Pemberantasan Korupsi: Secercah Asa di Awal Tahun Baru
Kolom

Pemberantasan Korupsi: Secercah Asa di Awal Tahun Baru

Masih ada ketentuan dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang harus dipebaiki.

Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Upaya pemberantasan korupsi diperkirakan bakal menemui ujian semakin berat tahun ini. Di penghujung 2015, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan mengakhiri masa baktinya. Artinya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan melakukan fit and proper test untuk mencari pimpinan baru. Duduk persoalan justru terletak pada lembaga legislatif itu sendiri. Tidak ada jaminan bahwa para wakil rakyat yang terhormat itu akan seia sekata bertekad memberantas bahaya laten yang kita kenal sebagai  korupsi itu.

Kendatipun pada waktu kampanye tidak seorang calon pun, tidak sebuah partai pun yang tidak memalu genderang perang melawan korupsi, tetapi pada saatnya, kuat dugaan bahwa suara calon atau partai itu akan berubah seratus delapan puluh derajat. Soalnya, kepentingan partai yang sesaat tidak sejalan dengan upaya pemberantasan korupsi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa partai senantiasa membutuhkan dana besar untuk memenangi pemilu dan memutar roda organisasi.

Dana besar yang dibutuhkan hanya dapat dengan mudah diperoleh dari proses anggaran yang tumpang tindih. Maklum, sebagai organisasi, partai sulit menggalang dana dari anggota dan simpatisan sendiri. Jalan termudah adalah menemukan sumber-sumber yang berasal dari bocoran anggaran belanja Negara.

Di bidang legislasi, para anggota DPR periode 2009-2014 ternyata mewariskan sejumlah bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak memporakporandakan kekuatan pro pemberantasan korupsi. Sebut saja misalnya rencana revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Yang berniat positif, ingin merevisi pasal-pasal tertentu agar kedudukan, kemampuan KPK sebagai lembaga anti rasuah lebih kuat, sehingga upaya pembuktian lebih mudah dilakukan. Yang memiliki agenda lain, revisi hanya sekedar pintu masuk untuk memperlemah kekuatan pro pemberantasan korupsi.

Di samping itu, RUU KUHP dan RUU KUHAP seandainya tetap diundangkan tanpa revisi akan membawa malapetaka bagi upaya pemberantasan korupsi. Dua RUU itu sengaja di-design tanpa memperhitungkan situasi dan kondisi bangsa yang sedang memerangi musuh utama, korupsi. Bahkan, seandainya jadi diundangkan, korupsi yang telah disepakati sebagai extra ordinary crime akan dianggap sebagai perbuatan biasa saja sehingga penanganannya pun biasa-biasa saja, tidak perlu lagi luar biasa.

Karena itu, tindak pidana korupsi yang selama ini dikatagorikan sebagai tindak pidana khusus akan dimasukkan sebagai bagian dari tindak pidana umum, sehingga instrumennya juga akan disesuaikan. Misalnya, penyadapan yang selama ini menjadi alat ampuh yang membuat banyak pelaku tertangkap tangan, hanya akan dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Pengadilan. Begitu pula dengan keberadaan Pengadilan Tipikor, akan dilikuidasi. Tindak pidana korupsi akan diperiksa oleh Pengadilan biasa.

Rupanya, para perancang RUU beranggapan bahwa korupsi adalah kejahatan biasa, seperti misalnya pencurian. Mereka menutup mata akan kenyataan bahwa korupsi adalah kejahatan kemanusiaan (crime  against of humanity) dan kejahatan terhadap hak asasi manusia  dan transnational organized crime sebagaimana dikumandangkan oleh UNCAC (United Nations Convention Against Corruption) yang dengan UU Nomor 7 Tahun 2006 telah kita ratifikasi.

Peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang justru mempersulit pula para hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana korupsi. Oleh karena pasal-pasal ini merupakan hukum positif, tidaklah mengherankan apabila menjadi salah satu faktor terjadinya inkonsistensi penerapan hukum dalam pemeriksaaan tindak pidana korupsi.

Kita mulai dengan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana  Korupsi (UU PTPK). Bunyinya: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,- dan paling banyak Rp 1.000.000.000,-“.  

Di dalam Pasal 3, si Pelaku disyaratkan harus mempunyai kedudukan atau jabatan  yang dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana tersebut, merugikan keuangan atau perekonomian negara. Oleh karena di dalam Pasal 2 ayat (1) tidak disyaratkan bahwa si Pelaku harus mempunyai kedudukan atau jabatan maka pasal ini sesuai memorie van toelichting pembentukan undang-undang tersebut, diperuntukkan bagi mereka yang bukan PNS atau pejabat negara (pembentuk undang-undang menganggap bahwa mereka yang bukan PNS dan atau Pejabat Negara, tidak mempunyai kedudukan atau jabatan). Sedangkan Pasal 3 dengan ancaman hukuman paling singkat 1 tahun, diperuntukkan bagi PNS dan Pejabat Negara.

Jelas ada diskriminasi, untuk PNS atau Pejabat Negara ancaman hukuman paling ringan hanya 1 tahun tetapi bagi mereka yang non PNS atau non Pejabat Negara, ancaman hukuman paling ringan 4 tahun. Jadi, walau nilai korupsinya hanya Rp1 juta, apabila terbukti melakukan perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, maka dia harus masuk bui minimal 4 tahun. Sebaliknya, PNS dan atau Pejabat Negara yang melakukan perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 kendati negara, katakanlah, mengalami kerugian Rp 1 milyar, kemungkinan pidana penjara yang harus dijalani hanya 1 tahun saja.

Penafsiran bahwa dakwaan berdasar Pasal 3 diperuntukkan bagi PNS dan atau Pejabat Negara sedang Pasal 2 ayat (1) sebaliknya untuk non PNS dan atau non Pejabat Negara acapkali menjadi anutan majelis hakim di tingkat pertama atau banding. Berdasarkan penafsiran tersebut, mereka akan langsung membuktikan dakwaan subsidair (Pasal 3)  seandainya terdakwa seorang PNS atau Pejabat Negara, kendati dakwaan primairnya adalah Pasal 2 ayat (1), tanpa terlebih dahulu membuktikan dakwaan primair walaupun  dakwaan  bersifat subsidaritas. Rupanya Majelis menganggap bahwa “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”  bukanlah merupakan perbuatan melawan hukum.

Pasal 14 UU TPPK jo. Pasal 6 huruf c UU No. 46  tahun 2009 Tentang Pengadilan Tipikor  menyatakan: “Setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini”.

Penafsiran hukum a contrario mengartikan bahwa tindak pidana korupsi yang terdapat di dalam undang-undang selain UU TPPK, tetapi tidak dengan tegas ditentukan sebagai tindak pidana korupsi, maka yang berlaku adalah undang-undang selain UU TPPK itu. Alur pikir berdasarkan penafsiran a contrario ingin menegaskan bahwa para pelaku perbuatan yang bertentangan dengan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan dan puluhan undang-undang lainnya yang termasuk rezim Administrative Penal Law, tidak dapat dituntut dengan UU Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi karena tidak satu pasal pun dalam undang-undang Hukum Pidana Administrasi itu yang dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi.

Jadi, mereka yang melakukan illegal logging, mining, fishing dan sebagainya tidak akan terjamah UU PTPK kendati unsur-unsur tindak pidana korupsi telah terpenuhi. Kalaupun nanti sampai ke meja hijau, yang akan mengadili mereka adalah Majelis Hakim Pengadilan biasa, bukan Pengadilan Tipikor, pengadilan yang khusus didirikan dengan hakim-hakim yang khusus ditunjuk untuk menangani perkara-perkara korupsi.

Selain itu juga mengenai uang pengganti sebagai hukuman tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (2) dan (3) UU PTPK. Tidak ada ketentuan yang pasti seandainya nilai uang pengganti hanya sebagian dibayar atau dilunasi. Siapa yang akan mengatur nilai perbandingan lamanya hukuman penjara yang masih harus dijalani dan pelaksanaannya?

Sebentar lagi DPR akan mengakhiri masa reses. Sidang-sidang pun akan dimulai. Kita segera akan dapat menyaksikan siapa sebenarnya yang menempatkan diri bersama rakyat di zona pro pemberantasan korupsi dan siapa yang menjadikan pemberantasan korupsi hanya sekedar lip service belaka.

Walaupun hanya secercah, semoga kita tidak harus sampai berputus asa.

*Pengarang buku “Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Jalan Tiada Ujung”
Tags:

Berita Terkait