Menyoal Seleksi Pejabat Hukum ala Jokowi
Editorial

Menyoal Seleksi Pejabat Hukum ala Jokowi

Pasal 38 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2002 hanya memberi ruang keterlibatan Kompolnas sebagai ‘pihak luar’ dalam proses pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Tetapi, itupun bentuknya hanya “pertimbangan kepada presiden” yang berarti tidak mengikat.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Ilustrator: Basuki
Ilustrator: Basuki
Gaya Joko Widodo (Jokowi) memilih figur untuk pos jabatan hukum kembali menuai kontroversi. Sebelumnya, Jokowi dikritik lantaran menunjuk dua figur berlabel politisi, Yasonna H Laoly dan HM Prasetyo, untuk kursi jabatan Menteri Hukum dan HAM dan Jaksa Agung. Kini, kritik muncul lagi karena Jokowi mengajukan seorang calon Kapolri dengan rekam jejak diduga ‘bermasalah’.

Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan, calon itu, dipersoalkan karena namanya termasuk dalam daftar pejabat Polri yang diduga memiliki “rekening gendut”. Daftar yang berasal dari data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) itu sebenarnya ‘barang lama’ yang sudah beredar sejak beberapa tahun silam dan kemudian menghangat setelah diangkat Majalah Tempo.

Kelanjutan kisah dari kasus ini, kita semua sudah tahu dan mahfum. Daftar rekening gendut pada akhirnya hanya menjadi sekadar daftar. PPATK dengan kewenangan yang ‘super terbatas’ tidak bisa menindaklanjuti. Aparat penegak hukum lain seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang biasanya ‘garang’ ternyata juga ‘tumpul’ untuk kasus yang satu ini.

Lalu Polri, sebagai rumah para “terduga” – meminjam istilah yang biasa digunakan Densus 88 untuk orang-orang yang diduga teroris- pemilik rekening gendut justru lebih terlihat sebagai ‘pembela korps’ ketimbang aparat penegak hukum. Makanya, wajar jika sejumlah kalangan merasa pesimis kasus rekening gendut pejabat Polri ini bakal diusut tuntas.

Dan, Jokowi sepertinya semakin menebalkan rasa pesimis itu. Figur yang tercantum di daftar rekening gendut itu justru disodorkan sebagai kandidat tunggal Polri. Kabarnya, surat Jokowi tentang pengajuan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri sudah sampai di meja pimpinan DPR. Dalam waktu dekat, proses ‘formalitas’ uji kelayakan dan kepatutan pun sudah diagendakan.

Uji kelayakan dan kepatutan yang akan digelar Komisi III DPR layak disebut formalitas karena sejarah mencatat hampir mustahil kandidat Kapolri usulan presiden terjegal di parlemen. Satu-satunya anomali yang terjadi mungkin hanya di era (alm) Presiden Abdurrahman Wahid yang dipaksa lengser dari kursi presiden gara-gara polemik pergantian Kapolri. Jadi, sulit berharap DPR berkenan mendengar masukan publik agar Budi Gunawan urung dijadikan Kapolri.

Yang menjadi persoalan di sini adalah sikap tidak konsisten yang ditunjukkan Jokowi. Beberapa bulan lalu, dia memberi harapan kepada publik ketika melibatkan KPK dalam proses seleksi anggota kabinet. Kini, langkah positif yang sempat diapresiasi sejumlah kalangan itu alpa dilakukan Jokowi ketika mengajukan Budi Gunawan. Hal serupa terjadi saat penunjukan HM Prasetyo sebagai Jaksa Agung.

Atas nama “Hak Prerogatif Presiden”, Jokowi tutup telinga dan matanya bersikukuh menyodorkan mantan ajudan Megawati Soekarnoputri ketika menjadi Presiden belasan tahun silam itu sebagai calon Kapolri. Makanya, berkembang rumor Budi Gunawan adalah “Titipan Ibu”, mengingat Jokowi setinggi apapun jabatannya di Republik ini, menurut garis partai tetap berada di bawah Megawati.

Bicara teks peraturan perundang-undangan, Jokowi memang tidak bisa disalahkan jika dia memilih pejabat publik tanpa melibatkan KPK ataupun PPATK. Karena, tidak ada memang peraturan perundang-undangan termasuk UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, yang mewajibkan presiden meminta pertimbangan KPK, PPATK atau penegak hukum lainnya dalam proses pemilihan anggota kabinet, termasuk Kapolri.

Pasal 38 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2002 hanya memberi ruang keterlibatan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) sebagai ‘pihak luar’ dalam proses pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Tetapi, itupun bentuknya hanya “pertimbangan kepada presiden” yang berarti tidak mengikat.   

Terlepas dari ketiadaan norma yang mengaturnya, menelusuri rekam jejak seorang calon pejabat publik, entah melalui KPK, PPATK atau metode lain yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan, adalah suatu hal baik yang patut dipertahankan. Makanya, ketika suatu hal baik itu telah dimulai oleh Orang Nomor Satu di Negeri ini tetapi kemudian tidak berlanjut, rakyat berhak mempertanyakannya.

Hak Prerogatif tidak seharusnya dijadikan tameng untuk mengenyamping proses seleksi pejabat publik yang transparan dan akuntbel. Presiden Jokowi sudah sepatutnya mempertimbangkan ulang untuk mengajukan figur dengan rekam jejak bermasalah sebagai kandidat Kapolri.

Dengan menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah, hal minimum yang bisa dilakukan Jokowi adalah mendengar pertimbangan KPK dan PPATK serta masukan LSM-LSM terkait untuk memastikan bahwa kandidat yang dia sodorkan tidak ‘kotor’ sebagaimana dugaan sebagian kalangan.      
Tags:

Berita Terkait