Sorotan Publik Terhadap Sejumlah RUU di 2014
Refleksi 2014

Sorotan Publik Terhadap Sejumlah RUU di 2014

Salah satu alasan tidak rampungnya pembahasan RUU karena sempitnya waktu di penghujung masa bakti anggota dewan periode 2009-2014.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Pro kontra RUU Advokat. Ilustrasi: Basuki
Pro kontra RUU Advokat. Ilustrasi: Basuki
Di akhir satu tahun masa periode DPR periode 2009-2014, lembaga legislatif menjadi sorotan publik. Tak saja ulah oknum anggota dewan yang tersandung dengan kasus hukum, tetapi sorotan publik juga pada sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU). Pengawasan masyarakat terhadap pembahasan RUU menjadi penting agar jauh dari kepentingan politik, meskipun UU merupakan hasil dari kesepakatan politik.

Dinamika DPR dalam pembahasan sebuah RUU memang terbilang alot. Malahan, terkadang terjadi tarik ulur antara pemerintah dan DPR. Misalnya, RUU Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang berujung tak rampung hingga di penghujung 2014.

Banyaknya RUU yang gagal rampung pembahasannya disebabkan berbagai hal, antara lain di pertengahan tahun 2014, Indonesia melaksanakan pesta demokrasi Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres). Akibatnya, anggota DPR banyak yang berkonsentrasi pada Pileg. Soalnya, hal tersebut terkait dengan keberlangsungan nasib mereka sebagai anggota dewan di periode berikutnya. Dampaknya, fokus pembahasan RUU terganjal, sehingga banyak RUU yang tak rampung pembahasanya. Dengan kata lain, DPR tak mengesahkan RUU menjadi sebuah UU.

Berdasarkan catatan hukumonline, setidaknya ada delapan RUU yang menjadi sorotan publik. Tak saja isi materi RUU yang menjadi polemik, tetapi juga terkadang judul RUU yang kerap menjadi pertentangan. Sebut saja RUU Pertembakauan yang mangkrak akibat tarik ulur antara kelompok produsen rokok dengan pemerhati kesehatan. Sementara DPR mesti bersikap netral dengan mengakomodir kepentingan berbagai pihak.

Pertama, RUU Advokat. Draf aturan tentang Avokat merupakan revisi dari UU No.18 Tahun 2003. Dalam pembahasan yang berlangsung di penghujung 2014, terjadi perdebatan sengit. Tak saja di DPR, antar organisasi advokat pun terjadi pro kontra. Bagi sebagian organisasi advokat yang tergabung dalam Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), tegas menolak RUU Advokat. Sedangkan organisasi advokat lainnya seperti Kongres Advokat Indonesia (KAI) mendukung penuh RUU Advokat.

Perdebatan pro kontra dalam RUU Advokat lebih ke arah apakah akan menganut sistem organisasi multi bar atau single bar. Selain itu soal batasan usia maksimal ketika akan menjadi advokat. Kemudian keberadaan Dewan Advokat Nasional (DAN) menjadi pro kontra. Soalnya dalam pembahasan adanya usulan agar anggaran DAN berasal dari APBN. Ketiga hal tersbeut merupakan bagian dari persoalan dalam RUU Advokat yang deadlock pembahasannya. Alhasil, hingga injury time periode anggota dewan di penghujung  masa bakti,  pembahasan RUU Advokat tak rampung.

Kedua, RUU Pertembakauan. RUU tersebut banyak menuai kontra dari pemerhati kesehatan. Soalnya, isi RUU tersebut dinilai minim perlindungan kesehatan terhadap masyarakat. Sebaliknya, muatan materi RUU tersebut dinilai aktivis kesehatan lebih banyak membahas tentang perlindungan industri rokok. Dalam rapat paripurna, RUU Pertembakauan pun menuai penolakan. Sejumlah anggota dewan keras menolak, seperti kala itu Sumarjati Arjoso dan Ramadhan Pohan.

Makanya, RUU tersebut sempat diberikan tanda bintang agar dilakukan pembahasan terlebih dahulu di tingkat Badan Legislasi (Baleg). Permintaan sejumlah anggota dewan agar judul RUU diubah. Namun hingga disahkan menjadi RUU  inisiatif DPR, judul RUU tersebut tetap pada Pertembakauan. Hingga di penghujung 2014, nasib RUU itu menggantung hingga habis masa bakti anggota dewan.

