Ketua KPK: Korupsi Ternyata Meregenerasi
Hari Antikorupsi Internasional

Ketua KPK: Korupsi Ternyata Meregenerasi

Banyak pelaku korupsi masih berusia muda atau dilakukan oleh orang-orang yang memiliki hubungan keluarga.

Oleh:
RZK
Bacaan 2 Menit
Ketua KPK Abraham Samad (paling kiri) dalam seminar Festival Antikorupsi 2014, Yogyakarta, Selasa (9/12). Foto: RZK
Ketua KPK Abraham Samad (paling kiri) dalam seminar Festival Antikorupsi 2014, Yogyakarta, Selasa (9/12). Foto: RZK
Lebih dari satu dasawarsa berdiri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil mengidentifikasi fenomena menarik terkait perkembangan tindak pidana korupsi di Indonesia. Ketua KPK Abraham Samad mengatakan saat ini banyak pelaku tindak pidana korupsi yang berusia muda.

“Banyak pelaku korupsi yang usianya masih muda-muda, ada Angelina Sondakh (terpidana kasus korupsi pembahasan anggaran Kemendiknas dan Kemenpora, red),” ujar Abraham dalam acara seminar “Saya Perempuan Antikorupsi” di Kampus Universitas Gadjah Mada, Selasa (9/12).

Angelina Sondakh memang terbilang masih muda. Mantan Putri Indonesia itu kelahiran 28 Desember 1977, yang berarti usianya baru sekitar 37 tahun.  

Dari fenomena ini, Abraham menyimpulkan bahwa korupsi ternyata mengalami regenerasi. Sebelumnya, KPK berpandangan pelaku tindak pidana korupsi adalah kalangan yang sudah mapan secara usia maupun materi. Ternyata, perkembangan beberapa tahun belakangan ini menunjukkan fakta pelaku korupsi tidak selalu dari kalangan tua.

Selain Angelina, Abraham menyodorkan contoh kasus lain yang menunjukkan adanya regenerasi korupsi. Kasus itu adalah korupsi pengadaan ayat suci al Quran di Kementerian Agama. Kasus yang cukup mengejutkan publik pada tahun 2012 itu melibatkan ayah dan anak, mantan Anggota DPR Zulkarnaen Djabar dan Dendy Prasetya.    

Menurut Abraham, fenomena ini dimungkinkan terjadi karena ada yang salah pada sistem pendidikan formal. Di Indonesia, sistem pendidikan formal terlalu menekankan pada aspek kognitif (berdasar kepada pengetahuan faktual yang empiris, KBBI- red). Makanya, kata Abraham, tidak heran jika siswa sekolah Indonesia mampu berprestasi dalam ajang olimpiade yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan.

Lantaran memprioritaskan aspek kognitif, sistem pendidikan Indonesia justru melupakan tujuan esensial dari pendidikan itu sendiri yakni pembentukan karakter. Abraham menilai sistem pendidikan Indonesia belum mampu menciptakan siswa-siswa yang memiliki karakter kuat sehingga rentan tergoda perilaku korupsi.

“Kita mungkin bangga, anak-anak Indonesia bisa juara olimpiade, tetapi di balik itu mungkin karakter mereka rapuh,” kata Abraham.

Sayangnya, sistem pendidikan informal juga tidak mampu menopang kelemahan sistem pendidikan formal dalam hal pembentukan karakter. Secara khusus, Abraham menyoroti sistem pendidikan informal dalam bentuk lingkungan keluarga. Dia menilai fenomena korupsi yang meregenarasi juga disebabkan oleh lingkungan keluarga yang gagal membentuk karakter anak yang kuat.

“Tanpa disadari keluarga memberi peran membentuk karakter anak yang tidak terlalu kuat,” ujarnya prihatin.

Dari ketidakmampuan lingkungan keluarga ini akhirnya mendorong anak-anak lebih percaya pada peer group (kelompok)-nya sendiri. Orang tua, kata Abraham, bukan lagi menjadi panutan anak-anak. “Ini pertanda bahaya,” imbuhnya.

Menyikapi kondisi ini, Abraham mengatakan KPK tengah intens mengembangkan sistem pendidikan nilai-nilai antikorupsi berbasis keluarga. Langkah ini ditempuh karena KPK menyadari betapa pentingnya keluarga dalam membentuk karakter anak-anak agar mereka tidak rentan berprilaku korupsi.

Putri Indonesia 2014, Elvira Devinamira mengatakan menanamkan nilai-nilai antikorupsi memang penting untuk diberikan sejak dini. Menurut Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Airlangga ini, kuncinya adalah kejujuran.

“Jujur itu ilmu tingkat dewa karena belajarnya seumur hidup, latihannya setiap hari, dan ujiannya suka mendadak,” papar Elvira.
Tags:

Berita Terkait