Pernikahan Dini Dinilai Langgar Hak Anak Perempuan
Berita

Pernikahan Dini Dinilai Langgar Hak Anak Perempuan

Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua, bertanggung jawab diminta mencegah terjadinya perkawinan anak agar seluruh hak anak terpenuhi.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Perkawinan usia anak di bawah 18 tahun dinilai bentuk pengingkaran negara terhadap kerentanan setiap anak, sekaligus pengabaian terhadap hak perlindungan bagi anak dari segala bentuk diskriminasi. Pasalnya, ketika negara membuka peluang terjadinya perkawinan anak, hal yang bertentangan dengan upaya negara melakukan pemenuhan dan penghormatan hak asasi manusia (HAM).

“Dalam tataran HAM, anak diakui sebagai kelompok rentan, selain penyandang disabilitas, kelompok minoritas, dan perempuan hamil,” ujar Yuniyanti Chuzaifah saat memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan pengujian Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di ruang sidang MK, Kamis (16/10).   

Yuniyanti menegaskan perkawinan anak juga bentuk pemaksaan bagi anak perempuan untuk memikul tanggung jawab secara fisik atau psikologis dimana kondisi mereka sesungguhnya tidak siap. Sehingga, perkawinan anak bentuk pelanggaran hak-hak anak, terutama anak perempuan yang dalam UU Perkawinan diperbolehkan melangsungkan perkawinan jika sudah mencapai 16 tahun atau masih dalam usia anak.

“Padahal, atas kerentanan itu negara telah memberi perlindungan melalui Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 dan lebih lanjut dijabarkan oleh UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,” ujar wanita yang juga menjabat Ketua Komnas HAM ini.

Setidaknya, hak-hak yang dilanggar dalam perkawinan anak yaitu hak tumbuh kembang, hak pendidikan, hak atas sumber penghidupan, hak sosial-politik, hak bebas dari kekerasan. Misalnya, ketika terhentinya hak pendidikan juga akan terhentinya hak penghidupan yang layak ketika hanya suami yang mencari nafkah lantaran perempuan (hanya lulusan SMP) tidak siap bersaing dalam pasar kerja.

“Kebergantungan ekonomi menjadi salah satu penyebab rentannya perempuan menjadi target korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),” ujar ahli yang sengaja dihadirkan pemohon ini.  

Dampak KDRT bagi perempuan, lanjut dia, mereka kerap terusir dari rumah, hilang hak properti, tidak ada jaminan hidup, sulit masuk dunia kerja, anak-anak cenderung memilih ikut ibunya. Efeknya, perempuan muda harus bertarung melanjutkan hidup sebagai single parent.

“Membiarkan anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun sama dengan negara menghilangkan jaminan bagi anak perempuan untuk terbebas dari kekerasan dan diskriminasi. Ini sama saja memperluas jumlah perempuan yang menjadi korban KDRT baik berupa kekerasan fisik, psikis, seksual maupun penelantaran ekonomi,” paparnya.  

Komnas Perempuan tahun 2013 mencatat korban KDRT kebanyakan perempuan sebagai istri yang mencapai 64 persen dari total 279.760 kasus pada 2013. Data Badan Peradilan Agama MAD menunjukkan angka perceraian akibat perkawinan di bawah umur mencapai 827 kasus pada tahun 2013.

Ahli pemohon lainnya, Maria Ulfah Anshori berpendapat jika pernikahan di bawah usia 18 tahun bagi perempuan harus diartikan perkawinannya tidak sah. Sebab, perkawinan itu telah mengandung pelanggaran hak-hak anak yang dijamin Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 dan UU Perlindungan Anak.

“Jika negara tidak melakukan kewajibannya, kerugian langsung dialami anak akibat perkawinan anak yakni kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan perkembangan anak yang dijamin Pasal 28B ayat (2) dan UU Perlindungan Anak,” ujar Maria.

Karena itu, menurut Komisioner KPAI ini frasa “16 (enam belas) tahun” dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan adalah pelanggaran terhadap hak-hak anak yang seharusnya dilindungi konstitusi. “Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua, bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan anak agar seluruh hak anak terpenuhi,” harapnya.

Dewan Pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan Zumrotin dan Koalisi Indonesia untuk Penghentian Perkawinan Anak mempersoalkan batas usia perkawinan bagi wanita, yakni 16 tahun melalui pengujian Pasal 7 ayat (1), (2) UU Perkawinan. Mereka berpandangan norma Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan konstitusi karena menjadi landasan dan dasar hukum dibenarkannya adanya perkawinan anak dalam hal ini anak perempuan yang belum mencapai 18 tahun.

Padahal, usia kedewasaan jika seseorang sudah mencapai usia 18 tahun sesuai Pasal 26 UU Perlindungan Anak dan Pasal 131 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Karenanya, para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 7 ayat (1) khususnya frasa “16 (enam belas) tahun” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai atau dibaca “18 tahun (delapan belas) tahun”. Namun, pemohon Koalisi Indonesia meminta MK membatalkan Pasal 7 ayat (2) karena bertentangan UUD 1945.
Tags:

Berita Terkait