Menteri Agraria Ingin Persoalan Lahan Cepat Diselesaikan
Berita

Menteri Agraria Ingin Persoalan Lahan Cepat Diselesaikan

Mengoptimalkan dan membenahi regulasi yang ada, bukan membentuk baru.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Menteri Agraria dan Tata Ruang, Ferry Mursyidan Baldan. Foto: www.bpn.go.id
Menteri Agraria dan Tata Ruang, Ferry Mursyidan Baldan. Foto: www.bpn.go.id
Menteri Agraria dan Tata Ruang, Ferry Mursyidan Baldan, menginginkan agar persoalan lahan yang sering terjadi di berbagai tempat dapat diselesaikan dengan cepat. Ia menyatakan berkomitmen untuk mewujudkan hal itu sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya.

Ferry melihat selama ini peran kementeriannya yang sebelumnya bernama Badan Pertanahan Nasional (BPN) belum maksimal. Hanya terbatas mengurusi soal hilir pertanahan seperti pelepasan hak dan sertifikasi. Sebelum itu dilakukan, mestinya BPN berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga pemerintahan lain guna meminimalisasi tumpang tindih.

Mengacu konstitusi, UU No. 27 Tahun 2006 tentang Penataan Ruang dan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria tugas Kementerian Agraria juga menangani masalah perencanaan dan pembangunan. Ia mengimbau ketika ada proses pembangunan yang merugikan hak masyarakat terutama atas lahan, maka segera beri masukan kepada Kementerian Agraria.

Data seperti riwayat tanah sangat penting dalam menuntaskan persoalan agraria. Selama ini penuntasan sengketa tanah kerap terjebak pada formalitas atau kepemilikan sertifikat. Padahal, tidak sedikit masyarakat terutama di wilayah hukum adat yang sudah mengelola tanah secara turun temurun. Karena tidak mengantongi sertifikat, keberadaan mereka kerap tersingkirkan oleh korporasi yang sudah mengantongi izin pengelolaan lahan.

Menurut Ferry, pembenahan itu, termasuk pemetaan, akan menjadi program Kementerian Agraria dan Tata Ruang dalam lima tahun ke depan. Ia berharap tumpang tindih izin di atas tanah bisa dikurangi.

Ferry menekankan dalam membenahi kondisi itu tidak perlu menerbitkan regulasi baru karena yang ada sudah cukup memadai. Tinggal bagaimana mengoptimalkan peraturan yang ada. Jika ada peraturan yang tidak sinkron atau saling bertentangan, maka harus segera dituntaskan. “Kerja-kerja yang kita lakukan harus simultan dan jangan terlalu banyak konsep atau gagasan. Langsung saja bertindak dan mencari solusi bagaimana agar masalah yang dihadapi masyarakat dilapangan bisa dituntaskan dengan cepat,” kata Ferry usai berpidato dalam konferensi Pemajuan Hak atas Pangan, Hak Petani dan Masyarakat Pedesaan yang digelar IHCS di Jakarta, Kamis (13/11).

Ditambahkan Ferry, Kementerian Agraria dan Tata Ruang akan merevisi izin perusahaan yang menelantarkan lahan negara yang dikelolanya. Ferry pun menyebut landasan hukumnya sedang dirancang, sehingga tanah yang ditelantarkan itu dapat langsung dipasangi plang yang isinya menyebut “Milik Kementerian Agraria dan Tata Ruang.” Sehingga dapat dimasukan dalam bank tanah.

Kebijakan bank tanah yang sedang direncanakan itu menurut Ferry bagian dari upaya pemerintah menyiapkan lahan untuk pertanian menuju swasembada pangan. Ia menyebut ketika sebidang tanah diberikan kepada petani tak bertanah untuk dikelola, maka dalam izin yang diberikan nanti tercantum kewajiban agar lahan itu digunakan untuk pertanian. Sekalipun tanah itu nantinya diwariskan oleh petani tersebut kepada anaknya. Itu juga berlaku untuk distribusi tanah untuk nelayan dan warga di perbatasan.

Dengan kebijakan itu diharapkan tanah tidak lagi dianggap sebagai sumber konflik, tapi rekonsiliasi sosial dan kesejahteraan. Ferry mengaku tidak ingin petani terancam di lahan pertaniannya. Karena itu, dalam penyediaan lahan untuk kepentingan umum, pemindahan warga yang ada di lokasi saja tidak cukup. Tapi harus memperhatikan nilai-nilai sosialnya. “Itu yang selama ini kurang diperhatikan,” ujarnya.

Direktur Eksekutif IHCS, Gunawan, mengatakan salah satu regulasi yang mengatur tentang tanah terlantar yaitu PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Ia pun yakin BPN punya data hasil identifikasi tanah-tanah terlantar diberbagai wilayah. Termasuk tanah yang ditelantarkan oleh perusahaan yang mengantongi izin.

Oleh karenanya Gunawan mengimbau agar Menteri Agraria dan Tata Ruang mengecek kembali data tanah terlantar tersebut. “Perlu dicek apakah tanah terlantar itu sudah diperbaiki kondisinya oleh perusahaan atau belum,” tukasnya.

Menurut Gunawan banyak tanah terlantar yang bisa didistribusikan kepada petani yang tidak memiliki tanah. Misalnya, ada tanah negara yang dikelola perusahaan lewat izin hak guna usaha (HGU) dan bangunan (HGB) tapi telah habis masa berlakunya.

Gunawan melanjutkan, pembatasan area pertambangan sebagaimana diatur UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara juga menghasilkan lahan yang bisa didistribusikan kepada masyarakat. Misalnya, dalam kontrak karya, sebuah perusahaan tambang mengelola dua hektar area pertambangan.

Tapi, Gunawan menandaskan, adanya pembatasan area pertambangan sebagaimana amanat UU Minerba itu memangkas lahan yang digarap perusahaan tambang tersebut. Lahan itu yang kemudian bisa didistribusikan. “Ada banyak tanah negara yang bisa diredistribusikan kepada rakyat,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait