Pemerintah-Swasta Harus Kolaborasi Cegah Gratifikasi
Berita

Pemerintah-Swasta Harus Kolaborasi Cegah Gratifikasi

Selain pemerintah, swasta juga perlu menerapkan tata kelola organisasi yang baik yang mengenal pengelolaan terhadap gratifikasi.

Oleh:
YOZ
Bacaan 2 Menit
Acara
Acara "Forum Pemerintah dan Swasta dalam Manajemen Gratifikasi", Rabu (26/11). Foto: RES
Indonesia dinilai belum memiliki bentuk pencegahan gratifikasi bersama yang dikelola antara pemerintah dan swasta. Padahal, pengelolaan bersama gratifikasi nasional antara pemerintah dan swasta dapat mencegah hadirnya gratifikasi tidak netral. Hal ini disampaikan Executive Board Transparency International Indonesia (TII) Natalia Soebagjo, dalam siaran pers yang diterima hukumonline, Rabu (26/11).

“Gratifikasi merupakan celah nyata bagi hadirnya konflik kepentingan dan perlu mendapatkan perhatian pencegahan serius dari semua pihak, tidak hanya pemerintah namun juga swasta,” kata Natalia.

Menurut Natalia, selama ini pengelolaan gratifikasi nasional hanya ditempuh melalui KPK. Itupun hanya bagi gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri pemerintah. Kewajiban tersebut tertuang dari keberadaan Pasal 12B dan 12C UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999, dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Peneliti tata kelola ekonomi TII Teguh Sudarmanto menambahkan, selain pemerintah, swasta juga perlu menerapkan tata kelola organisasi yang baik yang mengenal pengelolaan terhadap gratifikasi. Tidak hanya penerimaan, tapi juga pemberian gratifikasi. Apabila ini menjadi perhatian bersama secara nasional, pemberian gratifikasi tidak netral akan menjadi lebih mudah dideteksi.

“Organisasi sebagai pelaksana dan penanggungjawab tata kelola di organisasi tersebut diharapkan juga akan menjadi lebih perhatian terhadap apa yang dilakukan oleh pegawai internal mereka,” ujarnya.

Menurut Teguh, di banyak negara, gratifikasi menjadi salah satu hal yang dianggap lumrah. Namun, tidak sedikit pula yang memberikan batasan terhadap gratifikasi sebagai bentuk pengelolaan agar gratifikasi tidak mengarah menjadi benturan konflik kepentingan.

Berbagai desakan untuk mengamanatkan dimensi pencegahan yang disalurkan dalam bentuk pengelolaan gratifikasi, baik oleh organisasi pemerintah maupun swasta, tidak hanya menjadi wacana di Indonesia. Di level internasional, pemberantasan korupsi sudah sedemikian merasuk pada aspek pencegahan yang dapat diinisiasi melalui pemanfaatan tata kelola organisasi.

“Beberapa manfaat yang dapat dipetik adalah meningkatnya kepercayaan publik dan peningkatan kemampuan organisasi untuk meminimalkan risiko konflik kepentingan,” ujar Teguh.

Dia melanjutkan, pengelolaan gratifikasi memerlukan penguatan komitmen internal, komitmen pihak ketiga, dan deteksi terhadap pelanggaran pengelolaan gratifikasi yang dilakukan di internal dan pihak ketiga organisasi. Deteksi terhadap pelanggaran dapat disokong dengan keberadaan sistem pelaporan pelanggaran, sistem pelaporan aset dan harta kekayaan, pencatatan yang akuntabel, dan penguatan fungsi kepatuhan.

Selain deklarasi komitmen untuk mengelola gratifikasi, organisasi baik dari pemerintah dan swasta wajib mengembangkan perencanaan, implementasi, sampai pengawasan terhadap pelaksanaan komitmen.

“Tidak cukup sampai pada tahapan pimpinan organisasi menyatakan akan mengendalikan gratifikasi di organisasinya, tapi harus sampai pada tahapan membentuk sistem pengendalian yang efektif dan efisien di organisasi,” katanya.

Pengembangan dimensi pencegahan gratifikasi yang diinjeksikan dalam tata kelola organisasi tidak hanya sampai di situ. Menurut Teguh, diperlukan pula pengawasan pelaksanaan pengendalian gratifikasi yang baik yang tidak hanya melibatkan internal organisasi, akan tetapi juga dari eksternal organisasi sehingga publikasi laporan kinerja organisasi terkait pengelolaan gratifikasi kepada masyarakat luas juga perlu dilakukan.

“Bisa masyarakat luas, di mana mereka dapat menjadi detektor handal bagi adanya pelanggaran, dan juga yang terpenting adalah tindak-lanjut terhadap pelaporan-pelaporan pelanggaran,” lanjutnya.

Teguh mengatakan, pemerintah dan swasta perlu duduk bersama untuk memperkuat strategi nasional menciptakan tata kelola organisasi yang baik bagi pengelolaan gratifikasi. Dimensi pencegahan yang dimiliki oleh pengelolaan gratifikasi perlu ditanggapi secara positif dengan mengembangkan kerangka pengelolaannya secara nasional.

Untuk itu, sambung Teguh, rekomendasi dan langkah aksi bersama perlu dirumuskan. Penguatan perlu dilakukan agar tidak hanya penerimaan gratifikasi yang dilaporkan kepada KPK saja yang dapat dilakukan. Simpul-simpul penguatan komitmen pengelolaan gratifikasi yang dapat diinisiasi oleh swasta juga perlu mendapatkan tempat sebagai sebuah strategi gerakan nasional yang dirancang bersama-sama.

“Harapannya, gerakan nasional ini dapat dijalankan dalam sebuah forum bersama, yang dilakukan secara berkala, untuk merumuskan dan menghidupkan strategi-strategi ampuh terukur yang dapat dicapai bersama-sama,” pungkas Teguh.
Tags:

Berita Terkait