Kemlu Usul Mekanisme Judicial Preview untuk Ratifikasi Perjanjian Internasional
Berita

Kemlu Usul Mekanisme Judicial Preview untuk Ratifikasi Perjanjian Internasional

Bila MK memang tidak mengakui teori monisme.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Sekretaris Ditjen Hukum dan Perjanjian Internasional Kemlu Damos Dumoli Agusman (Kiri). Foto: Ali
Sekretaris Ditjen Hukum dan Perjanjian Internasional Kemlu Damos Dumoli Agusman (Kiri). Foto: Ali
Sekretaris Ditjen Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Damos Dumoli Agusman mengusulkan agar Mahkamah Konstitusi (MK) diberi kewenangan untuk melakukan judicial preview (pra judicial review) terhadap perjanjian internasional yang telah diratifikasi Indonesia.

Damos mengutarakan hal ini di sela-sela Lokakarya Hukum ASEAN untuk dosen hukum se-DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat di Bandung, Senin (15/12).

Usulan ini disampaikannya akibat sikap Mahkamah Konstitusi (MK) yang lebih memilih teori dualisme dalam hubungan hukum nasional dan perjanjian internasional. Teori dualisme ini menyatakan perjanjian internasional baru bisa dianggap berlaku di suatu negara apabila sudah diratifikasi oleh negara tersebut.

Sementara, Damos mengatakan pihak Kemenlu lebih mengedepankan teori monisme. Yakni, perjanjian internasional yang telah disepakati oleh Indonesia berlaku secara otomatis sebagai hukum nasional.

Sebelumnya, MK pernah mengadili permohonan judicial review UU No. 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam ASEAN. Dalam putusannya, MK menyatakan menolak permohonan judicial review tersebut. Meski begitu, MK tegas menyatakan bahwa dirinya berwenang mengadili judicial review UU yang berisi perjanjian internasional.

“Ini langkah mundur. Sangat menimbulkan ketidakpastian karena semua perjanjian internasional bisa diuji oleh dia,” ujarnya.

Damos memberi contoh bila suatu saat MK kembali menguji UU yang meratifikasi perjanjian internasional. Lalu, MK menyatakan UU itu bertentangan dengan konstitusi. “Terus bagaimana? Apakah perjanjian itu kita batalkan?” ujarnya.

Lebih lanjut, Damos menjelaskan bahwa suatu negara memang bisa saja mundur dari perjanjian internasional yang telah ditandatanganinya, selama ada mekanisme pengunduran diri dalam klausul perjanjian itu. “Kalau tak ada ruang untuk mundur bagaimana? Misalnya ASEAN Charter, tak ada pasal untuk mengundurkan diri. Dia sakral kayak Bible. Lalu tiba-tiba dibatalkan MK, bingung kita karena nggak ada jalurnya (untuk mundur,-red),” jelasnya.

Namun, Damos mengakui bahwa MK sudah mengambil sikap mengenai masalah ini. Ia pun berupaya mengajukan “win-win solution” bagi para pihak yang menganut teori monisme dan dualisme ini. Ia mengaku sudah membuat kajian dengan melakukan perbandingan terhadap sejumlah negara.

“Saya lakukan riset bagaimana Jerman, Belanda, Afrika Selatan dan Cina. Kesimpulan saya, di negara-negara ini dihindari pengujian terhadap perjanjian internasional. Bahkan, Belanda sama sekali nggak boleh ada ruang pengujian (untuk perjanjian internasional,-red),” jelasnya.

Damos menjelaskan satu-satunya negara yang nasionalistik yang memperbolehkan pengujian terhadap perjanjian internasional di MK adalah di Jerman. “Tapi itu ada syaratnya. Silakan MK uji, sebelum saya ratifikasi,” jelasnya lagi.

“Dia punya mekanisme (judicial) preview. Kalau sudah ratifikasi tak boleh ada uji menguji,” tambahnya.

Damos menyebut beberapa perjanjian internasional yang pernah diuji oleh MK Jerman, di antaranya adalah Lisbon Treaty dan Maastricht Treaty. “Itu semua diuji oleh MK Jerman sebelum diratifikasi. Setelah MK katakan oke, clear. Ini jalan keluarnya,” tukasnya.

Berdasarkan catatan hukumonline, dorongan untuk memperluas kewenangan MK Indonesia dengan memasukan kewenangan judicial preview sudah pernah disampaikan. Terakhir, wacana ini juga pernah disampaikan oleh tiga mahasiswa Universitas Brawijaya.
Tags:

Berita Terkait