MUI Kritik Keras Pemohon JR Kawin Beda Agama
Utama

MUI Kritik Keras Pemohon JR Kawin Beda Agama

MUI minta MK menolak pengujian Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan ini.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Sidang lanjutan permohonan uji materi atau judicial review (JR) Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kembali digelar di gedung MK. Sidang kali ini, Mahkamah kembali mendengarkan keterangan sejumlah pihak terkait yaitu Majelis Ulama Indonesia, Nadhatul Ulama (NU), Perwalian Umat Budha Indonesia (Walubi), Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI). Sebelumnya, FPI dan Muhammadiyah juga sudah memberikan keterangan.

Dalam keterangannya, MUI mengkritik keras sejumlah dalil permohonan yang meminta agar negara membuka ruang warga negara yang hendak melakukan kawin beda agama. Para pemohon dinilai tidak memahami nilai historis dan filosofis lahirnya Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan itu. Karenanya, MUI meminta para pemohon banyak membaca buku atau referensi untuk memahami sejarah perumusan pasal itu.

“Kalau para pemohon membaca sejarah panjang perumusan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, MUI yakin permohonan ini tidak akan diajukan karena seluruh posita permohonan sudah menjadi bagian perdebatan panjang saat perumusan pasal itu,” ujar kuasa hukum MUI, Luthfie Hakim dalam sidang lanjutan pengujian Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan di ruang sidang MK, Rabu (5/11).

Luthfie mengungkapkan proses penyusunan RUU Perkawinan ini dimulai sejak tahun 1950 dan baru disahkan pada 2 Januari 1974 melalui perdebatan panjang dan melelahkan selama  bertahun-tahun dalam sidang-sidang parlemen. Misalnya, setelah mandeg-nya pembahasan RUU Pernikahan Umat Islam di parlemen pada 1958, kebuntuan dialami DPR-Gotong Royong (1967-1971) saat membahas RUU usulan pemerintah ini.

“Sebabnya tidak lain karena tidak bertemunya (pemikiran) paham Nasionalis Islami (Departemen Agama) dan paham Nasionalis Sekuler (Departemen Kehakiman),” papar Luthfie.

Singkat cerita, titik temu terjadi ketika Pangkopkamtib Jenderal Soemitro atas perintah Presiden Soeharto meminta melobi tokoh-tokoh Kristen dan Islam. Penyelesaian RUU Perkawinan ini mendapat titik terang setelah Ketua Majelis Syuro PPP KH Bisri Syamsuri dan Ketua Fraksi PPP KH Masjkur bertemu Presiden Soeharto.

“Lalu, saat Paripurna DPR akhir 1973, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro paling berjasa saat meyakinkan Fraksi Karya dan Fraksi PDI, dengan penegasan beliau kalau NKRI mau tetap utuh rumusan Pasal 2 ayat (1) harus diterima,” ujarnya mengutip pernyataan Soemitro kala itu.

MUI sangat menyayangkan pengakuan dan penghormatan negara terhadap keberadaan hukum agama di bidang hukum perkawinan dipandang negatif oleh para pemohon sebagai hal “memaksa” warga negara mematuhi hukum agama dan kepercayaan itu. “Ini sejalan dengan pandangan pemerintah yang menyebut Pasal 2 ayat (1) tidak dapat dimaknai negara ‘memaksa’ warga negaranya. Justru, pasal itu sejalan dengan Pasal 29 dan Pasal 28J UUD 1945.”

Para pemohon dinilai terlalu membesar-besarkan persoalan tanpa ada referensi yang jelas atau didukung data statistik yang akurat dan masif tentang seberapa besar tingkat perilaku menyimpang itu terjadi. “Argumentasi para pemohon Pasal 2 ayat (1) membuka peluang penyelundupan hukum lebih merupakan ketidaktaatan calon mempelai terhadap agama yang dipeluknya, bukan persoalan konstitusionalitas norma,” dalihnya.

MUI menuding para pemohon hadir dalam persidangan ini dengan maksud mengajak semua warga negara kembali dengan cara pandang kolonialis Belanda yang melihat perkawinan hanya dari sudut keperdataannya saja tanpa memperhatikan hukum agama. “Perkawinan beda agama ini, yang coba ‘dipromosikan’ para pemohon melalui pengujian pasal itu,” katanya.

Dia mengingatkan Indonesia memang telah mengadopsi Deklarasi Umum HAM (DUHAM), tetapi Indonesia bukanlah penganut HAM sebebas-bebasnya seperti diinginkan para pemohon. Sebab, bagaimanapun realitas sosial, religius, kultur Indonesia tidak sama dengan bangsa-bangsa penganut HAM bebas. Kalau kontruksi berpikir para pemohon atas dasar nilai-nilai HAM universal diterima, justru akan merendahkan posisi manusia.

Hal ini tidak ada bedanya dengan binatang yang hanya kawin dan melanjutkan keturunan atas dasar batas usia kawin, suka sama suka, atau kesepakatan seperti termuat dalam DUHAM. “Janganlah kita menghormati para penyusun HAM beserta derivatifnya yang tidak diketahui siapa mereka, agenda apa di balik ketentuan HAM itu yang tidak jarang ‘menabrak’ norma agama, khususnya Islam,” ujarnya mengingatkan.

Karenanya, Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan harus tetap dinyatakan konstitusional dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat karena sejalan dengan Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 29 UUD 1945. “Permohonan pemohon tidak berdasarkan hukum dan harus ditolak,” pintanya.

Menikah seiman
Ketua Bidang Ajaran Walubi, Suhadi Sendjaja mengatakan pada prinsipnya umat Budha melarang perkawinan di luar agama Budha atau memerintahkan umatnya kawin dengan yang seiman. Meski begitu, kalau umat Budha benar-benar mendapatkan jodoh dengan umat agama lain, umat Budha tidak bisa menghalangi. Hal ini berdasar pada ajaran karma yang menyatakan perkawinan dapat terjadi karena jodoh masa lampau tanpa memandang latar belakang agama.

Kemudian jika umat Budha berjodoh dengan agama lain, Budha tidak menerima dana yang disumbangkan dari umat agama lain. “Dalam analoginya, Buddha mengatakan sepasang manusia melangsungkan pernikahan karena adanya jodoh masa lampau, kuat sangat dalam. Ini prinsip dasar keyakinan agama Budha,” ujar Suhadi.

“Dalam kesempatan ini, Walubi tidak memberi pandangan hukum, tetapi lebih melihat sisi moral dan kebebasan beragama. Tentunya, komunitas Budha tetap akan mematuhi UUD 1945 dan UU Perkawinan.”

Sebelumnya, seorang mahasiswa dan empat alumnus FHUI mempersoalkan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Ketentuan itu, berimplikasi tidak sahnya perkawinan di luar hukum agama, sehingga mengandung unsur “pemaksaan” warga negara untuk mematuhi agama dan kepercayaannya di bidang perkawinan. Pemohon beralasan beberapa kasus kawin beda agama menimbulkan ekses penyelundupan hukum.

Alhasil, pasangan kawin beda agama kerap menyiasati berbagai cara agar perkawinan mereka sah di mata hukum, misalnya perkawinan di luar negeri, secara adat, atau pindah agama sesaat. Karenanya, ada permintaan agar MK membuat tafsir.
Tags:

Berita Terkait