Jokowi: Tidak Ada Grasi untuk Terpidana Narkoba
Berita

Jokowi: Tidak Ada Grasi untuk Terpidana Narkoba

NU mendukung sikap Presiden Jokowi.

Oleh:
RZK/ANT
Bacaan 2 Menit
Presiden Jokowi memberikan kuliah umum di Kampus UGM, Selasa (9/12). Foto: Setkab RI
Presiden Jokowi memberikan kuliah umum di Kampus UGM, Selasa (9/12). Foto: Setkab RI
Di hadapan ratusan orang di Gedung Senat, Universitas Gadjah Mada, Selasa (9/12), Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan keprihatinannya terhadap bahaya narkoba yang terus merajalela di Indonesia. Jokowi mengaku mendapat laporan bahwa 40-50 orang meninggal dunia per hari gara-gara narkoba. Atas dasar itu, Jokowi menyebut kondisinya sudah ‘darurat narkoba’.

Bahaya narkoba, kata Jokowi, telah merasuk kemana-mana. Mulai dari institusi pemerintahan, swasta, dan bahkan kampus. Jokowi mengingatkan bahwa kampus kini juga menjadi tempat peredaran narkoba. Makanya, dia mewanti-wanti para mahasiswa-mahasiswi UGM agar selalu mewaspadai bahaya narkoba.

“Kalian (mahasiswa-mahasiswi UGM) juga harus hati-hati karena narkoba juga masuk ke kampus-kampus,” ujar Jokowi yang kebetulan juga alumnus UGM, saat menyampaikan kuliah umum di Kampus UGM.

Menyadari betapa bahayanya narkoba, Jokowi pun bertekad tidak akan memberikan grasi kepada terpidana mati kasus narkoba. Dikatakan Jokowi, saat ini permohonan grasi yang diajukan terpidana kasus narkoba bertumpuk di kantor Sekretariat Negara, bertahun-tahun menunggu jawaban.

“Saya mau bertanya kepada anda semua, apa yang harus saya lakukan (terhadap permohonan grasi)?” tanya Jokowi.

Tanpa menunggu jawaban atas pertanyaan yang dia lontarkan, Jokowi langsung menegaskan sikapnya untuk tidak akan mengabulkan permohonan grasi dari terpidana kasus narkoba. Dia mengatakan terpidana kasus narkoba, khususnya pengedar, harus diberi hukuman berat agar memberikan efek jera.

“Tidak ada ampun untuk masalah ini, ini harus dihentikan, tidak bisa dibiarkan. Ini akan menjadi shock therapy,” kata Jokowi yang langsung disambut tepuk tangan hadirin yang menyaksikan kuliah umum.

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendukung kebijakan Presiden Jokowi untuk tidak memberikan grasi kepada pengedar narkoba yang menjadi terpidana mati. Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siroj mengatakan sudah seharusnya Pemerintah mengambil sikap tegas untuk pelaku kejahatan berat, salah satunya pelaku peredaran narkoba.

"Seperti dikatakan dalam Al Quran, barang siapa melakukan kejahatan yang mengakibatkan rusaknya peradaban manusia, menghancurkan Indonesia, hukumannya adalah dibunuh, disalib, dipotong dua tangan dan kakinya, atau diasingkan," katanya.

Profesor bidang tasawuf ini menjelaskan, dalam kitab Ihya' Ulumuddin, Imam Al Ghozali menyebutkan ada empat tingkatan pelaku kejahatan. Pertama, 'Ashin, yaitu pelaku kejahatan karena pengaruh atau ajakan orang lain, yang karena kejahatannya dihukum peringatan.

Kedua, Murtakib, yaitu pelaku kejahatan yang meski sudah mendapatkan peringatan kembali melakukannya di lain waktu dan layak diperingatkan secara tegas. Ketiga, Fasiq, yang karena kejahatannya layak mendapatkan hukuman.

"Dan keempat adalah Syirrir. Yang masuk kategori ini seperti pengedar narkoba, bandar, bahkan pemilik pabriknya. Ini harus dihukum seberat-beratnya," kata Said Aqil.

Terkait dengan adanya kelompok yang berpendapat bahwa hukuman mati merupakan pelanggaran HAM, Said Aqil tegas menolak. Menurut dia, kalau mau adil maka kematian pengguna narkoba juga harus dianggap sebagai korban pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pengedar, bandar, dan pemilik pabrik obat-obatan terlarang.

"Mereka (pengedar, bandar, dan pemilik pabrik narkoba) sudah terlebih dahulu melanggar HAM, dan tidak ada yang memprotesnya," katanya. 
Tags:

Berita Terkait