MA Proses Fatwa Polemik Pengangkatan Ahok
Berita

MA Proses Fatwa Polemik Pengangkatan Ahok

MA akan memprioritaskan permintaan DPRD DKI Jakarta.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MA. Foto: RES
Gedung MA. Foto: RES
Pimpinan Mahkamah Agung (MA) masih memproses permintaan DPRD DKI Jakarta terkait polemik pengangkatan Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta pasca terpilihnya Joko Widodo menjadi presiden.DPRD ‘kebingungan’ karena ada peraturan mengenai proses pengangkatan Gubernur DKI Jakarta.

Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur membenarkan permohonan fatwa dari DPRD DKI Jakarta. Ia mengkonfirmasi isinya menyangkut pengangkatan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. “DPRD mengirim surat itu pada Rabu (22/10). Sejak pekan lalu suratnya masih diproses di meja pimpinan MA,” ujar Ridwan saat dihubungi di Jakarta, Senin (27/10).

Ridwan belum bisa memastikan menentukan kapan akan menjawab surat yang dilayangkan DPRD. Sebab, untuk memutuskan pendapat hukum seperti itu membutuhkan waktu untuk menjawab dan menentukan undang-undang mana yang akan dipakai dalam pengangkatan Ahok. “Bisa jadi dalam sepekan, atau paling lama tiga bulan, tetapi nanti akan diputuskan,” kata Ridwan.

Namun, lanjut Ridwan jawaban kepada DPRD akan menjadi prioritas MA sesuai kebutuhan. Sebab, persoalan ini menyangkut pelantikan pejabat publik yang tak bisa ditunda-tunda. Mahkamah bisa saja mengeluarkan fatwa untuk menjawab persoalan hukum yang dialami DPRD DKI. “Bisa jadi jawabannya itu dalam bentuk fatwa, atau surat dari pimpinan MA,” ujar Ridwan.

DPRD juga meminta konsultasi kepada MA tentang mekanisme pengangkatan Wakil Gubernur DKI Jakarta. “Yang pasti keputusan permintaan (fatwa) dan konsultasi tergantung pimpinan MA setelah melalui beberapa rapat dan akan diputuskan pertimbangannya,” tegasnya.

Sebelumnya, DPRD DKI Jakarta meminta bantuan dan konsultasi kepada MA menyangkut pembahasan dan penetapan undang-undang yang digunakan untuk pengangkatan Ahok sebagai gubernur. Soalnya, dalam pembahasan pengangkatan Ahok, ada tiga undang-undang dijadikan acuan. Ketiga aturan itu adalah Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Wali Kota(Pilkada), UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 173 ayat (1) Perppu Pilkada menyebut gubernur, bupati, walikota yang berhalangan tetap, tidak serta merta (otomatis) digantikan oleh wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil walikota. Sedangkan, Pasal 174 ayat (4) Perppu Pilkada menyebutkan jika sisa masa jabatan gubernur yang berhenti lebih dari 18 bulan, maka pemilihan gubernur dilakukan melalui DPRD.

UU Pemprov DKI Jakarta sendiri tidak mengatur mekanisme penggantian gubernur atau walikota. Tetapi, mekanisme penggantian kepala daerah dab wakil kepala daerah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Misalnya, dalam Pasal 35 UU Pemda disebutkan apabila kepala daerah diberhentikan (berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap), maka wakil kepala daerah menggantikannya sebagai gubernur atau bupati/walikota.

Namun, ada anggapan, kedua undang-undang tersebut dianggap sudah tidak berlaku setelah terbitnya Perppu Pilkada.
Tags:

Berita Terkait