Dikti Menilai Rencana Magister Advokat Salah Kaprah
Berita

Dikti Menilai Rencana Magister Advokat Salah Kaprah

Pendidikan advokat adalah pendidikan profesi, bukan akademik.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Ketua Tim Revitalisasi Kurikulum Pendidikan Tinggi Hukum Dikti Kemenristek dan Perguruan Tinggi, Prof Johannes Gunawan. Foto: ALI
Ketua Tim Revitalisasi Kurikulum Pendidikan Tinggi Hukum Dikti Kemenristek dan Perguruan Tinggi, Prof Johannes Gunawan. Foto: ALI
Ketua Tim Revitalisasi Kurikulum Pendidikan Tinggi Hukum pada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementerian Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi (Kemenristek PT), Prof. Johannes Gunawan menilai wacana program magister advokat, salah kaprah.

“Mana mungkin ada magister advokat. Advokat itu kan profesi. Sedangkan, magister itu kan akademik,” ujarnya usai lokakarya Hukum ASEAN dosen hukum se-DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat di Bandung, pertengahan bulan lalu, Senin (15/12).

“Itu salah kaprah,” ujarnya.

Johannes membandingkan advokat dengan notaris yang dinilai sudah keluar jalur. Ia menjelaskan ada tiga jenis pendidikan yang diatur berdasarkan Undang-Undang UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yakni pendidikan akademik (Strata S-1 ke atas), pendidikan vokasi (D1 dan D3, untuk bidang hukum adalah pendidikan yang menghasilkan paralegal), dan pendidikan profesi.

Pendidikan kenotariatan, lanjut Johannes, justru sekarang berada di program magister atau strata-2. Ia mengaku akan meluruskan kesalahan itu dengan rencana “mengembalikan” pendidikan kenotariatan untuk para notaris ke pendidikan profesi, bukan lagi sebagai magister kenotariatan. Ke depan, ia sudah merancang bahwa pendidikan notaris harus diserahkan kepada organisasi profesi tersebut, Ikatan Notaris Indonesia (INI).

Namun, bila terjadi “deadlock” dengan perguruan tinggi, maka Johannes sudah menyiapkan jalan keluar. Bila program sarjana di dalam kurikulum masuk ke Level 6, maka kenotariatan bisa dimasukan ke Level 7 dimana para mahasiswa perlu menempuh satu tahun pendidikan tambahan. “Kami memungkinkan mereka dapat magister hukum, tetapi bukan magister kenotariatan,” ujarnya.

“Nanti, mereka akan diberikan ijazah dan sertifikat profesi. Nah, sertifikat profesi ini untuk uji kompetensi di INI,” tambahnya.

Johannes menjelaskan profesi pendidikan advokat sudah di jalur yang tepat apabila dibandingkan dengan pendidikan kenotariatan. Saat ini, pendidikan advokat berada di bawah organisasi advokat, Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).

Namun, bila memang ada keinginan untuk meniru model pendidikan profesi kenotariatan seperti yang diusulkan Dikti, maka advokat juga bisa seperti itu. Yakni, menambah waktu kuliah untuk meraih magister hukum, dan kemudian bisa langsung mengikuti ujian advokat di PERADI.

“Kami sedang berunding dengan PERADI, mereka sepertinya tertarik,” ujarnya.

Berdasarkan catatan hukumonline, wacana “magister advokat” ini memang sudah lama digagas di PERADI. Bahkan, pimpinan PERADI sempat merancang program “magister advokat” ini sebagai alternatif bagi yang tidak mau mengikuti Pendidikan Profesi Khusus Advokat (PKPA).

Sedangkan, Kongres Advokat Indonesia (KAI) –organisasi yang juga mengklaim sebagai wadah tunggal profesi advokat- justru akan segera “merealisasikan” ini di Makassar. KAI bersama Universitas Hasanuddin (Makassar) segera menyelenggarakan pendidikan magister advokat. Presiden KAI Tjoetjoe Sandjaja Hernanto telah menyiapkan nota kesepahaman itu.

“MoU ini nantinya sebagai langkah kualifikasi advokat KAI, yang kelak berhadapan dengan advokat-advokat asing di era globalisasi,” ujar Tjoetjoe sebagaimana dilansir situs poskotanews
Tags:

Berita Terkait