Demi Restorative Justice, Terdakwa Pencabulan ‘Dibebaskan’
Edsus Akhir Tahun 2014

Demi Restorative Justice, Terdakwa Pencabulan ‘Dibebaskan’

Hakim memutuskan untuk mengembalikan terdakwa ke orang tua.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Foto: www.peacealliance.org
Foto: www.peacealliance.org
Putusan progresif. Mungkin sebutan ini dialamatkan sebagian orang kepada putusan hakim yang membebaskan terdakwa meskipun terbukti bersalah melakukan tindak pidana. Tetapi ketika mengetahui terdakwanya anak-anak, mungkin ada yang berpendapat lain.

Tetapi dari sudut pandang subjektif, hakim Ahmad Rifai telah memasukkan putusan PN Pasuruan Nomor 172/Pid.B/2006 sebagai salah satu contoh putusan yang menggunakan paradigma hukum progresif.  Ali—sebutlah demikian nama si anak yang menjadi terdakwa – dikembalikan kepada orang tuanya. Padahal, perkara yang diputus 23 Januari 2007 itu menyatakan Ali terbukti secara sah dan bersalah melakukan tindak pidana. “Memaksa dan membujuk untuk melakukan perbuatan cabul,” kata hakim tunggal Achmad Rifai.

Dalam persidangan, penuntut umum, Ade Elvi Trisnawati, menuntut agar Ali dinyatakan bersalah melakukan pidana dengan membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Tindakan itu diatur dan diancam pidana sebagaimana pasal 82 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Elvi juga mengajukan tuntutan agar Ali dijatuhi tindakan yakni dikembalikan kepada orang tuanya dan segera dikeluarkan dari tahanan setelah putusan diucapkan. Sementara Ali lewat penasihat hukumnya, Elisa Endarwati, mengajukan pledoi yang intinya menyesali perbuatannya dan berjanji tidak mengulangi. Ia juga memohon kepada hakim agar diberi hukuman seringan-ringannya karena Ali ingin melanjutkan sekolah. Orang tuanya pun mengaku sanggup untuk merawat, memelihara dan mendidik Ali. Lalu, orang tua korban sudah memberi maaf.

Hakim menilai perbuatan Ali terhadap saksi korban ABS memenuhi semua unsur dakwaan pasal 82 UU Perlindungan Anak. Hakim juga melihat pada Konvensi Hak Anak yang sudah diratifikasi  Indonesia lewat Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 dan sudah diadopsi pasal 2 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Regulasi itu menyebut 4 prinsip dasar hak-hak anak yaitu non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangannya, serta penghargaan terhadap partisipasi anak.

Perbuatan Ali menurut hakim terjadi karena beberapa faktor. Seperti kurang perhatian orang tua terhadap pendidikan dan pergaulan anak, rendahnya moralitas akhlak dan budi pekerti anak serta perilaku orang tua terlalu memanjakan anak. Masyarakat juga berkontribusi karena segan mengadukan perbuatan Ali yang sering melihat kemaluan ibu-ibu yang ditinggal suaminya melaut karena orang tua Ali termasuk orang terpandang dilingkungannya.

“Maka hakim berpendapat perbuatan terdakwa bukan kesalahan pribadi, tapi kesalahan kolektif dari orang tua, keluarga dan masyarakat secara keseluruhan,” ujar Rifai dalam putusan.

Masih dalam putusan, hakim mempertimbangkan keterangan orang tua Ali yang menyatakan mampu memelihara, mendidik, mengawasi dan merawat anaknya. Serta menyekolahkan kembali anaknya dengan memberikan pendidikan umum dan agama di Madrasah Diniyah (Madin) Miftahul Ulum, Pasuruan. Selaras itu hakim telah membaca surat Kepala Sekolah Madin Miftahul Ulum yang menyatakan sanggup menerima Ali untuk bersekolah di tempat yang dipimpinnya.

Dalam rangka menciptakan suatu model restorative justice dalam perkara yang bersinggungan dengan anak, hakim berupaya mendamaikan keluarga terdakwa  dan saksi korban. Kedua keluarga diharapkan bersedia melakukan rekonsiliasi sehingga mengembalikan suasana yang harmonis antara terdakwa dan keluarganya serta masyarakat sekitar.

Mengacu dakwaan penuntut umum sebagaimana pasal 82 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ancaman pidana minimum yang dapat dijatuhkan kepada Ali yakni 3 tahun. Dikaitkan pasal 26 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, ancaman pidana bagi pelaku tindak pidana anak yaitu setengah dari pidana terhadap orang dewasa.

Atas dasar itu ancaman pidana bagi Ali 1 tahun 6 bulan penjara. Namun, hakim menilai ancaman pidana itu tidak memenuhi rasa keadilan moral, terlalu berat dan tidak adil bagi anak.

“Dengan lain perkataan bahwa pidana yang dijatuhkan harus disesuaikan dengan perkembangan kejiwaan anak dan bukan semata-mata pada tindak pidana yang telah dilakukan oleh pelaku tindak pidana,” tutur hakim.

Berdasarkan berbagai pertimbangan itu hakim sepakat dengan tuntutan pidana penuntut umum. Putusan terbaik bagi Ali yaitu mengembalikannya kepada orang tua agar dapat dididik, dibimbing dan diperbaiki tingkah lakunya agar menjadi anak yang baik serta berguna di kemudian hari.

Oleh karenanya walau Ali terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yaitu melakukan perbuatan cabul tapi tidak dijatuhi sanksi pidana. “Mengembalikan terdakwa kepada orang tuanya,” ucap hakim dalam putusan.
Tags:

Berita Terkait