Dinamika Peraturan Program Jaminan Simpanan
Fokus

Dinamika Peraturan Program Jaminan Simpanan

Dalam 10 tahun, LPS menerbitkan lima peraturan terkait program penjaminan simpanan.

Oleh:
RZK
Bacaan 2 Menit
Foto: RES (Ilustrasi)
Foto: RES (Ilustrasi)
Sekira lima tahun silam, Sri Gayatri mendadak tenar. Warga Surabaya, Jawa Timur ini seringkali tampil di pemberitaan media cetak, online, ataupun layar kaca. Sri tenar karena aksinya yang menarik perhatian. Suatu waktu, dia menginap di bank. Lain waktu, dia naik ke meja kantor, membusungkan dada ke pegawai bank, bergaya ala badut, atau menjadi penjual rujak.

Sekilas, orang pasti berpikir Sri adalah orang gila atau stres. Gila? Belum tentu, karena untuk memvonis Sri gila seharusnya dilakukan oleh dokter kejiwaan. Stres? Mungkin. Dilihat dari aksi-aksi unik nan nekatnya, publik memang punya alasan untuk menyebut Sri stres. Tetapi, kalaupun benar stres, Sri punya alasan ‘sahih’ karena dia kehilangan uang Rp69 miliar!!

Petaka yang menimpa Sri bermula ketika Bank Century kolaps. Sri adalah nasabah Antaboga, salah satu produk reksadana yang dimiliki Bank Century. November 2008, Bank Century mengalami kalah kliring yang diikuti dengan aksi penarikan uang besar-besaran (rush) oleh nasabah. Lalu, Bank Indonesia (BI) menetapkan Bank Century sebagai bank gagal yang berpotensi sistemik sehingga diserahkan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Masalah yang yang menghinggapi Bank Century tentunya berdampak pada nasabah, dan salah satunya adalah Sri Gayatri. Derita Sri Gayatri memang lebih kompleks dari sekadar kolaps-nya Bank Century, karena Antaboga kemudian diketahui bermasalah. Terlepas dari masalah itu, sosok Sri Gayatri sebenarnya adalah potret dari kepentingan nasabah bank pada umumnya.

Setiap nasabah tentunya ingin dana yang mereka simpan di bank aman, bahkan ketika bank itu kolaps sekalipun. Prinsipnya, hubungan antara bank dan nasabah berlandaskan pada “kepercayaan”. Bayangkan, bagaimana mungkin seorang nasabah mempercayakan uang jutaan atau bahkan miliaran kepada orang bank yang mereka sebelumnya tidak pernah kenal.

Tahun 1998, ketika krisis moneter melanda Indonesia, perbankan nasional terpuruk yang berbanding lurus dengan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakan kepada bank. Kala itu, menyimpan uang di bank terasa begitu menakutkan pasca tumbangnya 16 bank yang dilikuidasi. Aksi rush terjadi dimana-mana.

Merespon persoalan ini, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan strategis. Salah satunya, jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat (blanket guarantee). Dua dasar hukum diterbitkan yakni Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat.

Pada praktiknya, kebijakan blanket guarantee memang berhasil memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Namun, ruang lingkup penjaminan ternyata dinilai terlalu luas sehingga muncul moral hazard baik dari sisi pengelola bank maupun masyarakat. Untuk mengatasi ini, embrio Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pelaksana penjaminan dana masyarakat dicantumkan dalam UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Enam tahun berserang, dasar hukum pembentukan LPS semakin kuat dengan terbitnya UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS. Undang-undang itu menegaskan kedudukan LPS sebagai lembaga independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan. Bersamaan dengan efektif berlakunya UU Nomor 24 Tahun 2004 pada tanggal 22 September 2005, LPS pun resmi beroperasi.

Seperti halnya kebijakan blanket guarantee, LPS sejatinya ada untuk menumbuhkan kembali dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap bank. Sesuai dengan fungsinya, cara LPS menumbuhkan kembali dan menjaga kepercayaan masyarakat dengan menjamin simpanan nasabah. Oleh karenanya, tugas LPS adalah merumuskan kebijakan dan sekaligus melaksanakan penjaminan simpanan.

Hampir satu dekade berdiri, LPS tercatat telah menerbitkan lima peraturan LPS (PLPS) tentang program penjaminan simpanan. Pertama, PLPS Nomor 1 Tahun 2005. Terbit 26 September 2005, Peraturan LPS 1/2005 mengatur tentang kewajiban bank peserta penjaminan, mulai dari menyerahkan beberapa dokumen penting, membayar kontribusi kepesertaan dan premi penjaminan, hingga menyerahkan laporan.

