Menguji Efektivitas SEMA Nomor 7 Tahun 2014
Kolom

Menguji Efektivitas SEMA Nomor 7 Tahun 2014

Dibukanya “segel” yang sebelumnya membatasi pengajuan PK hanya sekali saja, ternyata juga berpotensi untuk disalahgunakan “penumpang gelap” untuk menghindar dari pelaksanaan eksekusi putusan, dengan cara mengajukan PK “yang kesekian kalinya”.

Bacaan 2 Menit
Foto: Koleksi Pribadi
Foto: Koleksi Pribadi
Diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, telah menegaskan sikap dan pendirian MA beserta jajaran pengadilan (pidana) di bawahnya, yaitu bahwa permohonan peninjauan kembali (PK) dalam perkara pidana dibatasi hanya satu kali saja.  Nampaknya, MA berpegangan pada asas kepastian hukum (rechtzakerheid) dan asas bahwa setiap perkara harus ada akhirnya (litis finiri oportet).

Lahirnya SEMA 7/2014 ini kemudian menuai pro dan kontra, baik di dalam (sebagian) internal MA maupun dari kalangan di luar MA. Di luar MA, beberapa ahli hukum tata Negara berpedoman pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 34/PUU-XI/2013, yang telah menyatakan Pasal 268 ayat (3) KUHAP tentang aturan PK atas perkara pidana hanya satu kali saja tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Sekadar mengingatkan, perkara pengujian Pasal 268 ayat (3) KUHAP ini diajukan oleh mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar (terpidana dalam perkara pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen) pada tanggal 25 April 2013, dan kemudian diputus MK pada tanggal 6 Maret 2014.

Bagi seorang Antasari Azhar, putusan MK yang tidak membatasi PK diajukan hanya sekali saja adalah suatu putusan yang amat penting untuk mencari keadilan baginya, setelah sebelumnya PK pertama ditolak oleh MA pada tanggal 13 Februari 2012.

Namun, dibukanya “segel” yang sebelumnya membatasi pengajuan PK hanya sekali saja, ternyata juga berpotensi untuk disalahgunakan “penumpang gelap” untuk menghindar dari pelaksanaan eksekusi putusan, dengan cara mengajukan PK “yang kesekian kalinya”.

Padahal, aturannya sudah jelas bahwa permohonan PK tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana ditegaskan Pasal 66 ayat (2) UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang MA yang telah diubah oleh UU Nomor 5 Tahun 2004 dan UU Nomor 3 Tahun 2009.

Dalam praktiknya, penerapan Pasal 66 ayat (2) UU MA ini memang diberlakukan secara kasuistis dan eksepsional untuk perkara-perkara tertentu. Justru dalam hal ini masyarakat pencari keadilan ingin melihat bagaimana keberanian dan ketegasan penegak hukum, baik itu MA ataupun secara khusus Kejaksaan Agung (Kejagung) selaku eksekutor untuk tidak men-generalisir praktik penerapan Pasal 66 ayat (2) UU MA.

Para penegak hukum juga harus melihatnya dari kacamata hukum progresif, yaitu dengan tidak ragu untuk mengeksekusi pelaku tindak pidana serius (serious crime) yang menggunakan PK untuk mengulur-ulur eksekusi.

Dari perspektif yang lain, sesungguhnya penerapan dari SEMA 7/2014 akan sangat jelas terlihat dalam pelaksanaan eksekusi hukuman mati. Perjuangan untuk menentang hukuman mati sudah dimulai sejak zaman legenda advokat Indonesia, almarhum Yap Thiam Hien.

Pada waktu itu, Yap berhasil meyakinkan hakim untuk melepaskan jerat hukuman mati atas Rachmat Basoeki Soeropranoto (Terdakwa pemboman kantor Bank BCA di Jakarta, 1984). Nampaknya, Pak Yap terinspirasi dari pledooi Nabi Isa yang telah melepaskan perempuan yang tertangkap basah berzinah dari hukuman rajam Yahudi, dengan maksud agar wanita tersebut dapat bertobat dari jalan yang salah.

Namun demikian, suka atau tidak suka, ditentang atau didukung, hukuman mati yang diatur di Pasal 10-11 dalam Buku 1 KUHP yang juga berlaku bagi undang-undang yang memuat ketentuan pidana di luar KUHP, adalah hukum positif yang konstitusional.

Jadi, perlu ada kewajiban moril yang harus dipahami dan dilakukan, baik oleh terpidana mati maupun penasihat hukumnya (yang secara fakta hukum jelas bersalah dan tidak ada alasan penghapus pidana/strafuitluitingsgronden), bahwa upaya mengulur-ulur pelaksanaan eksekusi mati adalah suatu bentuk hukuman ganda (double punishment), yaitu hukuman seumur hidup dan juga hukuman mati.

Jika kita cermati, tujuan umum dari diterbitkannya SEMA 7/2014 yang berpijak pada UU MA dan UU Kekuasaan Kehakiman (bukan pada Pasal 268 ayat 3 KUHAP) ini adalah alternatif untuk mengisi kekosongan hukum, karena banyaknya peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai perkembangan masyarakat in casu KUHAP sebagai induk Hukum Acara Pidana.

Di samping itu, SEMA 7/2014 ini adalah solusi dari berlarut-larutnya pelaksanaan eksekusi, terutama atas pelaku tindak pidana serius (serious crime) agar kepastian hukum (rechtzakerheid) dan ketertiban umum dapat dicapai. Oleh karena itu, SEMA 7/2014 ini tidak boleh dipandang dari perspektif satu perkara tertentu saja.

SEMA 7/2014 ini memang belum sempurna, karena sudah merupakan asas hukum yang tidak boleh disimpangi, bahwa segala sesuatu yang menyangkut Hak Asasi Manusia in casu PK sebagai upaya hukum luar biasa harus diatur dalam peraturan setingkat undang-undang. Beberapa ahli hukum pidana justru berharap agar MA lebih memprioritaskan penerbitan SEMA yang mengatur tentang bukti baru dalam pengajuan PK (novum).

Untuk itu, sebagai advokat dan akademisi, penulis berpendapat bahwa di dalam undang-undang atau peraturan lain yang mengatur tentang PK (dalam perkara pidana) perlu diatur hak dan kesempatan yang sama bagi penuntut umum dan terpidana untuk mengajukan PK sesuai dengan asas audi et alteram partem.

Jadi implementasinya seperti ini, misal jika ada terpidana yang PK-nya ditolak oleh pengadilan ternyata di kemudian hari ditemukan tidak bersalah melakukan tindak pidana, maka jaksa penuntut umum demi hukum dan keadilan harus mengajukan PK untuk membebaskan terpidana tersebut.

Akhir kata, mari kita bersama-sama menguji efektivitas dari SEMA 7/2014, jika dirasakan efektif maka SEMA ini akan bermanfaat untuk mengisi kekosongan hukum. Namun jika tidak, MA harus berbesar hati untuk mencabut SEMA ini sambil menunggu adanya peraturan perundang-undangan yang memberikan pengaturan PK yang paling mendekati rasa keadilan masyarakat.

*Advokat dan dosen Hukum Acara Pidana di Universitas Bina Nusantara
**Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.
Tags:

Berita Terkait