Melawan Pemakzulan, Menggugat Wakil Presiden
All the Presidents’ Lawyers

Melawan Pemakzulan, Menggugat Wakil Presiden

Didampingi pengacara, Presiden Abdurrahman Wahid pernah dimintai keterangan oleh Pansus Buloggate dan Bruneigate. Setelah berhenti jadi presiden, malah menggugat wakil presiden. Mengapa?

Oleh:
M. Yasin
Bacaan 2 Menit
Foto: http://www.nu.or.id
Foto: http://www.nu.or.id
Politikus Partai Demokrat, Sutan Bhatoegana nyaris ‘kesandung’ nama besar Gus Dur. Gara-gara pernyataannya tentang jatuhnya Gus Dur dari jabatan Presiden akibat Buloggate, membuat Sutan jadi sasaran kemarahan. Sutan akhirnya meminta maaf kepada keluarga dan pendukung Gus Dur. Peristiwa itu terjadi pada 2012 silam.

Ketika menjabat sebagai Presiden, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur memang sempat diperiksa Pansus Buloggate-Bruneigate DPR. Kasus Buloggate berkaitan dengan penggunaan dana non-budgeter Bulog. Sedangkan kasus Bruneigate adalah dugaan penyimpangan penggunaan dana dari Sultan Brunei. Kejaksaan Agung menyatakan tidak ada keterlibatan Gus Dur dalam kasus itu.

Namun, DPR sampai membentuk Panitia Khusus untuk mengungkap kasus ini. Gus Dur menganggap Pansus itu ilegal, dan menolak bersumpah di depan anggota Pansus. Sewaktu hadir di DPR untuk memberikan keterangan di depan anggota Pansus, Gus Dur didampingi pengacara senior Luhut MP Pangaribuan. Blog tokohbatak.wordpress.com memuat komentar Luhut atas pendampingannya kepada Gus Dur dalam kasus Buloggate. “Buat saya, itu merupakan penghargaan. Kemudian saya mendampingi Gus Dur saat dipanggil oleh Pansus Buloggate.”

Luhut memang mempersoalkan upaya memecat atau mengadili Gus Dur. Menurut dia, Gus Dur tidak dapat dijatuhkan atau diadili semasa ia memegang jabatan kepala negara. Kasus Gus Dur dia nilai sebagai bukti politik mengalahkan hukum. “Hukum terlalu kecil untuk menangani kasus ini karena hukum sudah dikesampingkan,” ujarnya kepada Sinar Harapan kala itu.

DPR dan Presiden punya hak imunitas dalam menjalankan tugas. Luhut mempertanyakan bagaimana lembaga legislatif menjalankan peran sebagai lembaga pemeriksa dan berusaha membuktikan kesalahan orang karena diduga melanggar hukum. “Sejak kapan DPR dan MPR menjadi lembaga pemeriksa yang berusaha membuktikan kesalahan orang karena diduga melanggar hukum?” Luhut mempertanyakan.

Pertanyaan Luhut ternyata tak menghentikan upaya pemakzulan Gus Dur. Orang hukum lain yang dekat dengan Gus Dur pada saat itu adalah Moh. Mahfud MD, Menteri Pertahanan. Gus Dur mengungkapkan secara terbuka rencana mengeluarkan dekrit. Ahli hukum tata negara Harun Alrasid dimintai pendapat tentang dekrit itu. Prof. Harun mengatakan dalam sistem presdisensial, masa jabatan presiden sudah fixed, dan presiden tak bisa dijatuhkan di tengah jalan. Tetapi yang terjadi kemudian, Gus Dur benar-benar dimakzulkan.

Mahfud menyebutkan tiga kelemahan Gus Dur yang menyebabkan kasus Buloggate menjadi blunder yang menyebabkan Gus Dur dimakzulkan. Pertama, Gus Dur tidak suka pada detail-detail dan teknis dari persoalan. Ketika membentuk Komisi Hukum Nasional, misalnya, teknis anggaran, pejabat, dan masa jabatan tak ditangani dengan baik. Kedua, Gus Dur acapkali menyederhanakan persoalan. Kalimatnya yang populer adalah, ‘gitu aja kok repot!’.

Ketiga, Gus Dur tidak suka dilawan dan tidak mau melakukan kompromi jika ia merasakan bahwa kompromi itu merugikan dirinya dalam politik.Tiga kelemahan Gus Dur dan pusaran politik di balik Pansus Buloggate dituangkan Mahfud dalam bukunya Setahun Bersama Gus Dur, Kenangan Menjadi Menteri di Saat Sulit (2010).

