Atasi Polemik PK, Pemerintah Bakal Terbitkan PP
Utama

Atasi Polemik PK, Pemerintah Bakal Terbitkan PP

Sambil menunggu regulasi baru, MA tetap akan melaksanakan SEMA sebagai pedoman dalam memutus perkara.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Kiri ke kanan: Menkumham Yasonna Laoly, eks Ketua MK Jimly Asshiddiqie, dan Menkopolhukam Tedjo Edhy Purdijatno saat rapat koordinasi terkait polemik PK di Kemenkumham, Jumat (9/1). Foto: RES
Kiri ke kanan: Menkumham Yasonna Laoly, eks Ketua MK Jimly Asshiddiqie, dan Menkopolhukam Tedjo Edhy Purdijatno saat rapat koordinasi terkait polemik PK di Kemenkumham, Jumat (9/1). Foto: RES
Sejumlah lembaga akhirnya menyepakati untuk menyusun Peraturan Pemerintah (PP) terkait pengetatan syarat pengajuan grasi dan peninjauan kembali (PK) kedua dan seterusnya dalam perkara pidana sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 34/PUU-XI/2013. Langkah ini diputuskan sebagai jalan tengah mengatasi polemik pengajuan PK pasca terbitnya SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tentang PK Hanya Satu Kali yang dianggap bertentangan dengan putusan MK itu.

Kesepakatan itu ditandatangani oleh Menkumham Yasonna H Laoly, Jaksa Agung HM Prasetyo, dan Menkopolhukam Tedjo Edhy Purdijatno. Turut hadir dalam pertemuan antara lain Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Suhadi, Kabareskrim Polri Komjen Pol Suhardi Alius, Komisioner Komnas HAM Siane Indriyani, dan mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie, serta pejabat eselon satu di lingkungan Kemenkumham. 

Menkopolhukam Tedjo Edhy Purdijatno mengatakan atas perintah Presiden telah disepakati beberapa poin menyikapi eksekusi terpidana narkoba terkait pengajuan grasi dan PK. Saat ini, Indonesia dalam keadaan “darurat narkoba” karena rata-rata per hari, 40-50 orang meninggal gara-gara narkoba.

“Kalau tidak ada aturan PK yang mengikat dan pasti, dikhawatirkan terpidana narkoba tidak ada kapoknya, sehingga setiap terpidana harus mendapatkan hukuman yang setimpal,” kata Tedjo usai rapat koordinasi di Kantor Kemenkumham, Jum’at (9/1).

Menkumham Yasonna H Laoly menjelaskan kesepakatan itu menghasilkan tiga poin besar yang akan dituangkan dalam PP. Pertama, bagi terpidana mati yang permohonan grasinya ditolak presiden, eksekusi tetap dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.  

Kedua, menindaklanjuti putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 tertanggal 6 Maret 2014 masih diperlukan peraturan pelaksanaan secepatnya tentang pengajuan permohonan PK terkait pengertian novum, pembatasan waktu pengajuan PK, dan tata cara pengajuan PK.

“Putusan MK itu membolehkan PK lebih dari sekali. Novumnya seperti apa, pembatasan waktu berapa lama, tata cara bagaimana, nantinya akan kita atur dengan membuatkan PP,” kata Yasonna.

Ketiga, sebelum ada ketentuan pelaksanaan tersebut, terpidana belum dapat mengajukan PK berikutnya sesuai undang-undang (Pasal 268 ayat (3) KUHAP) yang telah diubah dengan Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013. “Jika demikian, berlaku UU Kekuasaan Kehakiman dan UU MA yang prinsipnya pengajuan PK hanya sekali. Nanti teknis mengakomodir Putusan MK itu akan kita atur dengan PP, yang pasti secepatnya kita akan bentuk tim,” tegasnya

Pemerintah berharap dengan kesepakatan ini tidak lagi perbedaan pendapat antar lembaga negara termasuk beberapa kelompok masyarakat dan pengamat. “Ini hasil pembahasan mendalam hari ini dari kajian beberapa aspek. Nantinya, hasil kesepakatan ini akan kita laporkan ke presiden,” katanya.     

Saat ditanya rencana penyusunan PP ini dikaitkan dengan Rancangan KUHAP, Yasona menyatakan tentunya materi PP akan masuk dalam Rancangan KUHAP sebagai Prolegnas. “Tetapi, masih menunggu, tentunya kita harus membuat PP terlebih dulu supaya tidak ada kesimpangsiuran terkait pengajuan PK ini,” jawabnya.

Dalam kesempatan yang sama, Jimly mengatakan putusan MK yang membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP hanya khusus berlaku bagi hukum pidana. Sementara pengaturan pengajuan PK dalam UU Kekuasaan Kehakiman dan UU MA untuk semua jenis perkara (umum). “Sebenarnya bisa dengan Peraturan MA, tetapi MA menolak karena sudah ada sejumlah undang-undang yang mengaturnya, kita tidak bisa memaksa,” kata Jimly.  

Menurut Jimly, kini sebuah PP tidak melulu delegasi dari sebuah undang-undang. Akan tetapi, PP bisa delegasi dari putusan MK yang tingkatannya setara dengan undang-undang sebagai secondary legislation. “Ada kebutuhan pemerintah mengatur lebih rinci menyangkut syarat dan tata cara pengajuan PK ini, termasuk bedanya PK pidana dan PK nonpidana,” kata Jimly.

“Kalau PP ini berlakunya, tentunya harus ditaati semua pihak termasuk para hakim. Sebab, SEMA itu bukan peraturan perundang-undangan, hanya sebatas petunjuk yang berlaku di internal peradilan,” katanya.

Sementara, Juru Bicara MA Suhadi mengatakan sambil menunggu terbitnya regulasi baru, MA tetap akan melaksanakan SEMA sebagai pedoman dalam memutus perkara. “Saat ini, kita anggap SEMA tetap berlaku dan harus dilaksanakan. Pertemuan tadi sebenarnya hanya diskusi,” kata Suhadi. 
Tags:

Berita Terkait