“Dia divonis 20 tahun oleh MA tanpa barang bukti (narkotika). Sekarang sedang mengajukan PK, tapi belum tahu hasilnya bagaimana,” katanya.
Menanggapi permohonan, Anggota Majelis Panel Wahiduddin Adams mempertanyakan kedudukan pemohon I sebagai advokat apakah sebagai prinsipal atau sebagai kuasa hukum pemohon II. Sebab, dalam permohonan pemohon I, selain sebagai pemohon juga tercatat sebagai kuasa hukum.
“Ini harus dipastikan dalam permohonan karena uraian permohonan lebih banyak menggambarkan kasus yang dialami pemohon II,” kata Wahiduddin. “Pemohon juga seharusnya menguraikan secara jelas bentuk pertentangan norma yang diuji dengan pasal-pasal dalam UUD 1945.”
Tercatat sebagai pemohon yakni Didit Wijayanto Wijaya, Antonius Sujata, Ahmad Murad, Erdiana, Ristan BP Simbolon Hanung Hudiono, Iqbal Alif Maulana dan Agbasi Chika. Pemohon yang disebut terakhir adalah warga negara Nigeria berstatus terpidana pengedar narkoba dan pencucian uang.
“Dia (Agbasi Chika) sebenarnya berhak menggugat, tetapi khusus pengujian undang-undang dibatasi di situ. Hanya karena WNA, dia hanya bisa mengajukan upaya hukum sampai ke peninjauan kembali (PK) saja,” ujar salah satu pemohon, Aqbal Alif Maulana dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang diketuai Aswanto di ruang sidang MK, Senin (22/12).
Pasal 51 ayat (1) UU MK menyebutkan “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara.”
“Selama menyangkut persamaan dan keadilan yang merupakan bagian dari HAM tanpa kecuali, setiap lembaga negara atau setiap negara seharusnya bertanggung jawab memenuhi HAM dalam jurisdiksinya termasuk orang asing.”
Dia mengungkapkan di pengadilan tingkat kasasi MA Agbasi Chika divonis 20 tahun penjara karena terbukti mengedarkan narkotika dan melanggar UU Pencucian Uang. Padahal, pada 2008 Pengadilan Jakarta Barat hanya menyatakan terdakwa terbukti melanggar UU Pencucian Uang, sementara dakwaan UU Narkotika tidak terbukti. Putusan itu diperkuat oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.