Penelusuran terhadap kasus Buloggate memunculkan juga satu nama orang hukum, yakni Prof. Mardjono Reksodiputro. Teman Serikat pada kantor Konsultan Hukum Ali Budiardjo Nugroho Reksodiputro ini pernah dimintai pendapat mengenai kasus Buloggate. Ketika dikonfirmasi dalam usai diskusi di gedung KHN, Rabu (24/9), Prof. Mardjono menegaskan tak pernah menjadi lawyer Gus Dur dalam kasus Buloggate. Ia mengaku hanya diminta Jaksa Agung untuk memberikan pandangan. “Saya hanya diminta Jaksa Agung,” ujarnya. Jaksa Agung Marzuki Darusman mengantar Mardjono ke Istana, untuk memberikan pendapat hukum.

Pengacara lain yang banyak mendampingi Gus Dur adalah Ikhsan Abdullah. Alumnus Universitas Jember ini pula yang langsung mendampingi ketika Gus Dur mendaftarkan gugatan ke PN Jakarta Pusat pada 24 Mei 2004. Ia menggugat Komisi Pemilihan Umum, Ikatan Dokter Indonesia, dan Departemen Kesehatan gara-gara keputusan KPU mendiskualifikasi Gus Dur dari kursi calon presiden pada pemilihan umum 2004. KPU dinilai diskriminatif terhadap hak politik Gus Dur hanya karena alasan kesehatan. Selain melayangkan gugatan, pengacara Gus Dur juga mengadu ke Komnas HAM. Gugatan Gus Dur akhirnya kandas. PN Jakarta Pusat, menolak gugatan itu.

Berkaitan dengan masalah kesehatan mata Gus Dur saat menjadi Presiden, ada sedikit catatan dalam buku ‘O.C. Kaligis Pengacara Sejuta Perkara’ (2002). Di depan anggota Komisi II DPR (saat itu Komisi Hukum), Kaligis mengusulkan agar Gus Dur didampingi notaris saat menandatangani surat-surat kenegaraan agar tidak menimbulkan masalah hukum di kemudian hari. “Menurut hukum, setiap surat yang ditandatangani oleh orang yang tidak baik penglihatannya harus disaksikan notaris,” kata Kaligis.

“Jadi, seandainya ada masalah hukum atas surat-surat yang ditandatangani oleh Gus Dur, hak hukum Gus Dur atas surat-surat tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Dan tidak mungkin ada sanggahan dari yang bersangkutan bahwa isi surat tersebut di luar tanggung jawabnya,” kata Kaligis.

Setelah selesai menjabat dan ingin mencalonkan diri sebagai presiden, Gus Dur terkendala alasan kesehatan. Bersama Alwi Shihab, Gus Dur mengajukan permohonan hak uji materiil atas Keputusan KPU No. 26 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pencalonan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dan Keputusan KPU No. 31 Tahun 2004 tentang Petunjuk Teknis Penilaian Kemampuan Rohani dan Jasmani Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden ke Mahkamah Agung. Dalam perkara hak uji materiil ini, Gus Dur memberikan kuasa kepada pengacara Syaeful Anwar, Mohamad Tohadi, dan Agus Salim. Permohonan ini akhirnya ditolak.

Catatan lain yang menghubungkan Gus Dur dengan pengacara adalah ketika mantan Presiden itu melaporkan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) ke polisi. Gus melaporkan JK karena pernyataannya mengenai permintaan uang Gus Dur saat JK menjabat Menperindag/Kabulog. Saat permintaan itu, Gus Dur menjabat sebagai Presiden. Pengacara yang mendampingi Gus Dur saat dimintai keterangan selaku pelapor di Polda Metro Jaya, 7 Juni 2007, adalah Ikhsan Abdullah.

Tak hanya melapor ke polisi, Gus Dur juga melayangkan gugatan pencemaran nama baik ke PN Jakarta Pusat. Pengacara Gus Dur menilai pernyataan JK dalam suatu acara di Cibubur, Jakarta Timur, itu tidak benar dan tidak berdasar. Sebaliknya pernyataan mengenai permintaan uang telah menyerang harkat, martabat, dan nama baik Gus Dur.

Namun berdasarkan penelusuran hukumonline, gugatan dan laporan polisi itu berujung damai. Pengacara Gus Dur mencabut gugatan di PN Jakarta Pusat pada 17 Juli 2007. Laporan ke polisi juga dicabut. Sepekan sebelumnya Gus Dur dan JK bertemu, dan keduanya sepakat saling memaafkan.
Tags:

Berita Terkait