindaklanjuti dengan keputusan yang tepat. Sedangkan substansi lain yang penting terkait kebijakan dalam pemberian dana bailout kepada bank gagal. “Sehingga kami minta DPR segera menyusun RUU JPSK,” ujarnya.

Sekadar catatan, untuk saat ini, pemerintah masih berpedoman pada aturan yang tercantum dalam UU Otoritas Jasa Keuangan, terkait peningkatan peran Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK), yang dianggap memadai sebagai antisipasi, apabila terjadi krisis.

Guru Besar FHUI Prof. Hikmahanto Juwana sependapat mengenai pentingnya RUU JPSK dalam menjaga stabilitas sektor keuangan. Menurutnya, dalam RUU tersebut bisa dimasukkan substansi mengenai kewenangan dalam menentukan krisis.

Sedangkan terkait imunitas bagi pengambil kebijakan dalam menetapkan sebuah bank gagal, ia menilai hal itu tak perlu. Menurut Hikmahanto, imunitas seperti ini pula yang menjadi alasan DPR tidak menyetujui Perppu JPSK beberapa tahun silam.

“Itu karena ada kekhawatiran, orang sebagai pengambil kebijakan terus dia akan dipersalahkan. Jadi yang sekarang ini, mungkin imunitas seperti itu tidak perlu,” katanya.

Lihat Nanti
Bisa dipastikan nasib RUU JPSK terkantung-katung di DPR hingga akhir masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pengamat ekonomi Iman Sugema menyayangkan kondisi yang terjadi di parlemen yang menggantung pembahasan RUU JPSK. Menurutnya, hal itu membahayakan kondisi perekonomian Indonesia jika sewaktu-waktu terjadi krisis dan menghantam sektor perbankan.

"Hal yang benar-benar krusial ke depan adalah UU JPSK," ujarnya.

Pernyataan Iman seakan memberi peringatan kepada Joko Widodo. Setelah RUU JPSK dipastikan mandeg di DPR, akankah Jokowi membuat regulasi baru terkait antisipasi krisis di masa pemerintahannya, atau mungkin melanjutkan RUU JPSK peninggalan pemerintahan SBY.

Anggota DPR dari Fraksi PDIP Hendrawan Supratikno sepakat bahwa keberadaan RUU JPSK penting untuk mengantisipasi krisis. Bahkan, DPR siap membahas RUU JPSK jika Perppu No.4 Tahun 2008 tentang JPSK dicabut terlebih dahulu oleh pemerintah. Menurutnya, JPSK merupakan benteng pertahanan bagi Indonesia dalam menghadapi krisis yang siap menerjang kapan saja.

“Krisis merupakan bagian dari dinamika ekonomi pasar, sehingga akan selalu terjadi. Yang penting bagaimana kita siap mengelolanya,” tulis Hendrawan melalui pesan singkatnya.

Namun, Hendrawan tak bisa menjawab pasti apakah Jokowi-JK bersedia mencabut Perppu JPSK atau bahkan membuat regulasi sendiri terkait penangan krisis di masa pemerintahannya. “Kita lihat saja nanti,” kata mantan anggota Panitia Khusus (Pansus) Bank Century ini.

Seperti diketahui, ada dua kubu yang menduduki parlemen saat ini, yakni Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Jumlah kursi KMP diisi oleh partai-partai oposisi dan lebih banyak ketimbang KIH yang merupakan partai pro pemerintah. Namun, jika dua kubu ini solid dan mengesampingkan kepentingan kelompok, apapun regulasinya, jelas sebuah kebaikan bagi Negeri ini untuk terhindar dari krisis ekonomi.
Tags:

Berita Terkait