Chandra Hamzah tentang ‘Bukti Permulaan yang Cukup’
Resensi

Chandra Hamzah tentang ‘Bukti Permulaan yang Cukup’

Dalam hukum acara pidana dikenal frasa ‘bukti permulaan yang cukup’. Buku ini mencoba memberikan penjelasan kembali.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Sebagai orang yang pernah menjadi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Chandra M. Hamzah mungkin akrab dengan proses pengumpulan bukti. Penetapan status tersangka ditentukan bukti permulaan yang ditemukan. Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK menegaskan bukti permulaan yang cukup telah ada apabila ditemukan minimal dua alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun secara elektronik dan optik.

Lepas dari tugas-tugas KPK, Chandra M. Hamzah menyusun sebuah buku tentang bukti permulaan yang cukup. Dibantu peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Chandra mencoba membuat penjelasan kembali tentang apa yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup. Bukti permulaan yang cukup merupakan konsep elementer dalam proses pidana (hal. 19). Sebelumnya PSHK sudah menerbitkan penjelasan hukum tentang klausula baku.

Penjelasan Pasal 17 KUHAP sebenarnya sudah memberikan definisi. Bukti permulaan yang cukup ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai Pasal 1 angka 14 KUHAP. Pasal ini menentukan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada seseorang yang betul-betul melakukan tindak pidana.

Bukti permulaan yang cukup hanya dikenal dan hanya digunakan dalam proses penyelidikan dan/atau penyidikan. Karena itu bukti permulaan yang cukup dapat terdiri atas keterangan (dalam proses penyelidikan) keterangan saksi (penyidikan), keterangan ahli (penyidikan), dan barang bukti (penyelidikan dan penyidikan). Buku ini dengan tegas menyebut laporan polisi sebagai salah satu jenis bukti permulaan yang cukup tidak dapat dipertahankan lagi karena sangat dimungkinkan laporan polisi bersifat testimonium de auditu dan terkendala asas unus testis nullus testis (hal. 18).

Doktrin yang dikutip dalam buku ini menegaskan bahwa standar bukti permulaan yang cukup adalah dua alat bukti. Tetapi dalam praktek, khususnya putusan pengadilan, syarat minimal itu tak selalu diterima. Kini, bukti permulaan dan bukti permulaan yang cukup sedang diuji di Mahkamah Konstitusi.

JudulPenjelasan Hukum (Restatement) tentang Bukti Permulaan yang Cukup
Penulis Chandra M. Hamzah
Editor Hasril Hertanto
Penerbit Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta
Cet-1 2014
Halaman vii + 100

Kesalahpahaman sering terjadi ketika mencampuradukkan antara ‘bukti permulaan yang cukup’ dan ‘bukti yang cukup’. Pendekatan fungsi bisa digunakan untuk melihat pada kualitas alat bukti, bukan pada kuantitas alat bukti semata. Sayang, penelitian yang dilakukan dalam rangka penyusnan buku ini belum berhasil menemukan standar kualitatif yang bisa digunakan mengukur gradasi konsep ‘bukti permulaan yang cukup’ dan ‘bukti yang cukup’. Tapi dalam perkara praperadilan pengadilan sudah berkali-kali mencoba menggunakan pendekatan kualitatif (hal. 47).

Ada beberapa kesalahan kecil yang agak mengganggu. Judul misalnya. Pada cover depan tertulis ‘Penjelasan Hukum tentang Bukti Permulaan yang Cukup’. Sebaliknya pada cover dalam tertulis ‘Penjelasan Hukum (Restatement) Bukti Permulaan yang Cukup’. Lalu pada keterangan buku (hal. ii) tertulis ‘Penjelasan Hukum (Restatement) tentang Bukti Permulaan yang Cukup’.

Kesalahan kecil lain yang mengganggu adalah penyebutan penyelidikan untuk penyidikan, seperti terlihat pada baris kedelapan halaman 18. Tertulis ‘penyelidikan dan/atau penyelidikan’, padahal maksudnya ‘penyelidikan dan/atau penyidikan’. Tentu saja, karena menurut hukum status kedua istilah itu berbeda, maka kesalahan penyebutan bisa menimbulkan kesalahpahaman.

Meskipun demikian, membaca buku ini tetap bisa dijadikan pijakan untuk lebih memahami makna dan cakupan ‘bukti permulaan yang cukup’. Frasa akan tetap menjadi perdebatan dalam hukum acara pidana, terutama dalam praktek penegakan hukum. Upaya penerbitan kajian-kajian restatement yang dilakukan PSHK patut diapresiasi, dan dicoba untuk tema-tema yang lain.

Selamat membaca…
Tags: