Dekan FH Unila, DR Heryandi SH MH:
Alumni Berulah, Almamater Menanggung Derita
Profil

Dekan FH Unila, DR Heryandi SH MH:
Alumni Berulah, Almamater Menanggung Derita

Perilaku itu ibarat pohon, kalau kau membengkokkan pohon yang kekar itu ya patah, (harus) dari kecil.

Oleh:
RZK/M-22
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: Basuki
Ilustrasi: Basuki
Pendidikan tinggi hukum Indonesia sudah berusia cukup tua, bahkan lebih tua dari usia kemerdekaan Republik ini. Oktober 2014 lalu, sejumlah fakultas hukum memperingati Hari Pendidikan Tinggi Hukum ke-90 dengan menggelar serangkaian kegiatan. Di usia yang hampir se-abad, sudah sejauh manakah perkembangan pendidikan tinggi hukum Indonesia?

Bicara kuantitas, fakultas-fakultas hukum (FH) menjamur dimana-mana, baik negeri maupun swasta. Bisa dikatakan hampir di kota-kota besar di seluruh Indonesia, terdapat universitas yang memiliki FH.

Bagaimana dengan kualitas? Yang jelas kuantitas meningkat bukan jaminan kualitas juga meningkat. Salah satu parameter untuk mengukur kualitas FH sebenarnya dapat dilihat dari sepak terjang para alumninya.

Sayangnya, fakta yang tampak di lapangan cukup miris. Coba tengok saja perkembangan pemberantasan korupsi di Negeri ini, banyak pihak yang terjerat pasal-pasal korupsi justru memiliki latar belakang pendidikan formal tinggi. Sebagian dari mereka adalah alumni FH universitas ternama, bahkan ada yang bergelar profesor.

Untuk menyebut beberapa contoh, anda mungkin belum lupa dengan kasus mantan Ketua MK M Akil Mochtar, advokat Susi Tur Andayani, hakim Setyabudi dan Ramlan Comel, dan beberapa nama lain.

Mengapa hal itu terjadi? Apa yang salah dengan sistem pendidikan tinggi hukum? Untuk mendiskusikan permasalahan ini, beberapa waktu lalu, hukumonline sempat berbincang dengan Dekan FH Universitas Lampung, DR Heryandi, SH, MH.

Di ruang kerjanya, Heryandi menuturkan pandangannya seputar perkembangan pendidikan tinggi hukum, kiprah alumni, dan beberapa hal terkait lainnya. Berikut ini petikan wawancaranya:

Menurut Anda, bagaimana perkembangan pendidikan tinggi hukum Indonesia saat ini?
Saya lihat banyak kampus FH yang sedang berlomba-lomba meningkatkan mutu. Misal, akreditasinya dinaikkan. FH Unila sendiri, walaupun S1 (program sarjana) akreditasinya A, tetapi S2-nya (program magister) masih B. Orientasinya, bagaimana kita bisa mendapatkan mempertahankan akreditasi yang A dan yang S2 untuk bisa dapat A.

Kemarin, kita juga sudah mengusulkan pembukaan S3 (program doktor). Sebetulnya, program doktor FH Unila sudah jalan kerjasama dengan Universitas Diponegoro, Semarang tetapi sekarang sudah diputus karena harus mandiri.

Meningkatkan mutu juga kami lakukan dari sisi kualitas dosen. Saat ini, dosen FH Unila yang sedang melanjutkan studi S3 di luar negeri empat oran. Satu di Perancis, tiga di Jepang. Yang S3 dalam negeri itu ada 20 orang tersebar di Universitas Padjajaran, Universitas Indonesia, dan Universitas Gadjah Mada.

Kami juga sedang siapkan ruang baca jadi mahasiswa tidak perlu masuk lama-lama di perpustakaan. Saya juga mengingingkan tidak yang hard copy, yang soft atau online. Semua itu kita lakuin supaya lulusan kita ini bersaing.

Bicara lulusan, bagaimana pandangan Anda tentang hubungan antara almamater dengan para alumninya?
Lulusan FH Unila banyak yang masuk di kantor pajak. Di kejaksaan, kehakiman (pengadilan, red), ya itu langganan lah. Kalau anggota dewan dan eksektutif juga banyak itu. Alumni kita sudah tujub ribu.

Setiap berjumpa dengan alumni dan mahasiswa, saya tekankan bahwa kita semua sebagai keluarga besar. Yang namanya keluarga besar itu ya saling mengangkat, saling mendukung, saling mengasihi, saling menyayangi. Prinsip utamanya itu. Makanya, saya tidak suka senior ‘nimpukin’ junior. Saya hantam-hantam itu. Saya itu orangnya agak koboy, nggak mau yang bertele-tele itu. Urusan picik itu, saya usahakan untuk disiplinkan.

Solusi yang kita berikan adalah komunikasi dengan alumni. Kita kumpulkan para alumni yang menjadi jaksa, hakim, dan profesi-profesi lainnya.

Contoh, ada kasus jaksa Rahmadi di Gorontalo yang kasus dugaan suap itu. “Jangan bikin malu gitu dong alumni. Jangan kau kira kau saja yang menanggung penderitaan itu.” Itu Susi Tur Andayani (kasus suap pengurusan sengketa pilkada di MK, red), beberapa lama menghilang, padahal dulu sering konsultasi. Saya marahin, “hei kamu ini masih muda, jangan main-main, kalau jadi pengacara yang bener.” Karena, kalau lagi rapat-rapat pimpinan, kita jadi bulan-bulanan, padahal kita nggak salah kan.

Lalu, bagaimana peran fakultas dalam membentuk karakter lulusannya?
Ada satu hal yang ingin saya garisbawahi, persoalan perilaku kan nggak bisa kita bentuk. Perilaku itu ibarat pohon, kalau kau membengkokkan pohon yang kekar itu ya patah, (harus) dari kecil. Kalau kita bikin bonsai itu kan masih lentur. Selain itu, sebetulnya pendidikan tinggi hukum tidak cukup hanya di perguruan tinggi saja, tapi sejak di TK (taman kanak-kanak) sampai keluar dengan pendidikan hukum.

Menegakkan hukum menjadi panglima itu tidak gampang. Di Australia, itu ratusan tahun. Kalau di Adelaide itu, sepi tapi ada rambu rambu. Di sana ada orang bawa sapi, berhenti itu. Di Indonesia, kalau sepi ya diterabas aja, kan sepi itu semut aja nggak ada.

Kata supir taksi di Australia, “kalau saya menerobos (rambu) saya sudah menghancurkan struktur budaya hukum kami yang sudah dibangun beratus tahun.” Supir taksi ngomong begitu, Orang Indonesia ngomong begitu nggak?

Jadi bagaimana membangun sistem penegakan hukum yang baik?
Kata kuncinya ada di aparat, karena mereka itu yang berada di depan. Kalau aparat tidak dapat membangun hukum, maka tidak ada penegak hukum yang kita inginkan. Kunci utamanya di presiden. Saya tunjuk itu waktu ceramah itu di depan polisi-polisi. Selama presiden tidak peduli dengan dengan hukum kita, sekarang bagaimana kita mau nyontoh, orang yang korupsi dari lingkungannya dia (presiden).
Tags:

Berita Terkait