WN Nigeria Persoalkan Larangan WNA Berperkara di MK
Berita

WN Nigeria Persoalkan Larangan WNA Berperkara di MK

Salah seorang pemohon adalah terpidana kasus narkoba.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Kuasa Hukum Pemohon Iqbal Alif dan Hanung Hudiono saat menyampaikan pokok-pokok permohonan dalam sidang uji materi UU Mahkamah Konstitusi, Senin (22/12). Foto: Humas MK
Kuasa Hukum Pemohon Iqbal Alif dan Hanung Hudiono saat menyampaikan pokok-pokok permohonan dalam sidang uji materi UU Mahkamah Konstitusi, Senin (22/12). Foto: Humas MK
        Selaku advokat, Iqbal mengaku kesulitan ketika menangani klien berkewarganegaraan asing dan hendak mempersoalkan undang-undang yang bermasalah. Sebab, Pasal 51 ayat (1) UU MK itu secara tegas menyebut salah satu pihak yang berhak mengajukan pengujian UU adalah “perorangan warga negara Indonesia (WNI)”. Padahal, setiap pasal hak asasi dalam UUD 1945 menyebutkan “setiap orang”, bukan setiap WNI.   “Seharusnya WNA berhak mempersoalkan undang-undang ketika dia dipidana berdasarkan undang-undang Republik Indonesia, seperti UU Narkotika dan UU Pencucian Uang. Terlebih, UUD 1945 menjamin persamaan di hadapan hukum bagi setiap orang,” kata dia.     Karena itu, para pemohon meminta MK menghapus Pasal 51 ayat (1) UU MK karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (1), ayat (2), dan ayat (5) UUD 1945. “Rencananya, bila ini dikabulkan kami mau menggugat UU Narkotika atau UU Pencucian Uang, makanya kita coba Pasal 51 UU MK ini dulu,” ujar Iqbal usai persidangan.    

“Dia divonis 20 tahun oleh MA tanpa barang bukti (narkotika). Sekarang sedang mengajukan PK, tapi belum tahu hasilnya bagaimana,” katanya.

Menanggapi permohonan, Anggota Majelis Panel Wahiduddin Adams mempertanyakan kedudukan pemohon I sebagai advokat apakah sebagai prinsipal atau sebagai kuasa hukum pemohon II. Sebab, dalam permohonan pemohon I, selain sebagai pemohon juga tercatat sebagai kuasa hukum.  

“Ini harus dipastikan dalam permohonan karena uraian permohonan lebih banyak menggambarkan kasus yang dialami pemohon II,” kata Wahiduddin. “Pemohon juga seharusnya menguraikan secara jelas bentuk pertentangan norma yang diuji dengan pasal-pasal dalam UUD 1945.”
Sejumlah advokat dan seorang warga negara Nigeria mempersoalkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal itu mengatur tentang pihak-pihak yang dapat mengajukan pengujian undang-undang. Para pemohon menilai Pasal 51 secara tidak langsung melarang warga negara asing (WNA) mengajukan permohonan pengujian undang-undang ke MK.  

Tercatat sebagai pemohon yakni Didit Wijayanto Wijaya, Antonius Sujata, Ahmad Murad, Erdiana, Ristan BP Simbolon Hanung Hudiono, Iqbal Alif Maulana dan Agbasi Chika. Pemohon yang disebut terakhir adalah warga negara Nigeria berstatus terpidana pengedar narkoba dan pencucian uang.

“Dia (Agbasi Chika) sebenarnya berhak menggugat, tetapi khusus pengujian undang-undang dibatasi di situ. Hanya karena WNA, dia hanya bisa mengajukan upaya hukum  sampai ke peninjauan kembali (PK) saja,” ujar salah satu pemohon, Aqbal Alif Maulana dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang diketuai Aswanto di ruang sidang MK, Senin (22/12).      

Pasal 51 ayat (1) UU MK menyebutkan “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara.”     





“Selama menyangkut persamaan dan keadilan yang merupakan bagian dari HAM tanpa kecuali, setiap lembaga negara atau setiap negara seharusnya bertanggung jawab memenuhi HAM dalam jurisdiksinya termasuk orang asing.”       



Dia mengungkapkan di pengadilan tingkat kasasi MA Agbasi Chika divonis 20 tahun penjara karena terbukti mengedarkan narkotika dan melanggar UU Pencucian Uang. Padahal, pada 2008 Pengadilan Jakarta Barat hanya menyatakan terdakwa terbukti melanggar UU Pencucian Uang, sementara dakwaan UU Narkotika tidak terbukti. Putusan itu diperkuat oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.   
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait