Ketika ‘Kehormatan’ Wanita Dianalogikan Hakim sebagai ‘Barang’
Edsus Akhir Tahun 2014

Ketika ‘Kehormatan’ Wanita Dianalogikan Hakim sebagai ‘Barang’

Perluasan pengertian ‘barang’ seiring perkembangan teknologi modern dan kebudayaan.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: www.pembaruanperadilan.net
Foto: www.pembaruanperadilan.net
Martua Raja Sidabutar mungkin tersenyum ketika majelis hakim Pengadilan Negeri Medan mengganjar hukuman percobaan selama tiga bulan. Hukuman itu lebih ringan dari rekuisitor penuntut umum, meskipun Martua dinyatakan terbukti bersalah melakukan perbuatan cabul dengan seorang perempuan yang bukan istrinya, Katharina Siahaan.

Peristiwa yang terjadi pada 1978 di Medan itu, menjadi menarik ketika di tingkat banding Martua lepas dari dakwaan pencabulan. Namun bukannya senang, Martua tersenyum kecut lantaran majelis banding menjerat dengan dakwaan kedua, Pasal 378 KUHP. Martua dinilai terbukti melakukan penipuan. Hukuman pun diperberat menjadi tiga tahun mendekam di bui.

Awalnya, Martua memberikan janji kepada Katharina bakal menikahi serta memenuhi segala kebutuhan Katharina sesuai kemampuan. Alhasil, keduanya melakukan persenggamaan layaknya suami istri di luar pernikahan. Oleh sebab itu, Katharina menuntut tanggungjawab Martua.

Merasa tak dipenuhi janjinya, kasus bermuara ke meja hijau. Penuntut umum menjerat dengan dakwaan kumualtif. Pertama, Martua dijerat dengan Pasal 293 KUHP tentang perbuatan cabul di bawah umur. Kedua, Pasal 378 tentang penipuan.
Ketiga dengan Pasal 335 tentang perbuatan tidak menyenangkan. Meski pengadilan tingkat pertama menyatakan terdakwa terbukti melakukan perbuatan cabul sebagaimana dakwaan pertama, pengadilan tingkat banding punya pandangan lain.

Dalam putusan yang keluar tahun 1983 itu berbeda, majelis banding menilai dakwaan penuntut umum bersifat alternatif. Dalam dakwaan Pasal 293, unsur ‘perbuatan ditujukan kepada seseorang perempuan di bawah umur’. Dalam pertimbangan hukumnya, majelis banding merujuk pada yurisprudensi para ahli hukum dan hakim.

Definisi dewasa menurut hukum pidana, yakni seseorang telah mencapai usia 18 tahun, setidaknya telah menikah. Berdasarkan berita acara persidangan, Katharina telah berusia 21 tahun saat terjadinya peristiwa persenggamaan. Atas dasar itulah, majelis banding berpandangan ‘unsur perempuan di bawah umur’ tidak terbukti.

“Oleh sebab itu terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan tersebut,” demikian bunyi putusan bernomor 144/Pid/1983/PT-Mdn yang diketuai Bismar Siregar.

Dalam pertimbangan dakwaan kedua yakni Pasal 378, majelis banding lebih progresif. Pertama, unsur ‘dengan maksud hendak menguntungkan dirinya atau orang lain’. Berdasarkan pengakuan, terdakwa tegas menyatakan akan memperlakukan Katharina sebagai  seorang istri, termasuk memenuhi kebutuhannya. Katharina membenarkan pengakuan Martua.
Namun, pengakuan itu dituangkan dalam surat di bawah tangan, alias hanya sebatas ikrar. Sayangnya, pelaksanaan pernikahan secara agama, adat maupun peraturan hukum yang berlaku tak dilaksanakan terdakwa.

Majelis banding dalam pertimbangan menyatakan, persenggamaan antara lelaki dan perempuan yang berstatus suami istri tak menjadi persoalan. Sebaliknya, persenggamaan antara lelaki dan perempuan yang bukan pasangan suami istri lantaran adanya tawaran janji uang pembayaran atau bakal dinikahkan. Atas dasar itulah, majelis berpendapat unsur pertama terbukti.

Kedua, unsur ‘melawan hukum’. Menurut majelis banding, status terdakwa adalah beristri dan beragama Kristen. Dengan kata lain, terdakwa terikat dan diperbolehkan hanya beristri satu. “Sehingga ia tidak mungkin kawin dengan istri kedua, sehingga perbuatan bersenggama dengan wanita yang bukan istrinya dalam hal ini Katharina Siahaan patut dinyatakan perbuatan melawan hukum.”

Ketiga, unsur ‘nama palsu, keadaan palsu, dengan tipu muslihat dan rangkaian kebohongan’ dipandang terpenuhi. Keempat, unsur ‘memberikan atau menyerahkan barang tertentu’. Dalam pertimbangan hukumnya, majelis berpendapat pengertian ‘barang’ hanya bersifat terbatas mengenai benda berwujud. Seiring perkembangan teknologi modern dan kebudayaan pengertian ‘barang’ semakin luas. Nah, dalam perkara ini majelis banding memperluas pengertian barang dan jasa sebagaimana dalam Pasal 378 KUHP.

Majelis banding berpendapat Katharina telah mengizinkan Martua bersenggama dengannya dengan harapan akan dinikahi setelah melakukan persenggamaan. Menurut majelis banding, persenggamaan itu memberikan keuntungan kepada Martua. Oleh sebab itu, majelis banding berpendapat Martua telah menerima suatu jasa dari Katharina.

Jika merujuk pada hukum perdata, perikatan hukum demikian batal demi hukum karena bertentangan dengan undang-undang, sehingga meski terdapat cidera janji alias wanprestasi oleh terdakwa, hal tersebut tak dapat digugat ganti rugi oleh Katharina. “Akan tetapi Pengadilan Tinggi berpendapat, di bidang pidana, perbuatan cidera janji tetap dapat dipertanggungjawabkan kepada terdakwa”.

Lebih jauh majelis banding berpendapat ‘sesuatu yang melekat’ menyatu pada diri Katharina termasuk dalam pengertian barang. Pasalnya, Katharina telah menyerahkan kehormatannya kepada Martua karena janji bakal dinikahkan.
Majelis banding menyitir istilah barang dalam bahasa Tapanuli dikenal dengan nama ‘bonda’. “Yang tidak lain dari pada barang yang diartikan kemaluan, sehingga bila saksi Katharina Siahaan menyerahkan kehormatannya kepada terdakwa samalah dengan menyerahkan benda/barang”.

Berdasarkan pertimbangan hukum itulah, majelis banding berpendapat unsur ‘memberikan atau menyerahkan barang tertentu’ terbukti. Dengan kata lain, seluruh unsur dalam dakwaan Pasal 378 terbukti secara sah dan meyakinkan. Lantaran dakwaan kedua dinilai terbukti, maka dakwaan ketiga dipandang terbukti.

“Menyatakan terdakwa Martua Raja Sidabutar tersbeut terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah melakukan kejahatan penipuan. Menghukum ia oleh karena itu dengan pidana penjara buat lamanya tiga tahun,” demikian bunyi amar putusan.

Tags:

Berita Terkait