Selain itu PLPS 1/2005 juga mengatur tentang syarat dan tata cara pengajuan dan pembayaran klaim penjaminan, kriteria klaim penjaminan yang dinyatakan tidak layak dibayar, dan sanksi administratif bagi bank yang tidak melunasi pembayaran premi sesuai ketentuan.

Peraturan berikutnya adalah PLPS Nomor 1A Tahun 2005 yang sekaligus mencabut PLPS 1/2005. Perubahan mendasar yang diatur dalam PLPS 1A/2005 adalah penambahan kewajiban bank sebagai peserta penjaminan. PLPS 1A/2005 juga mengatur lebih lanjut tentang hal-hal yang dimaksud dengan kelalaian dan/atau perbuatan yang melanggar hukum.

Setahun kemudian, muncul peraturan ketiga yakni, PLPS Nomor 1 Tahun 2006. PLPS 1/2006 ini praktis hanya menegaskan kembali tentang beberapa ketentuan yang tercantum dalam PLPS Program Penjaminan Simpanan Sebelumnya. Kemudian muncul PLPS Nomor 1 Tahun 2007 yang mengubah beberapa substansi yang diatur dalam PLPS 1/2006.

PLPS 1/2007 antara lain mengatur tentang penghapusan ketentuan pada Pasal 1 angka 8 mengenai definisi Tingkat Bunga Penjaminan, perubahan ketentuan mengenai kewajiban bank peserta penjaminan, dan perubahan cakupan nasabah penyimpan yang dinyatakan sebagai pihak yang diuntungkan secara tidak wajar.

Peraturan berikutnya terbit tiga tahun setelah PLPS 1/2007, yakni PLPS Nomor 1 Tahun 2010. Dalam PLPS ini diatur secara khusus tentang upaya yang dapat ditempuh dalam hal nasabah penyimpan yang simpanannya dinyatakan tidak layak bayar merasa dirugikan. Ketentuan ini semakin mengukuhkan komitmen LPS dalam melindungi nasabah bank.

PLPS 1/2010 mengatur bahwa dalam hal nasabah penyimpan merasa dirugikan, maka yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan kepada LPS yang didukung dengan bukti nyata dan jelas atau melakukan upaya hukum melalui pengadilan. lebih lanjut diatur bahwa apabila LPS menerima keberatan nasabah atau atas perintah pengadilan, maka LPS wajib melakukan reklasifikasi atau perubahan status simpanan, yang awalnya “tidak layak dibayar” menjadi “layak dibayar”.

Selain mekanisme yang diatur PLPS 1/2010, nasabah yang merasa dirugikan sebenarnya dapat menggunakan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam hal ini pelaku usaha wajib memberikan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian apabila jasa yang diterima atau dimanfaatkan oleh konsumen tidak sesuai dengan perjanjian.

Meskipun telah ‘rutin’ mengeluarkan kebijakan terkait program penjaminan simpanan, LPS tetap menuai kritik. Salah satu kritik itu menyasar kebijakan tentang nilai jaminan nasabah yang ditanggung LPS. Dari tahun ke tahun, nilainya memang meningkat, bahkan sempat naik 20 kali lipat. Namun, nilai yang berlaku sekarang yakni Rp 2 miliar masih dirasa kurang.

Anggota DPR, Mohammad Hatta berpendapat LPS seharusnya berani menaikkan jumlah tanggungan di atas nominal Rp2 miliar. Apalagi, kata Hatta, aset LPS telah mencapai Rp43 triliun. Berarti aset LPS meningkat lebih dari sepuluh kali lipat ketimbang ketikan awal berdiri pada 2005 sekitar Rp4 triliun. Bagi Hatta, proporsi penjaminan idealnya hingga Rp 3 sampai 4 miliar.

Hampir memasuki usia 10 tahun, LPS memang telah berbuat banyak dalam upaya melindungi nasabah. Namun, LPS seharusnya tidak berpuas diri. Masih banyak hal-hal yang perlu diperbaiki dalam konteks kebijakan penjaminan simpanan. Masukan para pihak yang kompeten harus dipandang sebagai modal bagi LPS untuk terus bertransformasi diri menjadi lebih baik. Sesuai misi pendiriannya, LPS mengemban tanggung jawab agar nasabah merasa aman dan terlindungi, agar mereka tidak mengalami nasib yang sama seperti Sri Gayatri.   
Tags:

Berita Terkait