Penyelesaian Konflik SDA di Luar Pengadilan Bisa Efektif
Berita

Penyelesaian Konflik SDA di Luar Pengadilan Bisa Efektif

Kebanyakan konflik sumber daya alam adalah manifestasi dari masalah sosial dan ekonomi.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Penyelesaian Konflik SDA di Luar Pengadilan Bisa Efektif
Hukumonline
Konflik yang terjadi akibat pengelolaan sumberdaya alam seringkali sulit diselesaikan. Pasalnya, konflik tersebut acapkali melibatkan beragam pemangku kepentingan, beberapa yurisdiksi politik, dan konteks sosial. Masalah kepemimpinan juga menjadi tantangan mendasar dalam penyelesaian konflik sumber daya alam.

Hal ini disampaikan Larry A Fisher, Guru Besar Konflik dan Mediasi di Bidang Lingkungan Universitas Arizona, AS, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (16/12).

Larry mengatakan,sesungguhnya kebanyakan konflik sumber daya alam adalah manifestasi dari masalah sosial dan ekonomi.“Pendapatan per kapita, tingkat pembangunan ekonomi dan struktur ekonomi adalah faktor penyebab utama. Komposisi etnis dan agama juga penting,” ujarnya.

Berdasarkan hasil kajiannya, Larry menyimpulkan bahwa kelompok etnis yang menyumbang 45-90% populasi penduduk memiliki risiko pemantik konflik yang lebih besar. Ia mengamati bahwa kelompok mayoritas sering menyebabkan kekerasan, pemberontakan dan perpindahan penduduk. Menurut Larry, risiko tersebut bisa dikurangi dengan adanya reformasi politik dan sosial yang mendasar.

Larry menekankan, pemahaman terhadap dinamika kekuasaan yang memicu konflik sumber daya alam sangat penting. Ia mengungkapkan bahwa hal itu merupakan dasar perumusan strategi yang tepat untuk resolusi. Terlebih lagi, di negara berkembang ia mendapati bahwa banyak mispersepsi pembuat kebijakan terhadap sumber-sumber dan akses ke sumber daya alam.

“Tentu saja ini harus berubah. Sebab, kita membutuhkan strategi nyata untuk menyeimbangkan wacana dan hubungan,” katanya.

Ia memaparkan bahwa strategi penyelesaian konflik seharusnya memikirkan akses bagi masyarakat lokal terhadap keadilan. Menurut pengalamannya selama 18 penelitian di area konservasi Riung, Flores, NTT, kesempatan masyarakat lokal untuk ikut dalam negosiasi cukup terbatas. Sementara itu, negosiasi baru bisa berhasil jika ada representasi yang memadai.

“Khususnya masyarakat miskin dan terpinggirkan yang kepentingannya sangat penting untuk mencapai keputusan abadi,” tegasnya.

Kawasan Riung  secara sepihak oleh pemerintah ditetapkan menjadi kawasan lindung sejak 1983, diubah dan diperbaharui pada 1999. Petani dibatasi mengelola lahan karena sebagian besar berstatus hutan lindung, sementara hutan-hutan adat mereka diklaim sebagai hutan negara.

Akibatnya, mereka tak bisa melanjutkan kegiatan perekonomian sehari-hari yang utamanya dari bercocok tanam. Sementara itu, perusahaan tambang justru mendapat kemudahan izin menguasai ribuan hektar lahan. Muncul kemudian penolakan-penolakan yang mencuat dalam banyak letupan konflik beraroma kekerasan.

Masalah peraturan perundang-undangan, kebijakan dan supremasi hukum juga digarisbawahi oleh Larry. Ia mengingatkan bahwa permasalahan legal terkait erat dengan peran mediator dalam mendesain proses dan memberi dukungan terhadap partisipasi masyarakat lokal. Sebab, mediator yang independen dan dukungan peraturan akan menciptakan peluang penyelesaian sengketa yang lebih netral.

“Banyak dari upaya ini termasuk inisiatif eksplisit untuk membangun kapasitas lokal sehingga kelompok-kelompok marjinal dapat berpartisipasi secara lebih efektif,” tambah Larry.

Dari keterlibatannya dalam mediasi konflik area konservasi Riung, Larry mengatakan bahwa banyak pelajaran berharga yang dia dapat. Menurutnya, hal itu penting untuk dasar penyelesaian konflik sumber daya alam lainnya di Indonesia. Bagaimanapun, Larry menekankan pentingnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

“Penyelesaian konflik di Riung membuktikan bahwa jalur di luar pengadilan bisa cukup efektif,” katanya.

Namun, ia mengatakan bahwa usaha penyelesaian konflik di Riung memang agak ambisius. Meski demikian, banyak pihak yang memuji prosedur inovatif yang diimplementasikan di sana. Dari pengalaman itu, menurut Larry, aspek penting yang harus selalu diperhatikan adalah akuntabilitas dan prosedur pemantauan berkala.

“Ini hanyalah awal dari upaya jangka panjang untuk mencapai perubahan yang diperlukan untuk menyelesaikan konflik terkait sumber daya alam yang kompleks,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait