Jadi Pengacara Berhijab, Ribet Gak Sih?
After Office

Jadi Pengacara Berhijab, Ribet Gak Sih?

Hijab bukan hambatan karier.

Oleh:
CR-18
Bacaan 2 Menit
Searah jarum jam: Febby M. Nelson, Fidila Yuni, Clara Chairunnisa Halimy, dan Amalia Nurul Rahma. Foto: Istimewa (Edit: RES)
Searah jarum jam: Febby M. Nelson, Fidila Yuni, Clara Chairunnisa Halimy, dan Amalia Nurul Rahma. Foto: Istimewa (Edit: RES)
Mengenakan jilbab atau hijab, bagi wanita adalah bagian dari upaya menjalankan syariat Islam. Namun, pada perkembangannya berhijab kini juga menjadi bagian dari gaya busana (fashion). Fenomena ini sering terlihat dalam lingkungan kerja, termasuk lingkungan kerja pengacara. Dengan mobilitas yang tinggi dan lingkup pergaulan internasional, mungkin banyak yang bertanya “ribet nggak sih menjadi pengacara berhijab?”

Fidila Yuni mengaku tidak menemui kesulitan meskipun dia berhijab. Junior Associate ini adalah satu-satunya pengacara berhijab di firma hukum tempat dia bekerja, Bagus Enrico & Partners. Selama kurang lebih setahun bekerja di Bagus Enrico & Partners, Fifi –panggilan akrabnya- mengaku tidak pernah mendapatkan klien yang keberatan terhadap hijab yang dikenakannya.

Sebaliknya, kata Fifi, dirinya justru pernah mengalami satu kejadian unik. Suatu ketika dia sedang rapat dengan klien, di saat waktu sholat menjelang berakhir, si klien mengusulkan rapat diskor untuk sholat. “Jadi, ketika sudah masuk sholat dan waktu sholat mau habis, mereka mengingatkan untuk break dan sholat dahulu.”

Berdasarkan pengalaman yang telah dilaluinya, Fifi meyakini bahwa hijab bukanlah hambatan karier. “Simpel, kalau seandainya aku dapat kerja tapi aku harus melepas hijab, berarti pekerjaan itu memang bukan buat aku,” ujarnya.

Amalia Nurul Rahma menuturkan kisah yang agak berbeda. Staf pengacara pada Lubis Ganie Surowidjojo (LGS) ini mengaku sempat was-was ketika melamar pekerjaan. Amalia khawatir LGS menerapkan kebijakan yang melarang karyawannya memakai jilbab. Untungnya, kekhawatiran Amalia tidak terjadi.

“Tetapi pas wawancara, ternyata santai aja dan nggak ada larangan untuk yang berhijab. Kantor sangat menghargai dan menghormati pilihan kita untuk berhijab kok,” kata Amalia kepada hukumonline.

Apa yang dialami Amalia serupa dengan Clara Chairun Halimy. Dia merasa bersyukur bekerja di Assegaf Hamzah & Partners (AHP). Clara merasa nyaman karena lingkungan kerja di AHP sangat mendukung kehidupan religius karyawannya.

“Berhijab atau tidak bukanlah masalah. Rekan kerja, rekan sejawat sesama lawyer, klien, dan kebanyakan rakyat Indonesia telah semakin pintar dan berpikir maju, dan mulai mengesampingkan SARA dan lebih menghormati kemampuan masing-masing orang,” paparnya.

Nyaman di lingkungan kerja ternyata berbeda ceritanya dalam kehidupan sosial. Clara mengaku pernah mendengar omongan negatif dari tetangga tentang dirinya yang berhijab tetapi seringkali pulang tengah malam, meskipun itu terkait pekerjaan. Omongan negatif itu tidak terlalu dipedulikan oleh Clara karena dia tahu apa yang dilakukannya bukan sesuatu yang ‘haram’.

Mengenakan hijab sejak kuliah, Febby Mutiara Nelson mengaku sempat khawatir ketika debutnya menjadi pengacara di Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum-Pilihan Penyelesaian Sengketa Fakultas Hukum Universitas Indonesia justru menangani kasus perceraian warga negara asing. Dia khawatir pengacara berhijab mendapat stigma buruk karena saat itu kasus Bom Bali belum lama berlalu. Kekhawatiran Febby ternyata tidak terbukti.

Menurut Febby, berhijab justru menguntungkan dalam hal berpakaian. Berhijab bagi Febby memudahkan dirinya untuk menyesuaikan penampilan. Ia tidak perlu repot lagi karena dengan bahan enak di badan dan warna yang cocok saja sudah cukup. Febby juga tidak perlu lagi ribet sering-sering merapikan rambut karena dengan berhijab, rambut tidak mudah berantakan.

“Kalau dengan pakaian berhijab itu malah lebih enak, karena dulu pas nggak berhijab mau pakai rok terlalu pendek, mikir nanti diliatin orang nggak, pakai rok panjang mikir ini gue kampungan nggak ya,” tuturnya.
Tags:

Berita Terkait