PBNU Minta MK Tolak Permohonan Kawin Beda Agama
Berita

PBNU Minta MK Tolak Permohonan Kawin Beda Agama

PGI menyarankan perlu dibuat regulasi/peraturan yang mengatur dan menfasilitasi perkawinan agama yang berbeda.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menolak tegas dilegalkannya perkawinan beda agama. Sebab, Islam melarang wanita muslimah menikah dengan laki-laki nonmuslim, atau sebaliknya laki-laki muslim menikah dengan wanita musyrik. Hal ini seperti ditegaskan dalam surat Al-Baqarah (2): 221 dan dan surat al-Mumtahanah (60): 10. Selain itu, pernikahan beda agama seringkali dijadikan cara untuk mengajak seseorang keluar dari agama asalnya.

Pernyataan itu disampaikan Rais Syuriyah PBNU Ahmad Ishomuddin saat memberi keterangan sebagai pihak terkait dalam sidang lanjutan pengujian Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dimohonkan seorang mahasiswa dan empat alumnus FHUI di ruang sidang MK, Rabu (22/10). Selain NU, Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), MUI, Walubi, pun memberi keterangan sebagai pihak terkait.

Ishomuddin mengakui terdapat sebagian ulama yang membolehkan adanya pernikahan beda agama ketika laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani: Katolik/Protestan).  Sebagian ulama membolehkan perkawinan ini dengan bersandarkan pada surat Al-Maidah (5): 5. Namun, kebolehan itu dimaksudkan menarik umat agama lain masuk Islam sesuai surat Ali Imran (3): 113 yang menyebut ahli kitab yang memeluk Islam.

“Tetapi, NU berpandangan perempuan muslimah hanya boleh dinikahkan dengan pria muslim karena seluruh ulama sepakat mengharamkan muslimah menikah dengan laki-laki nonmuslim. Demikian pula pria muslim hanya boleh menikah dengan wanita muslimah,” ujar Ishomuddin.

“Dengan beberapa alasan, kecil kemungkinan menarik wanita yang beragama Yahudi atau Nasrani masuk ke agama Islam. Masih banyak cara lain untuk mengajak orang masuk ke Islam,” dalihnya.  

Dia juga beralasan masih banyak wanita muslimah dalam jumlah yang sulit ditentukan di Indonesia ini untuk dinikahi oleh pria muslim. Selain itu, perkawinan muslim dengan wanita ahli kitab akan mengakibatkan mafsadat-nya lebih besar dalam kehidupan keluarga terutama menyangkut agama si anak. “Muslim lebih utama menghindari wanita nonmuslim,” paparnya.   

Atas dasar itu, menurutnya materi muatan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan sudah benar dan tidak perlu diubah karena sudah sesuai dengan ajaran Islam. Selain itu, pernikahan beda agama tidak bisa dilakukan secara Islam dan tidak bisa dicatatkan di Kantor Urusan Agama  (KUA). “Karenanya, PBNU memohon kepada hakim MK untuk tidak mengabulkan permohonan ini,” harapnya.

Melanggar HAM
Berbeda dengan NU, PGI menilai ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang melarang adanya perkawinan beda agama melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). PGI menganggap larangan tersebut telah mengabaikan hak seseorang untuk menikah dan berpotensi menimbulkan perilaku menyimpang dari moral, seperti hidup bersama tanpa perkawinan.

“Banyak pasangan yang beda agama terjebak dalam situasi yang tidak mereka kehendaki, tidak bermoral seperti hidup bersama tanpa menikah,” ujar anggota Komisi Hukum PGI Nikson Gans Lalu dalam persidangan.

Dia mengatakan umumnya pasangan pernikahan beda agama tidak dapat dicatatkan di kantor catatan sipil (KCS). “Pasal ini justru  membuat potensi penyimpangan moral dan spiritual karena banyaknya catatan sipil menolak menikahkan mereka,” kata dia.

Selanjutnya, Nikson mengakui gereja bukan merupakan entitas yang berdiri sendiri, namun harus patuh pada peraturan negara. Namun, hal itu bukan berarti gereja tidak diperbolehkan kritis terhadap kebijakan negara yang bersifat diskriminatif. Menurut Nikson, pasal itu  ditafsirkan secara sempit yang menimbulkan diskriminatif pada UU Perkawinan.

“Penerapan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan telah menyimpang dari rasa keadilan karena secara teologis orang yang berbeda agama pun seharusnya tidak boleh dilarang untuk menikah,” kata dia.

Nikson menambahkan lembaga catatan sipil seharusnya hanya bertugas melakukan pencatatan atas terjadinya pernikahan. Tetapi, pada faktanya lembaga ini melampaui wewenangnya dengan menolak pencatatan pernikahan beda agama. Artinya, lembaga ini telah mengintervensi keabsahan suatu perkawinan yang telah disahkan oleh agama.

“Ke depan, perlu dibuat regulasi/peraturan yang lebih realistis terhadap realitas kebhinekaan kita yang mengatur dan menfasilitasi perkawinan agama yang berbeda,” sarannya.  

Sebelumnya, seorang mahasiswa dan empat alumnus FHUI mempersoalkan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Ketentuan itu, berimplikasi tidak sahnya perkawinan di luar hukum agama, sehingga mengandung unsur “pemaksaan” warga negara untuk mematuhi agama dan kepercayaannya di bidang perkawinan. Pemohon beralasan beberapa kasus kawin beda agama menimbulkan ekses penyelundupan hukum.

Alhasil, pasangan kawin beda agama kerap menyiasati berbagai cara agar perkawinan mereka sah di mata hukum, misalnya perkawinan di luar negeri, secara adat, atau pindah agama sesaat. Karenanya, ada permintaan agar MK membuat tafsir. 
Tags: