Standarisasi Lulusan Pekerjaan Rumah Fakultas Hukum
90 Tahun Pendidikan Tinggi Hukum:

Standarisasi Lulusan Pekerjaan Rumah Fakultas Hukum

Orientasi pada kebutuhan dunia bisnis terus dikembangkan.

Oleh:
MYS/M-22
Bacaan 2 Menit
Ketua Forum Pimpinan Pendidikan Tinggi Hukum Indonesia (FPPTHI), Surajiman, saat memberikan keterangan kepada hukumonline. Foto: RES
Ketua Forum Pimpinan Pendidikan Tinggi Hukum Indonesia (FPPTHI), Surajiman, saat memberikan keterangan kepada hukumonline. Foto: RES
Sembilan puluh tahun sudah sejarah pendidikan tinggi hukum di Indonesia (28 Oktober 1924-28 Oktober 2014). Selama itu pula terjadi dinamika, baik jumlah lembaga penyelenggara pendidikan hukum dan kurikulum maupun minat mahasiswa. Pendidikan tinggi hukum, baik negeri maupun swasta, menghadapi banyak persoalan selama ini. Salah satunya standarisasi lulusan.

Standarisasi lulusan pula yang menjadi perhatian dalam pertemuan Forum Pimpinan Pendidikan Tinggi Hukum Indonesia (FPPTHI) di Surabaya, Agustus lalu. Ketua FPPTHI, Surajiman, menjelaskan pertemuan FPPTHI di Surabaya membahas pengesahan AD/ART organisasi, dan membahas standarisasi kelulusan. “Agenda yang kita lakukan adalah merumuskan standarisasi lulusan,” kata Dekan Fakultas Hukum Universitas Nasional itu kepada hukumonline.

Standarisasi kelulusan adalah upaya menyesuaikan syarat-syarat dan mekanisme kelulusan mahasiswa pendidikan tinggi hukum swasta, baik di universitas, perguruan tinggi maupun sekolah tinggi hukum. Forum Pimpinan pendidikan tinggi hukum swasta ini sepakat untuk merujuk pada regulasi terbaru seperti UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan Peraturan Presiden (Perpres) No. 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI)

FPPTHI mengusulkan perlunya standarisasi disesuaikan dengan kebutuhan riil saat ini. Konsekuensinya bukan hanya pada kurikulum, tetapi juga pada memperkuat keunikan atau kekhasan pada masing-masing lembaga pendidikan.

Surajiman mengakui saat ini belum ada kesamaan standar kelulusan untuk seluruh pendidikan tinggi. Apalagi jika swasta dibandingkan dengan pendidikan tinggi hukum negeri. Karena itu, pimpinan puluhan pendidikan tinggi hukum merumuskan usulan-usulan standarisasi yang akan disampaikan kepada Ditjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Dijelaskan Surajiman, pertimbangan penting standarisasi itu adalah kebutuhan kerja. Lulusan pendidikan tinggi hukum mengarah pada kebutuhan riil, karena itu pula nomenklaturnya sudah menggunakan hukum bukan lagi ilmu hukum. Hukum sudah dianggap sebagai ilmu terapan.

Kelak, pendidikan tinggi hukum akan menyelenggarakan pendidikan terapan atau pendidikan profesi. Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta sudah memulai gagasan magister berdasarkan profesi. Surajiman juga membayangkan suatu saat pendidikan profesi advokat pun diselenggarakan oleh pendidikan tinggi hukum, bukan lagi oleh lembaga-lembaga yang tak punya akreditasi pendidikan. “Nanti supaya menjadi domainnya pendidikan tinggi,” jelas pengajar hukum pengangkutan itu.

Secara khusus Surajiman mengatakan karakteristik lulusan sarjana hukum sangat tergantung pada ciri khas yang ditonjolkan program pendidikan tinggi hukum bersangkutan. Fakultas Hukum Universitas Nasional, contohnya, kata Surajiman ingin lebih fokus pada kebutuhan dunia bisnis. Ia percaya kebutuhan bisnis atas sarjana hukum masih sangat tinggi. Yang penting, standarisasi kelulusannya diperbaiki agar kompetensi setiap lulusan juga memadai. “Kita bahagia kalau sarjana hukum itu bekerja di bidangnya,” kata Surajiman.

Dan kini, pekerjaan rumah FPPTHI adalah menerapkan standarisasi kelulusan. Persoalannya, tak semua perguruan tinggi hukum swasta menjadi anggota Forum ini.
Tags:

Berita Terkait