MK Kukuhkan Larangan Ekspor Bijih Ore
Berita

MK Kukuhkan Larangan Ekspor Bijih Ore

Pemohon berharap pemerintah dapat membuat peraturan pemerintah atau menteri yang selaras dengan nilai filosofis UU Minerba ini.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Panitera MK Kasianur Sidauruk saat memberikan berita salinan putusan kepada kuasa hukum pemohon pengujian UU Minerba, Rabu (3/12). Foto: Humas MK
Panitera MK Kasianur Sidauruk saat memberikan berita salinan putusan kepada kuasa hukum pemohon pengujian UU Minerba, Rabu (3/12). Foto: Humas MK
Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) menolak pengujian Pasal 102 dan Pasal 103 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang diajukan sejumlah perusahaan tambang. Mahkamah menganggap ketentuan itu justru untuk melindungi sumber daya mineral dan batu bara, sehingga sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945.

“Menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Majelis MK, Hamdan Zoelva saat membacakan amar putusan bernomor   

Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) dan sembilan perusahaan tambang memohon pengujian Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba. Mereka menilai implementasi kedua pasal itu ditafsirkan pemerintah sebagai larangan ekspor bijih ore (bauksit) sejak terbitnya Permen ESDM No. 1 Tahun 2014 tanggal 12 Januari 2014 yang mengakibatkan perusahaan rugi/bangkrut, melakukan PHK, dan efisiensi kegiatan usaha.

Pemaknaan kedua pasal itu yang melarang ekspor biji ore bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Padahal, kedua pasal itu jelas hanya mengatur peningkatan nilai tambah dan pemurnian hasil tambang, bukan larangan ekspor biji ore. Bagi pemerintah, kalau penafsiran kedua pasal itu dimaknai sebagai larangan ekspor biji ore, saat ini aturan tersebut tidak bisa dilaksanakan. Sebab, kondisi saat ini tak banyak perusahaan tambang yang bisa melakukan pemurnian di dalam negeri, khususnya produk bauksit.

Pemohon meminta MK menyatakan kedua pasal itu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat bila dimaknai adanya larangan terhadap ekspor biji ore.

Mahkamah menyatakan Pasal 102 dan Pasal 103 yang didalilkan para pemohon sudah cukup jelas, sehingga pasal tersebut tidak perlu ditafsirkan lain. Namun, regulasi Pemerintah – dalam hal ini Menteri ESDM - yang melarang ekspor bijih (raw material atau ore) berdasarkan nalar hukum dapat dibenarkan.

Pertimbangannya untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan batubara yang dihasilkan dengan mengolah dan pemurnian hasil tambang di dalam negeri. Hal ini merupakan kewenangan pemerintah yang harus dilaksanakan oleh pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) ketika seseorang memutuskan untuk berusaha di bidang pertambangan mineral dan batubara.

“Regulasi yang melarang ekspor bijih ore adalah wajar dan benar karena pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan dalam negeri dapat dilakukan manakala bijih ore tersedia di dalam negeri,” ujar Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi saat membacakan pertimbangan hukumnya.

Menurut Mahkamah, PP No. 23 Tahun 2010, Permen ESDM No. 7 Tahun 2012, Permen ESDM No. 20 Tahun 2013, PP No. 1 Tahun 2014 dan Permen ESDM No. 1 Tahun 2014 merupakan implementasi Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba. Ketentuan itu mewajibkan pemegang IUP atau IUPK mengolah dan pemurnian di dalam negeri dengan membangun smelter (pemurnian) atau bergabung perusahaan lain dalam negeri yang memiliki smelter.

“Tidak ada permasalahan konstitusional dengan norma tersebut. Hal itu diakui sendiri para pemohon dalam permohonannya. Selain terdapat pertentangan antara dalil yang satu dengan dalil lain, permasalahan ini sebenarnya bukan kewenangan Mahkamah karena berkenaan dengan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.”

Dalam pertimbangan lain, Mahkamah menambahkan PHK tidak akan terjadi apabila pemegang IUP dan IUPK (perusahaan tambang) sejak awal berkomitmen kuat melaksanakan kebijakan peningkatan nilai tambah melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian tersebut. Faktanya, hal itu tidak dilakukan dengan dalih biaya terlalu mahal membangun smelter.

“Kebijakan negara melalui Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba ini justru dalam rangka memenuhi amanat Pasal 33 UUD 1945. Sebab, dengan melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri akan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia.”

Salah satu pemohon, Direktur Eksekutif Apemindo Ladjiman Damanik menyatakan suka atau tidak suka harus menerima putusan MK itu. “Kita terpaksa legowo, kita akan laksanakan apa yang sudah disepakati bersama,” ujar Ladjiman saat dihubungi.  

Meski begitu, dia berharap pemerintah dapat membuat peraturan pemerintah atau menteri yang selaras dengan nilai filosofis UU Minerba ini terkait peningkatan nilai tambah terhadap hasil tambang dalam negeri. “Filosofi UU Minerba, peningkatan nilai tambah dan perubahan rezim kontrak menjadi perizinan itu saja,” harapnya.  
Tags:

Berita Terkait