Ketiga, RUU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Dalam pembahasan RUU Pilkada, menuai banyak polemik. Salah satu poin penting dalam pembahasan apakah pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Dengan kata lain, pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD. Dalam pembahasan Pansus RUU Pilkada, sempat buntu.

Makanya, Pansus membuat draf RUU Pilkada sebanyak dua versi. Pertama draf RUU Pilkada langsung, dan tidak langsung. Meski pada akhirnya untuk mendapat persetujuan melalui mekanisme voting, mayoritas menyetujui Pilkada tidak langsung alias melalui DPRD. Tak berhenti di situ, Presiden Susilo Bambang Yudhyono menerbitkan Perppu Pilkada yang membatalkan UU Pilkada tidak langsung. Perppu tersebut  akan dibahas oleh DPR.

Keempat, RUU Perkebunan. Rancangan beleid itu dalam pembahasan di tingkat Panja cukup alot. Pasalnya, perlu tidaknya pembatasan saham kepemilikan asing dalam usaha perkebunan. Maklum, RUU yang sudah disahkan menjadi beleid itu akhirnya disepakati pembatasan penanaman modal asing sebesar 30 persen. Hal itu tertuang dalam Pasal 95 ayat (3) menyebutkan, “Menambahkan besaran penanaman modal asing wajib dibatasi dengan memperhatikan kepentingan nasional dan pekebun,”.

Kelima RUU HAKI. Rancangan beleid yang kini sudah disahkan menjadi UU itu mengatur pengelola tempat perdagangan agar melarang keras penjualan maupun menggadakan barang hasil pelanggaran hak cipta. Dengan kata lain, pengelola melarang keras penyewa tempat berdagang menjual hasil penggadaan atau biasa dikenal barang kualitas di bawah barang original. Sebaliknya, jika terdapat penyewa tempat berdagang menjual barang hasil menggadakan, pemilik maupun pengelola seperti mall dapat dikenakan sanksi hukuman.

Keenam, RUU Notaris yang telah disahkan menjadi UU No.2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris. Perubahan cukup signifikan dalam beleid itu adalah disebutkannya Ikatan Notaris Indonesia (INI) sebagai wadah tunggal. Sedangkan organisasi di luar INI tidak diakui eksistensinya. Boleh jadi penyebutan wadah tunggal untuk meminimalisir perpecahan organisasi seperti halnya profesi advokat. Terlepas dari itu, INI sempat terbelah dua kubu yang mengatasnamakan pengurus pusat wadah tunggal tersebut. Namun setelah ditegaskannya INI dalam UU, setidaknya INI sebagai wadah tunggal profesi notaris.

Ketujuh, RUU Jaminan Produk Halal. Rancangan beleid ini sempat menuai perdebatan soal siapakah yang akan memberikan sertifikasi halal, apakah MUI atau badan lain. Namun setelah disepakati, beleid ini setidaknya memberikan kepastian hukum terhadap masyarakat dalam jaminan produk halal. Menentukan produk halal tidaklah mudah. Apalagi dengan berkembangnya teknologi pangan, rekayasa genetik, bioeknologi dan proses kimia biologis menjadi bagian faktor sulitnya mengontrol produk halal.

Beleid itu mengatur antara lain penyelenggara JPH adalah Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) berdasarkan fatwa halal yang diterbitkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). BPJH, berada di bawah dan bertanggungjawab kepada menteri. BPJH memiliki beberapa kewenangan menetapkan standar, prosedur dan kriteria JPH, mencabut dan menerbitkan sertifikasi dan label halal pada produk. Selain itu melakukan dan melakukan pembinaan terhadap auditor halal.

Kemudian RUU KUHP dan KUHAP. Pembahasan kedua RUU ini terbilang awet. Soalnya, banyak LSM yang khawatir beleid ini sebagai upaya untuk melemahkan KPK dalam pemberantasan korupsi. Namun, pemeintah membantah hal tersebut. Menteri Hukum dan HAM saat itu, Amir Syamsuddin, mengatakan revisi terhadap Undang-Undang KUHP dan KUHAP tidak akan mengusik berbagai kewenangan KPK karena telah sesuai dengan sistem hukum nasional dan memperhatikan unsur HAM yang universal.
Tags:

Berita Terkait