Bila Perppu Ditolak, UU Pilkada Tak Otomatis Berlaku
Berita

Bila Perppu Ditolak, UU Pilkada Tak Otomatis Berlaku

Karena DPR atau presiden harus mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Perppu yang berisi akibat hukum dari pencabutan Perppu.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Bila Perppu Ditolak, UU Pilkada Tak Otomatis Berlaku
Hukumonline
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1 Tahun 2014 tentang Pemilihan gubernur, Bupati, dan Walikota diterbitkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) beberapa waktu lalu. Beragam pandangan bermunculan terkait Perppu ini, hingga kemungkinan bakal ditolak DPR. Sekalipun nantinya ditolak DPR, tidak berarti UU No.22 Tahun 2014 tentang Pilkada dapat diberlakukan.

Hal ini disampaikan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Saldi Isra, dalam sebuah diskusi di Gedung DPD, Rabu (15/10). “Kalau seandainya Perppu ditolak, tidak serta merta berlaku UU No.22 Tahun 2014,” ujarnya.

Pandangan Saldi merujuk pada Pasal 52 ayat (5), (6), dan (7) UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan. Pasal (5) menyatakan, “Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku”.

Ayat (6) menyatakan, ”Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud ayat (5), DPR atau presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang”.

Sedangkan ayat (7) menyebutkan, “Rancangan Undang-Undang tentang pencabutan  Peraturan Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud ayat (6) mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Perppu”.

Saldi berpandangan, setelah penerbitan Perppu, UU Pilkada yang mengamantkan pemilihan kepala daerah melalui DPRD mesti melalui beberapa tahapan karena perlu pembahasan panjang. Apalagi, pembahasan Perppu No.1 Tahun 2014 rencananya akan dibahas pada awal tahun 2015 mendatang.

“Jadi dengan menggunakan dasar hukum ini, tidak ada logikanya setelah mencabut Perppu, kemudian otomatis UU No.22 Tahun 2014 tentang Pilkada berlaku,” ujarnya.

Pakar hukum tata negara, Refly Harun, menambahkan DPD memiliki peran dalam pembahasan Perppu tersebut, meski bukan tidak mungkin bakal terjadi penolakan dari DPR. Namun, jika merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Maret 2014, pembahasan RUU dapat dilakukan melalui tripatrit. Dengan kata lain, pembahasan sebuah RUU dapat dilakukan antara DPR, pemerintah dan DPD.

“Peran yang bisa dimainkan DPD, DPD harus bisa memainkan sikap yang clear,” katanya.

Menurutnya, DPD dapat memberikan sikap secara kelembagaan dengan menolak Pilkada tidak langsung. Ia berpandangan, DPD memiliki kepentingan dalam pemilihan kepala daerah. Sebab anggota DPD merupakan respresentasi aspirasi masyarakat daerah di parlemen, kendati kewenangan DPD tidak sedigdaya DPR. Menurut Refly, DPD  harus membuat strategi jika Perppu ditolak DPR.

“Walaupun Perppu ditolak atau tidak disetujui, tapi UU pencabutan Perppu menghidupkan kembali pemilihan langsung. Saya menolak (Perppu), karena tidak lagi genting. Tetapi secara substansi tetap penting, bisa saja Perppu ditolak karena sudah tidak genting. Karena penting mungkin diterima karena substansinya penting, dan skenario-skenarionya  harus dibicarakan,” ujarnya.

Anggota DPD, Letjen (purn) Nono Sampono mengamini pandangan kedua pakar hukum tata negara tersebut. Menurutnya, proses demokrasi mesti dikawal, bukan sebaliknya mengalami kemunduran. Dalam pemilihan anggota legislatif, eksekutif dan kepala daerah dalam sistem ketatanegaraan, hakikatnya dipilih melalui mekanisme langsung. Namun begitu, ia menilai penerbitan Perppu oleh SBY memiliki persoalan tersendiri.

“Di internal pemerintah terjadi perbedaan pandangan. Perppu ini menjawab, tapi dampaknya akan menyangkut UU Pemda. Prinsip dasar dalam demokrasi rakyat memilih langsung, dan jangan dipangkas,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait