Kenotariatan “Dikeluarkan” dari Magister Dinilai Sebagai Langkah Mundur
Berita

Kenotariatan “Dikeluarkan” dari Magister Dinilai Sebagai Langkah Mundur

“Sikit (sedikit,-red) kekurangan, kok langsung digeser pemiliknya.”

Oleh:
CR-18
Bacaan 2 Menit
Magister Notariat Universitas Diponegoro, Semarang. Foto: plus.google.com
Magister Notariat Universitas Diponegoro, Semarang. Foto: plus.google.com
Ketua Badan Kerja Sama Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi se-Indonesia Prof. Runtung Sitepu menilai bahwa wacana yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) untuk mengembalikan pendidikan notaris dari program magister ke pendidikan profesi sebagai langkah mundur.

“Kita ini bolak-balik di situ saja. Hal ini yang membuat pekerjaan kita juga tidak pernah naik kelas dalam mengembangkan negara ini, khususnya pendidikan notariat,” ujar Runtung kepada Hukumonline.com melalui sambungan telepon, Rabu (7/1).

Pria yang menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (FH USU) ini menjelaskan bahwa ada perjalanan panjang bagaimana pendidikan notaris hingga kini diajarkan di strata-2 perguruan tinggi. Dahulu kenotariatan merupakan pendidikan profesi, tetapi akhirnya diubah menjadi program Magister Kenotariatan. “Itu sudah melalui pembahasan yang tajam dan mendalam,” ujarnya.

Kala itu, Runtung menceritakan ada enam universitas di Indonesia yang pertama kali mengadakan Program Magister Kenotariatan, yakni Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Padjajaran (UNPAD), Universitas Diponegoro (UNDIP) dan USU. Pendidikan ini sudah dibahas bersama-sama dengan pakar-pakar hukum.

Langkah tersebut, lanjut Runtung, dilakukan karena banyak ditemukan lulusan spesialis notariat yang tidak ingin berpraktek sebagai notaris. Mereka hanya ingin menimba ilmu lebih dalam mengenai kenotariatan. “Profesinya dia dapat, kemudian akademiknya juga dia dapat, maka lahirlah Program Magister Kenotariatan,” kisah Runtung.

Sebagai informasi, pernyataan Runtung ini untuk menanggapi pernyataan pejabat Dikti yang berencana mengembalikan pendidikan notariat dari magister kenotariatan menjadi pendidikan profesi. Konsepnya mirip dengan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang ada selama ini.

Wacana ini dikemukakan oleh Ketua Tim Revitalisasi Kurikulum Pendidikan Tinggi Hukum Dikti Prof. Johannes Gunawan pada pertengahan bulan lalu. Johannes menjelaskan bahwa karakteristik notariat adalah pendidikan profesi, bukan pendidikan akademik. “Karena ditempatkan di pendidikan akademik yang tujuannya untuk mengembangkan ilmu, maka ketika mereka lulus, kemampuan membuat akta rendah. Yang tinggi skill membuat makalah,” sindirnya.

Runtung mengatakan sejauh ini belum ada hasil penelitian yang menunjukan bahwa produk dari Magister Kenotariatan ini memberikan dampak buruk dengan berupa mundurnya kualitas profesi notaris di Indonesia. Ia menilai perlu ada kajian yang mendalam bila ingin mengeluarkan wacana tersebut.

Oleh karena belum ada penelitian yang kuat, Runtung menilai gegabah wacana yang disampaikan oleh Dikti ini. Ia mengaku belum ada pembicaraan dari Dikti kepada pihak-pihak universitas maupun Dekan FH se-Indonesia. Ia berpendapat seharusnya wacana ini tidak disampaikan terlebih dahulu ke media sebelum dibahas bersama oleh para pemangku kepentingan.

“Jangan hanya semata-mata melayani keinginan kelompok-kelompok tertentu, katakanlah dari organisasi profesi, sehingga kita mengabaikan yang lebih penting, yaitu kualitas daripada proses pendidikan itu sendiri,” tuturnya.

Runtung berpendapat bila Magister Kenotariatan benar-benar dikembalikan ke pendidikan profesi notariat maka akan menimbulkan gejolak sosial. Ia mengatakan perubahan tersebut berimplikasi pula pada penyesuaian terhadap Undang-Undang Jabatan Notaris. Ia juga khawatir bahwa ini berdampak kepada para lulusan MKn.

“Banyak lulusan MKn (Magister Kenotariatan, red) yang nanti tidak bisa lagi diterima menjadi notaris di Indonesia karena yang dianggapnya memenuhi syarat menjadi notaris adalah lulusan pendidikan khusus yang dibuat oleh organisasi profesi,” ujarnya.

Runtung mengatakan bila memang ada hal-hal yang kurang (misalnya, keahlian membuat akta) maka kurikulum perkuliahan yang harus diperbaiki. “Tidak serta merta pemerintah dengan tim revitalisasinya menyampaikan wacana menghilangakn Magister Kenotariatan,” tegasnya.

“Sikit (sedikit,-red) kekurangan, kok langsung digeser pemiliknya,” tambah Runtung menggunakan logan khas Medan.

Lebih lanjut, Runtung juga mempersoalkan istilah tim revitalisasi yang dibentuk oleh Dikti. “Kurang vital apa lagi Magister Kenotariatan berada di bawah lembaga pendidikan universitas dan kemudian melibatkan organisasi profesi notaris? Apa lagi yang tak vital?” ujarnya.

Runtung merasa seolah-olah apa yang dilaksanakan oleh universitas penyelenggara Magister Kenotariatan ini belum baik sehingga menggunakan istilah revitalisasi. “Padahal tidak ada masalah dengan notaris-notaris yang  berprofesi sekarang dan merupakan produk dari Magister Kenotariatan itu,” tukas Runtung.

Runtung juga menjelaskan bahwa program Magister Kenotariatan di USU hingga kini menerima lebih dari 150 mahaiswa pertahuanya. Ia menyatakan memang tidak ada keinginan USU membuka kelas besar untuk program ini. Kelas Magister Kenotariatan di USU dibagi menjadi kelas dengan jadwal kuliah regular Senin-Kamis dan jadwal kuliah Jumat-Sabtu bagi mahasiswa yang ingin menempuh pendidikan sambil bekerja.

Penolakan terhadap wacana ini juga sudah disuarakan oleh Dekan FH Universitas Indonesia Prof Topo Santoso.

Sebelumnya, Ketua Tim Revitalisasi Prof. Johannes Gunawan juga menyadari adanya penolakan upaya perpindahan pendidikan notariat ini ke pendidikan profesi. Ia mengaku sudah menyiapkan langkah win-win solution. Bila program sarjana di dalam kurikulum masuk ke Level 6, maka kenotariatan bisa dimasukan ke Level 7 dimana para mahasiswa perlu menempuh satu tahun pendidikan tambahan. “Kami memungkinkan mereka dapat magister hukum, tetapi bukan magister kenotariatan,” ujarnya.

“Nanti, mereka akan diberikan ijazah dan sertifikat profesi. Nah, sertifikat profesi ini untuk uji kompetensi di INI (Ikatan Notaris Indonesia.-red),” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait