Karyawan BUMN ‘Gugat’ UU PTUN
Berita

Karyawan BUMN ‘Gugat’ UU PTUN

Pemohon diminta mempertajam uraian pertentangan normanya dalam posita permohonan.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Pemohon Nico Indra Sakti, saat menyampaikan dalil-dalil permohonan Pengujian UU Peradilan Tata Usaha Negara (TUN), Selasa (4/11) di Ruang Sidang MK. Foto: Humas MK
Pemohon Nico Indra Sakti, saat menyampaikan dalil-dalil permohonan Pengujian UU Peradilan Tata Usaha Negara (TUN), Selasa (4/11) di Ruang Sidang MK. Foto: Humas MK
Tak puas dengan putusan PTUN, seorang karyawan BUMN Nico Indra Sakti mempersoalkan Pasal 2 huruf e, Pasal 62 ayat (3), (4), (5), (6) UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Sebab, ketentuan itu dianggap menghilangkan hak pemohon untuk mengajukan upaya hukum terhadap keputusan pejabat badan peradilan karena bukan dianggap objek TUN.

“Ketentuan itu telah menghalangi, membatasi, dan menghilangkan hak pemohon mengajukan upaya hukum menyangkut pemeriksaan sengketa keputusan TUN organ yudisial,” ujar Nico Indra Sakti dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang diketuai Wahidudin Adams di ruang sidang MK, Selasa (04/11).

Pasal 2 huruf e UU PTUN menegaskan: “Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini: e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Pasal 62 ayat (3) huruf a menyebutkan terhadap penetapan (permohonan tidak dapat diterima) seperti dimaksud ayat (1) dapat diajukan perlawanan kepada pengadilan dalam tenggang waktu empat belas hari setelah diucapkan. Ayat (5) menyebutkan jika perlawanan dikabulkan, penetapan itu dinyatakan gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa dan diputus. Ayat (6) Pasal ini menambahkan terhadap putusan perlawanan itu tidak dapat digunakan upaya hukum.

Nico menilai Pasal 2 huruf e tadi dapat disalahgunakan penyelenggara peradilan untuk melindungi keputusan Pejabat Tata Usaha Negara organ yudikatif yang illegal. Menurutnya, norma pasal itu secara formil telah melanggar asas kedayagunaan dan kehasilgunaan dan melanggar tujuan hukum yakni kepastian, keadilan, kemanfaatan hukum.

“Akibatnya, ketentuan itu disalahgunakan oleh PTUN untuk menggagalkan upaya pencari keadilan dalam mencari kebenaran materil,” ujar karyawan Bank Mandiri ini.

Dia menjelaskan pasal itu disalahgunakan untuk tidak menerima gugatan TUN yang dia ajukan terhadap keputusan Bawas MA (tergugat) terkait pengaduan atas tuduhan tindakan maladministrasi yang dilakukan Ketua PN Jakarta Selatan. Pasalnya, sang ketua PN itu menolak mengeksekusi putusan perdata yang sudah berkekuatan hukum tetap hanya atas dasar surat perjanjian Perdamaian dan melanggar Pasal 190 HIR menyangkut tanah warisan.

Alhasil, melalui putusan PTUN bernomor 114/G/2013/PTUN-JKT disebutkan keputusan TUN yang diterbitkan oleh Kepala Bawas MA adalah bukan merupakan kewenangan PTUN untuk mengadilinya. Sebab, objek sengketa ini menyangkut penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim seperti diatur dalam Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. “Norma pasal itu telah digunakan PTUN untuk tidak menerima gugatan dengan memanipulasi fakta hukum yang dialami pemohon,” kata Nico.

Karenanya, pemohon meminta MK membatalkan pasal-pasal itu karena bertentangan dengan UUD 1945. “Pasal-pasal itu tidak memberi manfaat lagi untuk melindungi kepentingan konstitusional pemohon, sehingga harus dibatalkan,” harapnya.

Menanggapi permohonan, anggota Majelis Panel Anwar Usman menilai materi permohonan lebih banyak menyangkut implementasi norma, bukan menyangkut persoalan konstitusional. “Pemohon sendiri juga mengakui, permohonan ini dianggap menyangkut implementasi norma. Tetapi, pandangan lain (konstitusionalitas norma) bisa dielaborasi lagi dalam permohonan, kasus konkritnya hanya sebagai pintu masuk saja,” saran Anwar.

Anggota panel lainnya, Muhammad Alim meminta agar struktur permohonan mengikuti standar baku yang berlaku di MK. Misalnya, diawali uraian legal standing (kedudukan hukum) sesuai Pasal 51 UU MK, alasan-alasan permohonan (posita), dan petitum (tuntutan permohonan).

“Kita tidak menguji kasus konkrit, kasusnya diurai hanya sebagai pintu masuk. Kita menguji norma undang-undang apakah bertentangan dengan UUD 1945? Ini harus dipertajam dalam uraian posita menyangkut pertentangan normanya,” pinta Alim.
Tags:

Berita Terkait